Skip to main content

Surga-Surga Kecil di Tengah Keterasingan


Ilustrasi karya Arthur Mount

“Setiap manusia kota perlu menciptakan surga-surga kecil untuk katarsis dirinya.”

Sebuah lontaran tak sengaja, muncul begitu saja. Saat itu saya merespon perbincangan tentang kota dan aktivitasnya, di YM Online conference, beberapa waktu lalu. Saya dan beberapa teman membahas tentang event musik, dan pengaruhnya pada dinamika kehidupan kota. Kami membahas beberapa acara musik di Bandung yang akhir-akhir ini yang kami anggap sukses. Teman-teman yang saat itu membahas
hal ini bersama, berasal dari latar belakang profesi yang berbeda, ada jurnalis, mahasiswa, drumer band metal, seniman dan pengamat komunitas kreatif di Bandung, juga seorang teman yang bekerja di perusahaan rokok merek internasional yang baru-baru ini sukses mensponsori konser musik King of Convinience dari Norwegia, di Bandung dan Jakarta.

Dari membicarakan tentang honor musisi yang ga jelas standarnya di setiap tanggapan konser, kendala nyari promotor yang cukup gila untuk membuat konser musik cutting edge, masalah nyari tempat konser yang sulit di bandung, mediasi dan publikasi, sampai ke persoalan apa yang sesungguhnya di cari dari setiap pertunjukkan musik. Gustaff salah seorang teman, seniman yang juga mengamati perkembangan komunitas kreatif di Bandung secara intens, mengemukakan pernyataan yang memancing pembicaraan ke arah yang lebih sublim. Menurutnya, kehidupan orang-orang kota sesungguhnya ga jauh berbeda dengan orang-orang primitif. Butuh ritual, dan ritual ini jadi pengejawantahan kebutuhan untuk bertemu dengan orang lain, kebutuhan untuk merayakan sesuatu bersama-sama secara kolektif. Ritual lewat perayaan yang kemudian meneguhkan eksistensi setiap individu untuk mendapat pengakuan, menyatakan diri bahwa dirinya baik-baik saja di tengah kehidupan kota yang kompleks dan membuat penghuninya merasakan alienasi dari rutinitas kesehariannya.

Pada titik seperti ini, kemudian saya berpikir, ‘perayaan-perayaan’ seperti konser musik atau apapun, yang memungkinkan setiap orang bertemu satu sama lain, saling menyatakan dirinya satu sama lain, menjadi ‘surga-surga’ kecil yang menjadi moment pembebasan keterasingan hidup di antara persoalan kota yang begitu kompleks.

Saya jadi ingat pertanyaan seorang teman ketika kami sama-sama berjalan menyusuri Dago di malam minggu yang hiruk pikuk beberapa tahun lalu.Dia bertanya, ‘apa yang kalian cari di keramaian?’. Pertanyaan yang kemudian bagi saya relevan, ketika kami membahas apa yang menjadi motivasi orang-orang untuk datang ke sebuah konser musik. Kadang ketika datang ke sebuah konser musik, bukan musiknya yang ingin saya nikmati, tapi ambience-nya. Ketika saya bertemu dengan kerumunan audience yang membuat saya nyaman, musiknya bisa lebih saya nikmati, karena sebelumnya saya merasa nyaman berada di situ. Tapi ketika, kerumunannya tidak membuat saya nyaman, musiknya menjadi sulit saya nikmati. Karena saya merasa jadi orang yang paling aneh di antara kerumunan itu. Saya ingat masa-masa awal perkuliahan dulu, di saat konser musik di gelora Saparua menjadi ritual saya dan beberapa teman. Meski saya sebenarnya ga terlalu suka musik punk, tapi saya sangat menikmati ambience-nya. Saya begitu enjoy dengan kerumunannya, karena saya merasa menjadi bagian dari mereka. eventnya sendiri menjadi media perantara untuk mempertemukan kerumunan dari ‘ideologi yang sama, seperti sebuah pertemuan dari kumpulan orang-orang yang ‘terasing’ karena memiliki pilihan yang berbeda.

Sementara akhir-akhir ini, saya semakin sulit merasakan itu. Ada sisi paradoks yang kemudian muncul. Di satu sisi, saya hadir di sebuah konser musik untuk merayakan kolektivitas itu tadi, mencari ambience dan kerumunan yang menyatukan keterasingan individu-individunya, tapi pada saat yang bersamaan, acara-acara seperti itu, justru menjadi tempat untuk sengaja menjadi terasing. Bersembunyi dari rutinitas. Bersembunyi dari banyak perayaan yang terasa artifisial. Motif paradoks seperti itu yang mendorong saya untuk mendatangi konser yang kerumunannya sama sekali asing bagi saya (meski bagi saya pribadi, di Bandung, semakin hari semakin sulit mencari event di mana saya ga bertemu sama sekali orang yang ga saya kenal). Semakin banyak orang yang tak dikenal saya jumpai, semakin sukses bagi saya untuk mengasingkan diri. Jika hal itu terjadi, sebuah konser musik bagi saya bisa menjadi semacam meditasi dalam sebuah ‘ritual kehidupa urban’ yang saya jalani. Saya merasa mengalami hal ini, ketika berada di tengah-tengah kerumunan penonton gambang kromong, di belakang pasar glodok dan tak satupun penontonnya saya kenal. Saat itu saya merasa bisa khusyu bermeditasi.

Mungkin hal ini juga bisa menjawab pertanyaan teman saya yang lain di online conference itu. Dia mengamati, di Jakarta, orang-orang bisa datang ke konser apapun, selama kelasnya mewakili mereka, perkara mau ngerti atau ga bukan masalah. Begitu pula ketika dia memberitahukan tentang club ipod, di mana orang-orang datang ke suatu tempat, berkumpul bersama dengan membawa ipod masing-masing dan bergoyang dengan lagu-lagu berbeda di setiap ipodnya. para clubbers di ipod club ini hanya butuh tempat di mana mereka bisa bergoyang bersama dengan lagu-lagu pilihan atau ciptaan masing-masing.

Bagi saya, yang dialami orang Jakarta, mengunjungi konser-konser itu seperti datang ke kelas yoga di pusat kebugaran dengan iuran selangit per bulannya. Menjadi spiritual tanpa harus ‘turun kelas’. Masalah esensinya dapat atau ga, itu nomer dua yang penting jaminan untuk bisa menegaskan diri dalam kelas yang sama, dapat terpenuhi. Tapi pertanyaannya, apakah esensi memang hal yang penting untuk ditemukan oleh setiap audience konser musik? kadang bisa menggerakkan kaki dan kepala sudah cukup. Ketika kita bisa menikmati musiknya, di tengah-tengah kerumunan orang-orang dengan gaya dandanan yang asing sama sekali, kita justru tak peduli sama sekali hal itu. Seringkali tak ada tuntutan untuk saling memahami satu sama lain di situ. Meski ada dalam satu kerumunan yang sama, setiap orang sibuk dengan isolasinya masing-masing. Setiap orang lantas seperti kumpulan coklat yang terbungkus rapat alumunium foil dalam sebuah toples kaca dan ada sesuatu yang menggerakan toples itu sehingga isinya bergoyang bersama tanpa lumer satu sama lain.

Jika kembali pada pernyataan Gustaff, bagi saya kemudian yang membedakan ritual orang-orang primitif dengan manusia-manusia kota, adalah persoalan spiritnya. Ritual-ritual primitif menurut saya biasaya dilaksanakan dengan semangat komunal yang tinggi. Dan berujung pada pemenuhan kebutuhan untuk mencapai kepuasan kolektif yang seringkali mengabaikan perhitungan ekonomi dan hitung dagang. Sementara ritual-ritual urban dilandasi dengan spirit individualisme yang tinggi dan berujung pada motif ekonomis. Tolak ukur kesuksesan atau pencapaian di diukur dari seberapa besar nilai keuntungan atau kerugian ekonomi yang bisa di hasilkan. Saya tidak mengatakan bahwa semua ritual urban selalu berujung pada motif ekonomi. Karena di wilayah sub domain, ada juga ekspresi dan semangat individual yang menjadi penggerak kolektivisme atau sebaliknya.

Hanya saja, ritual urban yang berujung pada motif ekonomi ini, membuat individu menjadi komoditas dan kehilangan haknya untuk menentukan bagaimana proses ritual itu di jalankan. Maka tak jarang komentar keberatan seperti yang dilontarkan teman saya khemod, drumer Seringai, muncul: “ Samson lagi, samson lagi!” Sponsor kemudian jadi pihak yang memutuskan, mana yang terbaik ( baca menjual) untuk produknya (bukan untuk penontonnya), bukan berdasarkan faktor apakah musik A atau B atau C yang mereka sponsori, menawarkan sesuatu yang baru, cutting edge (kalau kata Gustaff), kepada audiencenya.

Dalam konteks pihak yang menciptakan surga-surga kecil itu, realitasnya tidak sesederhana itu. Dimana pendekatan primitif, menuntut kolektif harus menempuh jalannya sendiri. Kolektivitas harus bersiasat dengan ruang-ruang urban yang sangat berhitung dengan semua nilai ekonomi dan hitung dagang itu. Sampai akhirnya, kolektivitas kehilangan kesempatan dan kehabisan sumber daya untuk bersaing memperebutkan moment dalam menciptakan surga-surga kecil itu. Banyak contoh, ketika pada akhirnya kolektif-kolektif itu gagal. Terpaksa menyerah pada impian tentang surga-surga kecil yang ingin dibangun di tengah rumitnya kehidupan kota. Pada akhirnya, siapa yang bisa bersiasat dan melumerkan diri di antara: kolektivitas, perhitungan ekonomi dan keberanian untuk menampilkan eksplorasi baru_ bukan sekedar berhenti pada tataran konsep tapi juga mampu mengeksekusi semua gagasan-gagasan_ itulah yang kemudian mampu membangun surga-surga kecil itu.

Kembali ke soal surga kecil. Saya kira, surga-surga kecil masyarakat urban mungkin bukanlah tempat yang kemudian membebaskan manusia-manusianya dari perasaan terasing dan teralienasi. Bagi saya surga-surga kecil itu adalah saat dimana saya kemudian sadar dengan keterasingan itu dan bisa menikmatinya. Surga itu seperti tempat persembunyian yang sengaja saya datangi saat saya ingin membebaskan diri dari rutinitas kehidupan kota, mencari sesuatu yang berbeda. mungkin kenikmatan ‘surgawi’ yang bisa saya rasakan dari setiap moment dan event ritual masyarakat urban itu__ konser musik _, hanya sepersekian detik dari keseluruhan rutinitas yang membungkus saya dalam alumunium foil keterasingan yang membosankan. Tapi kemudian saya tersadar, mungkin yang sepersekian detik itulah, moment ampuh untuk bisa terus bertahan hidup dalam keterasingan sebuah kota. Moment itu kemudian menjadi bisikan lirih yang memecahkan misteri kata kunci dari kebuntuan hidup berkota.

gudang selatan, 30 mei 2006
00:10 wib

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa