Skip to main content

Pada Mulanya adalah Hobi

Siapa sangka, awalnya hobi nyoba-nyoba resep makanan, eh malah keterusan dan bisa dapat uang saku tambahan pula. Itulah yang terjadi pada Istriana Hardhani atau biasa dipanggil Isti. Mahasiswi Tehnik Lingkungan ITENAS angkatan 2003 ini, doyan banget bikin kue. Sampai satu setengah tahun yang lalu di kampusnya ada acara amal. Isti ikutan berpartisipasi dengan membuat dua puluh lima buah Muffin untuk dijual pada acara itu. Modalnya waktu itu delapan puluh dua ribu rupiah. Selesai acara, keterusan deh bisnis muffin. Seminggu dua kali, Isti membuat masing-masing seratus muffin, untuk dititipkan di 15 point distribusinya. Muffin dengan rasa coklat dan keju itu, biasanya ia jual dengann harga tiga ribu rupiah. itupun, distributiornya mendapat 25% keuntungan dari penjualan. Semua ini Isti lakukan disela-sela waktu senggangnya dalam jadwal perkuliahan yang lumayan padat. “Susahnya, kalo lagi banyak tugas trus banyak pesenan, dua-duanya harus dikerjain. jadinya ya pinter-pinter bagi waktunya aja,” jawab Isti. Yang jelas sejak merintis usaha Muffinnya ini, Isti merasa jadi lebih menghargai uang.”Sekarang jadi tau rasanya, kalo cari uang itu ga gampang,” katanya lagi.

Mungkin banyak juga di antara belia yang juga melakukan hal yang sama dengan Isti, coba cari uang saku sendiri dari hobi yang belia miliki. gimana rasanya? seru kan? Ternyata, hobi jika ditekuni bukan cuma bikin belia sadar, bahwa belia punya kebolehan loh. Tapi kalo belia emang serius menekuninya, hobi bisa jadi sesuatu yang bukan cuma bisa belia nikmatin sendiri, tapi juga bisa berguna buat orang lain.

Palupi misalnya. Cewek berjilbab ini punya hobi merajut. hobi yang ga ada hubungannya sama sekali dengan kuliahnya di Tehnik Metalurgi Unjani. Setelah selesai kuliah, upik panggilan akrabnya, memilih untuk mendalami hobi merajutnya ini dengan kursus pada seorang guru. Selain itu, Upik juga merintis usaha kue bermerek relsa yang telah terdaftar di departemen kesehatan bersama kakaknya. “Saya ga suka kerja dikantor, usaha sendiri lebih bebas.” Selain melayani pesanan kue-kue dengan onde-onde sebagai ciri khasnya, Upik juga mengamalkan ilmu merajutnya dengan menjadi guru di Klab rajut Common Room. “Soalnya kalo ga diamalkan, malah lupa. jadi guru, malah bikin saya jadi semangat untuk belajar terus.” Selama ini upik belum menjual hasil karya rajutannya. Menurutnya, ia masih ingin banyak eksperimen dengan kemampuan merajutnya itu. Malahan ia ingin mencoba merajut dengan bahan-bahan yang tidak biasa, seperti kawat baja misalnya. menurutnya, setiap bahan punya karakteristik yang beda, meski dirajut dengan tehnik yang berbeda. Cita-citanya yang lain adalah membuka toko kue bersama kakaknya.

Banyak teman-teman yang sekarang sukses membangun usaha, awal mulanya juga karena hobi yang mereka tekuni loh. Ketika hobi itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, belia akan menemukan nikmatnya bereksplorasi, menemukan sesuatu yang baru, melatih kesabaran, karena ketika salah, kita akan belajar mengevaluasi kesalahan kita dan memperbaikinya kembali. Dan jika hal ini terus belia asah, sebenernya belia sedang mengembangkan apa yang disebut entrepreneurship dalam diri belia. Kedengarannya serius ya? Entrepreneurship punya makna yang serupa dengan wiraswasta. Hanya saja, dalam entrepreneurship ini, belia senantiasa dituntut untuk terus menggali gagasan-gagasan kreatif yang belia miliki. Visi dan idealisme belia senantiasa di kedepankan. Hal keren lainnya, seorang entrepreneur punya visi yang kuat dalam menggembangkan gagasan-gagasannya. karena itu, seorang entrepreneur punya jiwa mandiri, keterbatasan bukan halangan untuk mewujudkan ide-ide kreatifnya. Kedengerannya berat ya? jangan takut dulu. Jiwa entrepreneur ini bisa belia bangun lewat hobi sederhana yang belia miliki loh. karena hobi bisa melatih belia untuk melihat keterbatasan menjadi peluang. Asalkan, belia punya komitmen tinggi untuk menjalankan hobi yang belia miliki.

Meski umur bunga hidup ketika dirangkai paling lama seminggu, sampai akhirnya layu, namun hal itu tidak menjadi halangan bagi Widiyani untuk menekuni hobi merangkai bunga. Hobinya ini, ia mulai secara tak sengaja, ketika bekerja di Event Organizer (EO). EO tempatnya bekerja, sering menyelenggarakan pagelaran musik, dan Widi kebagian untuk menyiapkan hand bouquet . Kebiasaan membuat hand bouquet dadakan itulah, yang akhirnya mendorong Widi untuk menekuni hobi merangkai bunga. Latar belakang pendidikannya dan profesinya sebagai Arsitek dan staf pengajar di jurusan Arsitektur ITB, justru membuat Widi tertantang untuk menemukan gaya rangkaian bunga yang berbeda. Gabungan antara bidang arsitektur dan hobinya itu, membuat Widi menekuni pekerjaan lain yang menggabungkan keduanya. “aku jadi decorator untuk pelaminan, kamar pengantin, pesta-pesta khusus atau acara-acara keluarga. aku juga jadi florist dan punya langganan dua klien, salon dan restoran yang minta aku mengirimkan rangkaian bunga seminggu sekali.” Ternyata hobi ini sudah ditekuni Widi sejak empat tahun yang lalu loh.

Nah belia, Widi punya cara jitu nih untuk mengembangan kemampuannya merangkai bunga. Mau tau? ternyata Widi rajin banget ikut kompetisi merangkai bunga. Menurutnya, ikut kompetisi kita bisa mengukur perkembangan kemampuan yang kita miliki. Widi juga pernah juara 2 Kompetisi Nasional Merangkai Bunga Kelas Amatir. Waktu itu, salah satu jurinya seorang perangkai bunga (florist) terkenal di dunia, asal Jerman. Namanya Gregor Lersch. Selain itu, tahun 2005 lalu, Widi terpilih mewakili Ikatan Perangkai Bunga Indonesia cabang Bandung, untuk merangkai bunga di Istana negara dalam rangka 17 Agustus-an, seru yah..

Sementara buat belia yang hobi merias diri, ga ada salahnya mengembangkan kemampuan tata rias, untuk menekuni bidang yang ditekuni teman kita Retno Ratih Damayanti. Profesi yang kini ditekuninya adalah make up artist dan costum designer. Awalnya, dari hobi berteater sejak duduk di bangku SMU dan selalu kebagian jadi make up artist dan penata kostum. Ketika kuliah di Sastra Prancis UGM, Retno bergabung dengan kelompok teater terkenal di negeri ini, namanya teater Garasi. Disini kemudian, Retno semakin mendalami make up untuk pertunjukan. “make up untuk pertunjukan lebih sulit ya. karena kita harus mampu menghidupkan karakter tokoh-tokohnya ketika pentas di atas panggung. Kuncinya, rajin-rajinlah mengamati ekspresi orang dan pelajari logika emosinya.” Setelah enam belas tahun menekuni profesi ini, Retno mengaku bisa menjadikannya sebagai sandaran ekonomi. Menurut Retno yang sempat terlibat dalam penggarapan film: Lentera Merah karya sutradara Hanung Bramantyo dan Sinta Obong karya Garin Nugroho, profesi make up artist masih banyak dibutuhkan. Bukan hanya dunia pertunjukan dan film saja yang membutuhkannya, proses produksi sebuah iklan pun membutuhkan seorang make up artist juga. “Di iklan, jam kerjanya lebih sedikit, tapi honornya lebih besar,” jelas Retno. Buat belia yang hobi dandan, ga ada salahnya di perdalam, karena peluang untuk menjadikannya profesi terbuka lebar.

Temen kita, Yustinus Ardhitya punya cerita lain lagi. Cowo keren yang biasa dipanggil Adit ini, hobi banget sama motor tua. Selain mengendarainya, Adit juga hobi ngutak-ngatik. Belia tentunya tau dong, motor tua memang butuh perawatan khusus. Berbekal alat-alat montir sederhana yang biasa digunakan untuk kepentingan merawat motor-motornya, Adit mulai memulai usaha bengkel motor kecil-kecilnya. Meski namanya Bengkel Siluman Merah, pastinya kalau belia datang ke bengkelnya Adit di daerah Awi Ligar, bakal disambut dengan hangat dan ramah. “gue bikin bengkel sebenernya pengen bisa bantu orang lewat kemampuan yang gue miliki aja,” jawab cowo yang juga berprofesi sebagai staf pengajar di jurusan Arsitektur UNPAR ini, merendah. Bengkel yang dirintisnya duduk di bangku kuliah 5 tahun yang lalu itu, kini bukan hanya menerima servis motor saja. Jasa costumize motor-motor khusus seperti Yamaha XS 650, Honda CB 650, Kawazaki KZ 200, juga ia tangani.

Nah belia, sebenernya masih banyak pilihan hobi yang bisa ditekuni dan dikembangkan. Hari gini gitu loh, kita bisa pilih apapun yang kita inginkan. Yang jelas kerja keras dan kesungguhan alias ga setengah-setengah jadi nomer satu. Selain hobi itu bisa memberi dampak positif pada diri belia sendiri, syukur-syukur juga buat orang lain. Selamat menjalani hobi ya..selamat mempersiapkan diri jadi entrepreneur baru, ya..!

Tips mengembangkan hobi menjadi sebuah usaha

1. Pantang menyerah, kalo gagal coba lagi. Setiap kegagalan justu bikin belia tambah menguasai apa yang belia coba.

2. Terus belajar. Belajar tak mengenal batas. Kapanpun ada kesempatan, pakai itu buat mengup grade pengetahuan belia. Kemajuan teknologi informasi memudahkan belia untuk mendapatkan informasi apapun dengan murah. Dan jangan segan-segan untuk bertanya pada orang yang dianggap lebih tahu. Pertanyaan itu berkah loh, jangan biarkan dia mati, ayo cari terus jawabannya ya.

3 Belajar melihat peluang. Coba identifikasikan disekelilingmu, apa yang sudah dilakukan oleh orang lain dan apa yang belum. belia bisa mulai dengan yang belum dilakukan oleh orang lain. Jangan takut disebut beda. Perbedaan itu anugrah.

4. kembangkan semangat eksplorasi untuk menemukan cara-cara baru. Siapa tau hasil eksplorasimu jadi temuan yang berharga.

5. Berani mengambil resiko mencoba hal baru. Apapun yang kita pilih dalam hidup, mau susah mau senang selalu ada resikonya. Jadi daripada ga melakukan apa-apa karena takut ngambil resiko, lebih baik melakukan sesuatu. Biarpun gagal, yang penting pernah mencoba. Ga ada yang sia-sia dari mencoba sesuatu yang baru kok, selama itu positif.

6. Tetap rendah hati. Nah ini penting loh. kalo kamu sukses nanti, sikap rendah hati, bikin orang respect sama kamu. Karena bukan kamu aja loh satu-satunya orang yang sukses. Udah banyak orang lain yang lebih sukses dari kamu. So, tetap rendah hati, biar kamu bisa terus membuka diri untuk terus belajar dari orang lain.

tulisan ini dimuat di belia Pikiran Rakyat, 1 agustus 2006,
Biar Hobi Menghasilkan Uang

Comments

Anonymous said…
setuju... kembangan terus hobinya kawan :)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa