Skip to main content

Temanku, Meja Bundar, Kekosongan, dan Apa yang Kalian Cari?

Tiba-tiba terlintas di pikiranku, bagaimana jika temanku, si psikolog yang merasa terganggu oleh keramaian jalan Dago di malam minggu, berdiri di atas sebuah meja bundar di perempatan jalan Dago –Sulanjana, lalu berteriak: ‘HEY APA YANG KALIAN CARI DIKERAMAIAN?????’ Aku tergelitik untuk menduga-duga apakah orang-orang yang memadati jalanan Dago akan menoleh padanya? Apakah obivan-obivan radio-radio gaul Bandung itu akan menghentikan suara-suara yang dibuatnya? Apakah setiap kendaraan yang lewat akan berhenti dan terpaku padanya? Apakah waktu akan berhenti sejenak dan memberi kesempatan pada semua yang ada di ruas jalan itu untuk menjawab pertanyaannya? Jangan-jangan malah sebaliknya. Sekuat apapun temanku itu meneriakan pertanyaannya, tak ada yang mempedulikannya, tak ada yang menoleh sedikitpun padanya. Obivan-obivan itu malah semakin keras meneriakkan musik-musik pengiring tari kejang. Karena temanku bertanya pada ‘ruang kosong’. Orang-orang memadati sekeliling meja bundar itu. Dalam kebundarannya ada ruang kosong. Dan temanku berdiri di tengah-tengah kekosongan itu. Jadi pertanyaan, ‘Apa yang kalian cari’ seperti bertanya pada ruang kosong itu. Tak terjawab.

Kami berdua melintasi sepenggal keramaian Dago. Temanku dengan wajah lelahnya, seperti anak hilang ditinggal ibunya di perempatan. Aku dengan bayangan meja bundar dan temanku yang berdiri di atasnya, menerobos kerumunan orang-orang yang khusyu menonton tari kejang dan pertunjukan musik. Lalu kami berpisah di perempatan jalan Sulanjana. Aku kembali ke Gudang Selatan dan dia ke Jatinangor. Sepanjang perjalanan angkot Abdul Muis Dago, aku memikirkan meja bundar dan kekosongan itu. Kata-kata temanku menggema di kepalaku: ‘keramaian ini membuktikan, setiap orang butuh mata untuk dilihat’. Kenapa? Apa itu berarti menjadi bagian keramaian jalan Dago, berarti aku ada? Mengapa harus dilihat? Bagaimana jika aku memutuskan menjadi Invisibleman-nya Ralp Ellison. Bagaiman jika ternyata orang-orang yang memadati jalan Dago sesungguhnya buta dan tidak bisa melihat.? Apa kemudian mata mereka menjadi kekosongan itu sendiri? Aku mencoba menghubung-hubungakan banyak hal, membuat asumsi-asumsi yang mungkin bisa menjawab pertanyaan temanku itu, apa yang kalian cari dikeramaian?

Sepanjang perjalanan, kuperhatikan mata orang-orang, siapa tahu di antara mereka ada yang bisa memperlihatkan jawaban pertanyaan temanku tadi. Tapi sia-sia. Aku tak melihat apa-apa pada mata-mata itu. Ketika angkot berhenti di perempatan jalan Jawa, pikiranku terhenti sejenak. Sebuah becak yang kuharap bisa mengantarku pulang ke Gudang Selatan, ternyata tak mau kutumpangi karena tukang becaknya sibuk bertukar nomer kode togel dengna penjudi lain yang masih muda dan berpakaian necis. Terpaksalah aku berjalan kaki melintasi jalan Jawa yang remang-remang oleh penerangan jalan ala kadarnya. Pikiranku kembali disibukkan dengan pertanyaan yang belum terjawab tadi, juga meja bundar dan persoalan kekosongan, juga pertanyaan temanku. Entahlah. Di satu sisi meja bundar memberi kesempatan rauang yang sama bagi siapapun yang cepat mengambil tempat di tepinya. Tak tersudut atau tepinggirkan. Tapi di sisi lain, ruang di tengah meja kosong tak berpenghuni. Jika temanku, si psikolog itu, duduk di tengah-tengah meja seorang diri saja. Dan orang-orang berjejal-jejal memadati tepi si meja bundar itu (yang semakin besar diameternya, semakin lebar juga jarak antara kerumunan orang dan temanku yang duduk ditengahnya), maka yang tampak olehku, dia seperti dipertunjukkan sirkus di acara sekatenan bersama Akum dan Gendis yang kulihat tempo hari (dimana para penonton juga seperti duduk ‘mengitari’ meja bundar karena arena lumba-lumbanya berbentuk lingkaran). Kalau pun temanku bertanya pada orang-orang itu, ‘hai kalian, apa yang kalian cari di keramaian?’ mungkinkah mereka menjawab, kami sedang mencari ruang kosong (di tengah meja) seperti yang kamu tempati itu, atau bisa jadi jawabannya, ‘kami sedang menonton kekosongan, bahkan bukan tak mungkin juga, mereka balas bertanya ‘lalu apa yang juga kamu cari dnegna bertanya apa yang kami cari di tengah keramaian?’ bagiku kemudian memikirkan hal itu seperti memutar gula menjadi aromanis. Kusut, lengket tapi manis.

Gudang selatan, 21 juni 2003

Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

Ketika Menjadi Aktivis Adalah Hobi

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Pro Aktif Online Hobi seperti apakah yang cocok untuk para aktivis? Pertanyaan ini muncul ketika saya diminta menulis soal hobi untuk para aktivis untuk laman ini. Saya kira, siapa pun, dari latar belakang apapun, baik aktivis maupun bukan, bisa bebas memilih hobi untuk dijalaninya. Karena hobi adalah pilihan bebas. Ia menjadi aktivitas yang dikerjakan dengan senang hati di waktu luang. Apapun bentuk kegiatannya, selama aktivitas itu bisa memberikan kesenangan bisa disebut hobi.  Sebelum membicarakan bagaimanakah hobi untuk para aktivis ini, saya akan terlebih dahulu membicarakan soal hobi, terutama yang hobi yang merupakan keterampilan tangan. Selain memberikan kesenangan, aktivitas ini bisa melatih kemampuan motorik dan keahlian dalam membuat sesuatu. Misalnya saja menjahit, merajut, automotif, pertukangan, apapun kegiatan yang membutuhkan keterampilan tangan.  Banyak orang merasa, aktivitas ini terlalu merepotkan untuk dilakukan,...

Craftivism: The Art of Craft and Activism

Bahagia sekaligus bangga, bisa terpilih untuk memberikan kontribusi tulisan pada buku tentang craftivism ini. Sementara aku pasang review dan endorsment terlebih dahulu. Untuk resensinya akan aku publikasikan dalam terbitan yang berbeda.  ------ Editor Betsy Greer Arsenal Pupl Press Craftivism is a worldwide movement that operates at the intersection of craft and activism; Craftivism the book is full of inspiration for crafters who want to create works that add to the greater good. In these essays, interviews, and images, craftivists from four continents reveal how they are changing the world with their art. Through examples that range from community embroidery projects, stitching in prisons, revolutionary ceramics, AIDS activism, yarn bombing, and crafts that facilitate personal growth, Craftivism provides imaginative examples of how crafters can be creative and altruistic at the same time. Artists profiled in the book are from the US, Canada, the UK...