Skip to main content

Achmad D. Tardiyana: Masih Menunggu ”Spill Over"

Achmad D. Tardiyana, photo by tarlen

DITEMUI di tengah-tengah kesibukannya sebagai seorang Urban Designer, staf pengajar Studi Arsitektur dan Rancang Kota ITB, serta koordinator ”workshop” kegiatan Artepolis, Achmad D. Tardiyana, berbicara tentang peran ”urban designer” dalam relasinya dengan perkembangan potensi kreatif kota.

Bicara tentang daya dukung kota, apakah Bandung cukup komunikatif untuk merespons perkembangan aktivitas kreatif warganya?

Saya lebih melihatnya pada level individu. Mereka masing-masing beraktivitas, tapi aktivitas ini tidak berkembang dalam komunikasi yang lebih terbuka. Misalnya, orang-orang di luar komunitas, tidak tahu apa yang mereka lakukan dan keberadaan mereka. Menurut saya, sebenarnya sayang. Maksud saya gini, kota yang menarik adalah kota yang menawarkan banyak pilihan dan orang-orang merasa punya kesempatan untuk bisa tahu, pilihan-pilihan yang ditawarkan itu seperti apa.

Apa ini semacam proses menyusun puzzle perkembangan kota itu sendiri. Jadi kita semua tak tahu ini gambar besar perkembangan itu mau dibikin seperti apa?

Nah, saya lihat, justru yang harus melihat gambar besarnya itu dari pengelola kota. Idealnya menurut saya, kalau pengelola kota tidak mengerti, dia kan bisa manggil ahli. Tolong dong, jelaskan kecenderungan apa sih ini dan para ahli bisa jelaskan. Kira-kira, policy seperti apa yang bisa dibuat. Nah, itu yang tidak terjadi. Jadi, tak terbaca. Peran si pengelola kota yang melihat dan membaca ini sebagai potensi. Tapi, pengelola kota itu selama ini tidak ngeuh. Soalnya, mereka punya bahasa berbeda. Itu yang tidak terjadi kalo menurut saya. Jadinya, masing-masing berjuang sendiri-sendiri.

Termasuk kalangan akademis?

Menurut saya, akademis itu membantu, mencoba juga membaca itu. Dan itu yang coba disampaikan ke pengelola kota.

Bicara soal peranan urban designer atau urban planner, dia pasti punya peranan untuk membentuk wajah kota. Tapi, selama ini juga kayaknya masih berjalan sendiri-sendiri. Mereka asyik bikin fisik kota tapi tidak memerhatikan penghuninya?

Ya, memang selalu terjadi gap, sering tak bisa terhindarkan antara kejadian yang berlangsung sehari-hari dan kota berubah begitu saja. Ada penulis yang menyebutkan tentang productional space, menurut dia ada yang disebut sebagai urban praktis yang sehari-hari terjadi. Terus ada yang namanya representational space. Itu adalah ruang-ruang abstrak yang dipersepsi oleh arsitek, urban designer, bahwa ruang-ruang kota itu harus begini harus begitu. Geometrinya harus begini harus begitu. Tapi, itu tetap berada pada level yang abstrak. Jadi, apa yang dijalankan oleh masyarakat kotanya dan dibangun oleh arsiteknya, seringkali ada gap.

Jika arsitek atau urban designer bisa mengambil peran yang menjembatani antarpengelola kota dan warganya kira-kira seperti apa yang paling realistis untuk dilakukan?

Mungkin seperti yang dilakukan PSUD (Pusat Studi Urban Desain). Membantu pemerintah kota merumuskan arahan-arahan pengembangan untuk membuat lingkungan perkotaan lebih baik. Walaupun kadang terlalu fisikal, sih. Karena sifatnya projek, kita mau partisipatori dan sebagainya. Itu kan proses panjang. Sementara, projek terikat sama jadwal, dananya segitu. Hal-hal ideal jadi sulit, tapi paling tidak awareness. Ada kelompok masyarakat tertentu yang harus diakomodasi, kan bisa dilakukan.

Dengan segala keterbatasan Bandung, rencana pengembangan seperti apa yang paling realistis?

Sebenernya itu di luar kemampuan urban designer. Sebagai urban designer, yang tugasnya merancang ruang-ruang kota secara tiga demensional. Kita itu sebenarnya menunggu spill over dari kegiatan kreatif, bukan justru urban designer-nya yang merangsang. Untuk merancang ini, kita butuh investor yang visioner, butuh policy pemerintah yang bisa mengarahkan dan memberikan insentif. Urban designer berkepentingan dengan komunitas-komunitas kreatif, karena dari berbagai studi, komunitas-komunitas kreatif ini selalu menuntut kualitas ruang yang baik. Gaya hidupnya itu menuntut kualitas ruang yang baik. Orang-orang yang bergerak di bidang kreatif, tidak menjadikan uang sebagai satu-satunya gol. Uang plus gaya hidup yang membuat dia merasa nyaman. Sehingga menurut studinya Richard Florida, pilihan di mana dia akan hidup, itu menjadi penting. Concern urban designer itu untuk mewadahi kelompok ini. Orang-orang ini pasti suka dengan kehadiran museum, suka dengan kehadiran galeri, kafe, taman, dan ruang terbuka, karena gaya hidupnya mengarah ke arah sana. Urban designer bisa bekerja sama menciptakan ruang-ruang kota semacam itu.***

wawancara ini dimuat di PR Kampus, 20 Juli 2006

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah