Skip to main content

Memento in My Everydaylife

“you can erase someone from your mind. Getting them out of your heart is another story.”
–eternal sunshine of the spotless mind-

I

10 juni 1995. sabtu.
Saat itu aku hanya bisa menuliskan dalam buku harianku, bahwa aku kehilangan dia untuk selamanya. Aku hanya menangis dalam hati. Bahkan ketika jasadnya ditimbun tanah. Aku hanya menatapnya, tanpa air mata. Tanpa raungan histeris. Juga ketika aku menatap detik demi detik nyawanya berpisah dari tubuhnya. Setelah memberikan pesan terakhirnya padaku dengan nafas tersenggal-senggal ‘jangan lupa solat, kalau punya anak ajarin dia ngaji dan yang akur ya sama adikmu.’ Ada lubang yang tiba-tiba menganga dalam hatiku. Pikiranku temporary black out. Seperti komputer yang tiba-tiba blank. Kosong. Kamar yang ditinggal penghuninya. Semua barangnya masih tetap di tempatnya tapi orangnya tak ada dan tak pernah kembali. Sepi.


***

Keesokan pagi dirimu terbangun. Jendela kamarmu masih tetap sama. Langit pagi yang biasa kau pandangi masih tetap sama. Kehangatan matahari pagi yang menerobos jendela kamarmu, masih sama hangatnya. Kau pandangi sekelilingmu, tak ada yang berubah dari tempatnya. Baru saat kau bercermin, kau sadari, dirimu berubah. Terurai dalam kepingan-kepingan ingatan yang kehilangan bentuk. Semua seperti saat kau gagal menyelesaikan susunan balok-balok kayu masa kecilmu menjadi bentuk yang kau inginkan. Lalu dirimu meruntuhkannya dan menyusunnya kembali dari awal. Saat kau merestartnya, kau berada dalam perpindahan waktu, sebelum kematian dan sesudah kematian bapakmu Before Christ (B.C.) berpindah ke Anno Domini (A.D.).

***

II

YK, Saturday, January 01, 2005
Hari pertama di tahun ini, aku terbangun di tengah hari di rumah ini lagi. Mencoba meredakan badai migrain yang tiba-tiba menyerang kepalaku dalam tiga hari terakhir dan mengosongkan isi kepalaku yang penuh sesak oleh banyak persoalan. Meski bangun dengan kepala sakit sebelah, tapi hatiku sudah merasa sedikit lega. Entah masalah mana yang menguap duluan. Tapi sedikit kelegaan cukup membantu untuk memberi ruang bagiku untuk berpikir kembali apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi atau kuhadapi. Maaf kalau aku terkesan melarikan diri. Tapi aku memang sudah tak tahan lagi. Aku butuh jeda sebentar.

***

Lalu kau menghela nafas panjang dalam jedamu. Menghembuskannya kembali bersama semua kepenatan dirimu. Menyusun bagian demi bagian dirimu yang tercerai berai. Mencoba komposisi yang berbeda untuk menemukan dirimu yang baru. Ingatan demi ingatan yang kau catat dalam ribuan lembar buku harianmu seperti balok-balok kayu yang kau susun ulang dalam project besar menyusun vitarlenologymu (ilmu kehidupannya tarlen). 'We are also what we have lost'. Begitulah Alejandro Gonzales Innarittu, sutradara muda mexico kesukaanmu, menulis dalam penutup Amores Perros, film pertamanya yang menang di banyak festival. Kau adalah kehilangan yang pernah kau alami.


III

(Before Christ..)

Mmm, coba aku ingat-ingat ...

Aku selalu bertanya: ‘Pak kalo itu pohon apa ya? Kalo yang sebelah sana?’ Trus itu yang dibelakangnya?’.. bapakku selalu menjawab. Dan aku tak tau apakah jawabannya benar atau karangan dia saja untuk menutup mulutku yang tak mau diam jika jpergi ke luar kota dengan Opel Record kesayangannya.

Dia pernah melecutkan sabuk kulitnya ke udara sambil mendelik, menyuruhku berhenti merengek minta dibeliin boneka. Sangking ketakutannya, aku ngga bisa menangis tapi meringkuk ketakutan di sudut lemari. Itulah pertama kali sekaligus untuk yang terakhir kali dia memintaku mematuhi perintahnya dengan cara seperti itu. Dan sepanjang hidupnya, dia tak pernah memukulku.

Dia suka memberiku hadiah diam-diam. Membelikanku pin, memberi uang-uang kuno, membelikan album perangko, memberikan benda-benda kecil yang membuatku senang tanpa sepengetahuan ketiga saudaraku yang lain. Dan ketika kutanya, ‘Pak ini berapa harganya?’ dia jadi bete. Sedikit membentakku, dia menjawab: ‘ Ga usah tanya harga, simpen aja sama kamu dan jangan beri tahu adikmu.’

O ya, aku pernah sangat terheran-heran padanya. Ketika itu adikku hampir membakar gudang perkakas di bagian depan rumahku. Dia menjatuhkan lilin dan membakar rak rotan tumpukan baju-baju tak terpakai. Ibuku sibuk menarik rak rotan itu keluar dari gudang perkakas dan dibantu tetangga, memadamkan api yang membakar hampir seluruh rak rotan. Sementara bapakku yang masih belepotan oli, karena memperbaiki Opel Recordnya yang jago mogok itu, malah sibuk memarahi adikku yang nangis-nangis ketakutan melihat api yang berkobar-kobar. Aku menyaksikan ibuku, tetanggaku, api yang akhirnya berhasil dipadamkan, bapakku yang marah-marah, adikku yang nangis-nangis, sambil menjilati es lilin 10 rupiah yang kubeli di tukang es lilin yang biasa mangkal di dekat rumahku. Aku terheran-heran dengan bapakku yang memutuskan memarahi adikku terlebih dulu daripada membantu ibuku memadamkan api.

Setiap pergantian caturwulan, bapakku sibuk merautkan seratus batang potongan bambu sepanjang 15cm untukku belajar berhitung. Setiap kenaikan kelas pula, dia akan mengajakku ke toko buku dan alat tulis langganannya dan membiarkanku membeli kotak pensil baru, penghapus karet dengan bentuk-bentuk yang fancy. Dan dia akan merautkan semua pensil baruku sampai runcing sempurna.

Hal yang paling senang kami lakukan bersama adalah berkhayal bersama. Kami akan berbaring bersama menatap langit-langit. Dan dia akan mulai bercerita tentang laut, tentang samudra dan mengarunginya. Khayalan masa kecilku dengan mudah mengkhayalkan itu. Semua buku cerita yang pernah kubaca, membantu mengembangkan khayalanku. Belakangan setelah dia pergi, aku baru menyadari, saat seperti itu baginya adalah saat mengenang sepenggal perjalanan hidupnya yang konon pernah dia jalani sebagai pelaut.

Dia akan duduk di teras loteng rumah untuk memandangi bintang-bintang atau melihatku dan adikku giliran bernyanyi untuknya. aku senang bernyanyi dengan gaya didepannya. karena dia adalah apresiator yang baik untuk semua karya anak-anaknya.

kadang aku menjumpainya duduk di teras sendirian, setelah dirinya bertengkar dengan ibuku. Dia akan pura-pura tidur jika ada orang mendekatinya. Aku biasanya akan langsung duduk dipangkuannya tanpa bicara apa-apa. Hanya ingin menemaninya saja.

Pertengakarannya dengan ibuku, biasanya disebabkan karena ketidak ekspresifannya untuk menunjukkan perhatiannya pada ibuku, soal uang belanja yang kurang, soal sikapnya yang memberi keleluasaan pada ibu untuk mengambil keputusan dalam keluarga, sehingga ibuku bosan terus menerus mendominasi dan merasa cape sendiri. Soal ketidak mengertian ibu pada sikap dan apa yang ada dipikiran bapak. Banyak.

Aku senang, jika dia pulang dari tugas luar kotanya, terutama Cianjur, dia selalu membawa kacang asin Cap Beringin. Sesudah mandi dan beristirahat, dia akan mengajakku dan adikku berlomba makan kacang.

Kadang kami mendengarkan kaset Trio Los Pancos kesukaannya dengan lagu-lagu latin. Bapakku akan ikut-ikutan bernyanyi dengan gaya seriosanya yang fals. Aku dan adikku pasti tergelak-gelak sampai terkencing-kencing melihat gayanya yang kocak.

Dia punya kumis yang begitu baplang. Anak-anak kecil tetangga rumahku, selalu memanggilnya dengan sebutan Pak Raden. Suatu ketika aku menemukan fotonya tanpa kumis dan aku tak mengenalinya. aku bertanya pada ibuku dengan polosnya: ‘Bu ini siapa sih, bapak-bapak pake kaca mata hitam, lagi baca koran, kok kaya copet ya?’

Jika aku sakit, dia selalu membelikanku bubur ayam di restoran Cina Pasar Kosambi atau di Jalan Naripan, lengkap dengan buah apel. Itu adalah makanan yang selalu kuminta jika aku jatuh sakit.

Dia membiarkanku mengengemut permen sambil tidur, karena itu adalah kebiasaan masa kecil yang kusukai. Ketika gigiku sakit, ibuku marah-marah dan dia yang akan meneteskan minyak cengkeh yang amit-amit rasanya itu pada gigi-gigiku yang berlubang.

Dia akan mengatakan, betapa beruntungnya aku bisa makan, sementara banyak anak kelaparan di Ethiopia jika aku tak menghabiskan nasiku. Saat aku bosan dengan kata-katanya itu, aku akan menjawabnya: ‘Untung aku ga tinggal di Ethiopia.’

Dia punya koleksi baut, mur, dalam berbagai ukuran, berkaleng-kaleng. Punya segala macam kunci peralatan montir. Punya tool box besi yang keren banget menurutku waktu aku kecil, dan aku tak pernah boleh memakainya untuk kotak baju boneka-bonekaku.

Dia senang sekali mengajak keluarganya piknik ke alam terbuka. Ke pantai, ke gunung, berendam di kolam air panas, kebun teh, kemanapun yang penting pergi piknik. Kepalanya akan pusing-pusing dan mengeluh badannya pegal-pegal, jika sebulan tak ada acara dinas keluar kota. Begitu ada di belakang kemudi dan mencium jalan raya antar kota, badannya akan kembali segar dan bersemangat.

Kira-kira tiga tahun sebelum dia jatuh sakit, ketika anak-anak beranjak dewasa, ketika dia dan ibuku punya lebih banyak waktu untuk berdua dan lebih memahami satu sama lain, setiap hari minggu pagi, dia dan ibuku pergi belanja ke pasar bersama. Selalu setiap minggu pagi.

.....

(Anno Domini...)

‘Bu kok, sekarang seringnya ke pasar sendirian? Bapak kok jarang keliatan?’ Mang Ganda, tukang oncom di pasar kosambi langganan ibuku bertanya seperti itu, tak lama setelah bapakku meninggal. Aku ingat kesedihan ibuku ketika menceritakan itu padaku, sepulang ia dari pasar.

Masih ada satu koper kulit, tersimpan rapi hingga kini, berisi bermacam ijasah, catatan otentik sepenggal kisah hidupnya yang terekam. Fotonya yang begitu tampan dari kanak-kanak sampai menjelang dewasa.

Mungkin semua surat-surat itu, bisa memberi sedikit gambaran tentang siapa lelaki yang pernah memiliki nama baptis Johanes Bergman itu. Bapakku.

Aku tak pernah tahu dengan pasti mengapa dia tak pernah mau bercerita banyak tentang masa kecilnya yang tidak bahagia itu?

aku tak pernah tau silsilah keluarganya dengan jelas. Aku tak sempat bertanya apa yang membuatnya bahagia. Aku tak sempat bertanya mengapa dia memutuskan pindah agama. Aku tak sempat bertanya mengapa dia memutuskan menikahi ibuku. Aku tau ayahnya, ayah tirinya. Ibu kandungnya. Ibu tirinya. Tapi tak mengenal kakek dan nenekku itu dengan baik. Begitu pula dengan saudara tirinya dan adik perempuan kandungnya yang misterius yang konon kabarnya meninggal semasa ia kecil.

Hanya kamus bahasa Indonesia susunan Adinegoro yang tersisa dari semua koleksi buku-buku yang pernah dia ceritakan padaku. Jam tangan Rolex imitasi, semua KTP, SIM, kartu pegawai. Agenda catatannya. Manset. Satu kotak negatif film dan foto-foto dirinya dengan keluarganya, anak-anaknya, teman-temannya, masa mudanya. Sarung-sarungnya, jaket kulitnya, jaket armynya. Kaos oblong terakhir yang dia pakai dengan bekas guntingan, ketika teman-teman masjidnya harus melucuti bajunya dan menggantinya dengan kafan.

Bagaimana suaranya, bagaimana dekapannya, bagaimana belaiannya, bagaimana ciumannya, bagaimana ekspresi kemarahnya, bagaimana ekspresi gembiranya, bagaimana makiannya jika ada supir angkot menyalip mobilnya, bagaimana dirinya.. semua menorehkan ingatan pada diriku, aku mengingatnya yang mencatat bukan hanya otakku dan panca indraku, tapi dengan hatiku.

IV

Kini kau memasuki tahun kesebelas, hidup dengan semua kenangan atas dirinya. Kau pikir kau tak mampu hidup tanpa dirinya, tapi nyatanya kau malah menapaki hidupmu lebih jauh dari yang kau kira. Semua memori yang membekalimu. semua kepingan-kepingan memorimu bersamanya, seperti potongan-potongan kain yang terjahit jadi satu, membentuk quilt yang menyelimuti hidupmu. Melindungi perjalanan hidupmu.

Awalnya, semua kenangan manismu bersamanya berubah getir ketika kau kehilangan dirinya. Setiap kali kau memutarnya kembali seperti sebuah slide show, reaksimu selalu berubah.

Dua tahun pertama setelah kematiannya, kau selalu menangis ketika mengingatnya. Kau meratapi waktu yang kemudian hilang bersama jasadnya. Kau kehilangan kesempatan untuk menorehkan lebih banyak memori hidup bersamanya. Kau marah pada dirimu sendiri, karena merasa tak mampu menyelesaikan buku catatan dan album kenangan sesuai ending yang kau inginkan. Perasaanmu seperti seorang penonton yang kecewa karena actor soap opera mu tiba-tiba mati dan tak akan muncul di serial berikutnya.

Tapi hidup terus berjalan bersama semua kehilangan yang kau rasakan. Semakin sering kau memutarnya, semakin kuat dirimu menghadapi perjalanan barumu tanpa dirinya. Kemudian kau sadari bahwa kau pernah punya sepenggal waktu yang begitu indah dalam hidupmu ketika bersamanya. Semuanya seperti album foto-foto lama yang kau simpan dengan baik untuk menandai waktu yang terus bergerak. Memori itu yang kemudian membentuk dirimu sekarang.

V

Hidupku mungkin tak seseru buku harian Zlata Filipovik atau Anna Frank yang keduanya sama-sama mencatat kekejaman hidup bernama perang.

Perangku adalah dengan diriku sendiri. Bagaimana setiap hari aku bergelut dengan pikiran bagaimana membuat hari ini lebih baik dari hari sebelumnya. Bagaimana melihat semua memori dalam perspektif yang baru setiap hari. Hidup senantiasa bergerak bersama waktu. Semua artefak hidupku, semua memoriku yang tersimpan maupun sengaja kusimpan, menandai sebuah langkah kecil dari diriku yang jadi atom dalam keseluruhan kisah sejarah besar manusia.

Semua ingatanku menjejak menjadi lingkaran tahun pada batang pohon.. momentum saat lingkar batang bertambah, kulalui setiap hari. Semua kenangan itu menjadi pupuk yang menyuburkan pertumbuhannya.

Everything change, but nothing really lost.
I am also What I have lost.

Tulisan ini ga jadi untuk Outmagz edisi 11, karena terlalu serius katanya ... hehehe dan aku juga gagal memenuhi deadlinenya.. :P

Comments

irsalmukhtar said…
tulisannya sangat menyentuh hati, terlebih aku punya kenangan yg lebih manis ttg ayah dari yang digambarkan ditulisan ini.......
@caturatna said…
We are what we have lost...
Dengan begitu tak ada yang benar-benar hilang kan? Semua ada di dalam...

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah