Skip to main content

Dewi Lestari: "Mencari Hubungan Lebih Sehat Dengan Tuhan"

Ternyata Neale Donald Walsch, penulis buku Conversation With God, bukan hanya mengingspirasi Alanis Morissette. Dewi Lestari, penulis yang lahir di Bandung, 20 Januari 1976 dan ibu dari Keenan Avalokita Kirana, 14 bulan, termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang terinspirasi oleh buku yang terjual lebih dari 5 juta copy itu.

Buku yang membuka mata banyak remaja Amerika bahwa Tuhan adalah “teman ngopi” yang mengasyikan. Menurut Walsch Tuhan lebih sering datang pada manusia dengan cara yang sangat alami dan dengan cara yang lebih menyatu dengan kehidupan itu sendiri. Karena itu, buku Walsch, Conversation With God, menjadi buku yang cukup berpengaruh bagi gerakan kebangkitan spiritualisme baru yang menggabungkan banyak pendekatan dalam mengeksplorasi spiritualitas individu atau yang lebih populer disebut new age.

Saat ditemui seusai diskusi kebebasan berekspresi yang diselenggarakan di Common Room, hari sabtu lalu. Dewi menjelaskan kesibukannya mempersiapkan penerbitan baru yang fokus pada tema-tema new age.

Kenapa sih tertarik sama tema new age?
Ini sebenernya alasannya personal dan panjang, tapi bisa dibilang tapi aku sampai disatu titik di mana persepsi manusia atas Tuhannya itulah yang menentukan relasi dia dengan Lingkungannya. Jadi ketika hubungan manusia dengan Tuhannya itu bisa dikatakan healthy relationship, itu juga akan menciptakan hubungan yang sehat dalam kehidupan sehari-hari dengan sesama manusia. Dan salah satu cara supaya hubungan itu sehat, kita harus tahu sebanyak-banyaknya mengenai Tuhan, mengenai Alam. Untuk mencari tahu sebanyak-banyaknya juga berarti tidak terkungkung dalam satu kerangka tertentu. Dalam satu jendela agama tertentu saja. Kita harus berani buka wawasan kita lebih luas lagi. Itulah yang membuat aku merasa referensi-referensi tentang itu kurang banget. Karena yang aku baca sendiri kebanyakan bahasa inggris. Nah terjemahan itu ngga banyak di Indonesia. Dan aku yakin ada orang-orang yang pola pikirnya kaya aku dan ga tau harus menyalurkan kemana. Atau ketika disalurkan ke pernerbitan tertentu karena fokusnya ga kesitu, jadi ngga dapet tempat khusus. Nah aku pikir kalau ada satu penerbitan tertentu yang mengkhususkan diri di tema itu, aku yakin akan mendorong orang untuk berkarya.

Pernah ngalamin titik balik dalam hidup yang bikin kamu menemukan hubungan lebih sehat dengan Tuhan?
Pernah banget. Mungkin sih awalnya karena banyak pertanyaan tentang hidup, yang membawaku kepertanyaan lebih besar lagi: ‘Tuhan itu apa? Siapa?’ dan mungkin setiap manusia harus mengajukan pertanyaan yang tepat untuk menemukan jawaban yang tepat. Jadi ketika aku sampai pada petanyaan itu, ada sesuatu yang magical terjadi. Tiba-tiba pada saat itu saya bertanya kemudian langsung mendapat jawaban. Apa yang dialami Neale Donald Walsch dalam Conversation With God, itu aku alami juga. Kemudian orang bertanya: ‘Bener gitu itu Tuhan?’ tapi aku merasa wisdom yang aku dapat lewat dialog selama beberapa hari itu membawaku keperubahan yang gede banget. Membuka mataku bahwa banyak orang yang seperti aku juga.

Sebenernya apa kegelisahan terbesar kamu tentang Tuhan?
Aku selalu merasa bahwa Tuhan yang dikenalkan kepada kita waktu kecil adalah Tuhan yang penghukum. Tuhan yang sedikit-sedikit marah. Tuhan yang sensi. Tuhan yang moody, kalau lagi baik, baik. kalau lagi jahat, jahat. Tuhan yang katanya sangat mencitai manusia di atas segalanya, tapi Tuhan juga menciptakan neraka dimana manusia terbakar sekekal-kekalnya di sana. Dan paradoks-paradoks itu bikin hati aku ga tenang. Kayanya sesuatu yang salah dengan figur atau citra Tuhan yang seperti itu. Dan itu membuatku hidup juga ngga make sense. Lihat orang bertikai atas nama agama, lihat orang bunuh-bunuhan atas nama Tuhan. Apa sih sebenernya Tuhan ini? Dan pada saat itu juga sebenernya terpicu oleh peristiwa Ambon. Aku bener-bener ngga habis pikir, dan itu bener-bener ganggu saya banget. Barangkali itulah salah satu faktor yang memicu perubahan yang begitu cepat padaku. Pertanyaan ‘Apa Tuhan itu?’ sampai akhirnya aku ketemu buku Neale Donald Walsh itu. Ternyata hal yang sama terjadi padaku dan jawaban-jawaban yang aku dapat, persis sama dengan yang ada dibuku itu. Dan bukan di buku itu saja. Banyak sudah buku-buku yang membahas spiritualitas dimana Tuhan dibebaskan dari lembaga dan kita mengapresiasi Tuhan terlepas dari kerangka itu semua. Bagiku berada dalam satu jalur tertentu yang bukan berarti salah. Tapi yang perlu ditekankan adalah bahwa Tuhan itu jauh lebih besar dari segala jalur. Jadi ketika kita berada di luar jalur pun, bukan berarti kita terpisah dari dia.

Buat kamu seperti apa sisi lain Tuhan yang mencerahkan itu?
Pada saat aku menemukan konsep free will dan aku memahami betul oh ini maksudnya. Bahwa sekarang ini yang ada adalah ketakutan manusia. Sebenernya yang terjadi adalah keterpisahan. Kalau dalam agama budha itu ilusi atau maya, itulah sebabnya yang membuat hubungan manusia dan Tuhannya sangat terpisah. Dimana manusia tidak berani meng count realitas sebagai peran aktif dia. Makanya ketika Syekh Siti Jenar mengikrarkan bahwa aku dan Tuhan adalah satu, dia dibunuh. Jesus ngomong gitu di salib. Menurutku sebenarnya itu semua adalah ketakutan. Mindernya manusia. Tapi ketika kita semakin dekat sama Tuhan, atau aku menggunakan terminologi hamba Tuhan, levelku harus naik. Mulailah jadi temannya Tuhan. Setelah jadi temannya Tuhan, cobalah jadi Tuhan itu sendiri. Karena ketika aku berhasil sedemikian dekat dengan Tuhan, aku akan melihat bahwa hidup ini adalah tanggung jawab aku. Bukan berarti bahwa hal yang buruk aku salahkan setan, segala hal yang baik aku serahkan Tuhan. Tapi bahwa dalam hidupku kalau aku mau menciptakan surga aku ciptakan surga, kalau aku mau neraka ya aku ciptakan neraka.

Tapi banyak orang yang tak bisa juga menangkap maksud dibalik penciptaan Tuhan..
Pada akhirnya kesimpulan aku adalah evolusi. Aku yakin semua manusia akan berevolusi ke arah sana. Sama halnya orang belajar syariat dulu kemudian dapat marifat. Itu satu tingkatan yang harus dilewati. Cuma yang bisa aku lakukan adalah aku bantu proses ini. Makanya aku dengan menuliskan Supernova juga sebenernya tujuannya untuk membantu proses ini. Supaya makin banyak pemikiran-pemikiran yang masuk ke otak yang kemudian mendukung evolusi itu. Dan kalau kemudian ada fenomena-fenomena agama-agama fundamentalis atau garis keras, menurutku juga ekspresi yang mungkin memang baru sampai di sana. Evolusinya baru sampai di situ. Di satu pihak aku harus menghargai keberagaman hidup yang menciptakan orang-orang seperti itu, juga disatu pihak aku juga jangan tinggal diam untuk tidak melakukan apa-apa. Salah satunya ya itu tadi, menciptakan fasilitas-fasilitas dalam bentuk buku, dalam bentuk tulisan, dalam bentuk apa saja yang kita bisa untuk mendukung evolusi ini.

Kamu sangat percaya pada perubahan dong..
O iya. Buatku perubahan itu adalah esensi hidup. Hidup itu esensinya adalah berubah. Kalau bukan berubah itu namanya kematian. Jadi selama kita masih hidup berarti kita harus selalu siap untuk berubah.

Kalau kemapanan sendiri?
Kemapanan sendiri buatku adalah comfort zone. Tapi kita juga harus siap bahwa kemapanan itu juga tidak ada yang kekal tapi temporer. Hanya masalah dari cara kita melihatnya saja. Cara kita memaknainya aja. Intinya ngga ada sesuatupun yang kekal.

Perubahan apa yang paling penting dari Dewi sebelum dan sesudah menulis Supernova?
Perubahan terbesar adalah relasiku dengan Tuhan dan akhirnya merubah relasiku terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hidupku. Aku merasa bahwa aku adalah manusia yang sama, dewi yang sama, tapi cara pandangku yang berbeda. Aku percaya spirit dulu baru fisik. Ketika secara spirit terjadi perubahan, secara fisik juga hidupku juga berubah.

wawancara dengan Dewi Lestari, 22 Oktober 2005, untuk
  • PR Kampus
  • Comments

    Popular posts from this blog

    Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

    Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

    “Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

    pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

    Menjadi Kecil Itu Pilihan

    Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah