Skip to main content

Kolase ‘Mbeling’ Ala Amenk


‘Gelora sanubari ini terpancar begitu bahagia tatkala cara ungkap si ayang tumpah ruah merona indah bersama hadiah jadian yang baru tiga bulan ini, memang cukup spesial dan begitu mewah kelihatannya tapi aku tidak begitu menginginkannya aku ingin cinta yang murni dari dia tanpa melihat dari fisik & materi aku mencintaimu apa adanya ayang, kawinilah diriku seperti kucing garong’

Barisan teks itu melengkapi gambar sepasang kekasih yang tengah memandang hadiah spesial: sebuah mobil bertuliskan ‘Aku Cinta Kamyu’. Mufti Priyanka menjuduli karya tersebut ‘Cinta yang Tipikal’, karya gambar akrilik di atas kanvas, tahun 2011. Sekilas, kesan picisan terasa kuat, namun jika di tilik lebih jauh ada sesuatu yang janggal, rasa ganjil dari perpaduan teks yang terpatah-patah dan gambar ilustratif ini. 

Gambar atas kebaikan Mufty Priyanka

Mufti Priyanka atau yang akrab di sapa Amenk, lahir di Bandung 5 Juli 1980. Tercatat sebagai alumnus Jurusan Pendidikan Seni Rupa UPI angkatan 1998. Selama ini Amenk dikenal sebagai seniman yang konsisten menggeluti gambar sebagai pendekatan utama kekaryaannya dengan menggunakan tinta cina di atas kertas sebagai medium utamanya. Herry Sutresna atau yang lebih dikenal dengan nama Ucok Homicide, menyebut Amenk sebagai ‘korban penculikan alien yang barat-sentris.’ Dimana Amenk kadang-kadang bisa menyaru sebagai punk,  kadang-kadang hip-hop, namun seringkali metal dan bokep dengan semangat kampring yang kentara jelas. Sebuah gambaran yang cukup absurd.

Keabsurdan yang  nyata seperti dalam karya ‘Can’t Get Enough Annoying’, tinta cina di atas kertas, Amenk menggambarkan seorang anak punk dengan rompi berlambang ‘Anarki’, mencium tangan polisi bernama Sunyoto. Hal yang mungkin saja terjadi dalam dunia nyata, tapi sungguh janggal adanya jika sampai menyaksikannya.

“Tahun 2007 waktu boom lukisan, terus karya-karya seniman-seniman muda banyak di cari dan sold out, saya merasa kok gini-gini aja. Makanya saya coba melukis. Saya mah naïf aja, sebagai seniman ngora hayang sold out oge. Tapi trus muncul masukan dan kritik dari sahabat-sahabat saya.. ieu mah lain maneh menk..  dan itu bikin saya stress. Proses berkarya di kanvas itu tidak pernah terselesaikan, akhirnya saya balik lagi ke drawing,” Amenk mengungkapkan.

Sepintas gambar-gambarnya Amenk ini mengingatkan pada karya Raymond Pettibon, seniman Amerika yang juga kakak dari Greg Ginn mantan pentolan band punk berpengaruh, Black Flag. Ada kesamaan dari karya Pettibon dan Amenk dimana keduanya sama-sama komikal, subyeknya cukup mengganggu serta teks-teks yang ambigu. Amenk mengaku, Pettibon memberi pengaruh yang kuat dalam karyanya.

“Pettibon mempengaruhi saya karena kesamaan visi dan pendekatan, tapi karena Pettibon juga pelaku dalam komunitas punk, jadi narasinya beda karena dia seperti membuat pernyataan dari yang dia wakili. Kalau saya lebih mengadopsi. saya ga pernah sadar, saya berkarya untuk siapa, untuk publik mana, dan tidak terbebani oleh itu. sebenarnya kalau dibilang karya saya mewakili semangat zaman, saha oge nu diwakili, untuk zaman yang mana juga?  ada asumsi bahwa karya saya selalu ngepunk, saya kan lain budak punk dan karya saya juga ga selalu mengacu ke si punk itu sendiri.. “ jelas Amenk.

Gambar atas kebaikan Mufty Priyanka 

Selain Pettibon, secara visual Amenk juga banyak dipengaruhi oleh Winston Smith dan Frank Kozik. Pengaruh para seniman subkultur barat ini bercampur dengan kesukaannya pada komik-komik karya Tatang S., novel-novel picisan Nick Carter, Eni Erow, majalah Aktuil, juga hobinya terhadap barang-barang vintage, serta pergaulanannya dengan teman-teman berlatar belakang sastra Indonesia yang membawanya pada teks-teks ‘mbeling’ yang terpatah-patah. Ketika menemukan majalah komik foto copy-an ‘Daging Tumbuh’ buatan seniman asal Yogjakarta, Eko Nugroho, Amenk seperti menemukan tawaran lain dari jalan kekaryaannya yang selama ini dia cari. Semua itu bercampur menjadi satu, seperti potongan-potongan yang terpisah-pisah, namun ketika disusun dalam sebuah kolase, melahirkan karakter khas dari karya-karyanya

“Saya ada di dunia yang saya ciptakan saya sendiri, tapi saya juga suka ga sadar bahwa kondisi itu justru jadi kekuatan orang lain untuk menafsir karya saya. Saya mah irisan-irisan kecil dari pergesekan nilai-nilai kultur yang ada di kota bandung. Saya juga teu ngahaja-haja hayang di sebut siga kumaha..” tambah Amenk.

Kekonsistenan ini membuat perjalanan Amenk dalam perkembangan seni rupa di Bandung, menarik untuk di cermati. Di tengah lompatan-lompatan pilihan artistic dan medium yang banyak dilakukan oleh seniman-seniman seangkatannya, Amenk seperti ‘keukeuh’ (tapi santai) berjalan pada jalur yang ia yakini. Semangat ‘mbeling’ yang dibawa pada karya-karyanya justru membuat para penikmatannya bisa bebas berjumpalitan menafsirkan karyanya. Bahkan ketika karyanya dinikmati seringan menikmati komik picisan sekalipun, Amenk tidak berkeratan. “Pada akhirnya saya harus meyakini apa yang saya kerjakan ini harus sesuatu yang enjoi, buat saya juga buat yang menikmati.” (Tarlen Handayani)


Tulisan ini pernah dimuat di lembar Khazanah Pikiran Rakyat, Minggu, 15 April 2012

Hari ini, teman baikku, Amenk, sedang berduka. Ayahnya meninggal dunia. Semoga Amenk diberi ketabahan dan kekuatan untuk menghadapi kehilangan ini.. 

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...