Skip to main content

vitarlenology@memento.com

Dear Sigit, Kamu bukan orang pertama yang bertanya, ilmu apakah vitarlenology itu? Mungkin terdengar ngawur dan mengada-ada, karena kujamin kau tak akan menemukannya di kamus manapun. Paling-paling kamu akan menemukan kata yang mirip jika kamu search di google __ vitalogy(ilmu kehidupan), buku karya E.H. Ruddock, M.D., yang ditulis tahun 1899, kemudian menjadi judul album ketiganya Pearl Jam. Dan seperti halnya Alice yang bebas memilih pintu mana pun yang akan ia lalui, aku pun merasa bebas menyusun ilmu kehidupanku sendiri, menamainya, memilih pengaruh, menyusun teks-teks hidupku dengan caraku. Lalu aku menamainya vitarlenology, yang kemudian menggoda banyak orang untuk bertanya ilmu apakah gerangan?. dan aku selalu menjawab vitarlenology itu adalah ilmu kehidupannya tarlen.

Jika ilmu kehidupanku itu seperti pohon, dia tumbuh seperti diriku. Semakin besar pohonnya, semakin panjang sejarahnya, semakin banyak lingkaran tahun yang membentuk batangnya. Jika ilmu kehidupanku itu seperti patch work, dia seperti selimut yang begitu lebar, terus dan terus melebar, setiap hal baru dalam hidupku menambah lebarnya. Jika ilmu kehidupanku adalah sebuah buku, ia menjadi kumpulan catatan yang terus dan terus kutambahkan selama aku tak bosan mencatatnya, dan suatu saat bukan tak mungkin, vitarlenology hanyalah buku-buku usang, seperti layaknya majalah edisi lama yang tertumpuk di dalam gudang, enggan dibuang, karena sesekali aku perlu membolak-balikan halamannya, mencari makna dari peristiwa yang telah lalu, melacak jejakku yang telah membentuk ingatan dan diriku sekarang. Jika ilmu kehidupanku itu dibangun dari cuplikan-cuplikan teks, yang sedang kulakukan adalah menyusunnya seperti puzzle raksasa. Jika berpikir adalah hal mendasar dari pengetahuan, maka vitarlenogy itu kumpulan-kumpulan pemikiran-pemikiranku tentang hidup. Atau aku lebih senang menyebutnya kumpulan kenyataan dan ilusi. Kenyataan yang melahirkan ilusi, ilusi yang membangun kenyataan. Silih berganti. Dua hal itulah yang memberiku harapan untuk tetap hidup dan menjalani kehidupan. Kenyataan dan ilusi seperti sesuatu yang menyadarkanku bahwa ada garis cakrawala yang mesti dituju dan ada hari kemarin yang telah dilalui dan meninggalkan jejak ingatan, memento yang tercetak dalam selembar foto atau tapak kaki di tanah basah, lalu kering dan tercetak. Vitarlenology kemudian menjadi cara aku mengingat diriku sendiri.

Hey git, biar kutunjukan bagaimana caraku mengingat diriku dan kehidupanku. Pejamkan matamu. Pikirkan kembali semua yang penting dalam hidupmu, bayangkan saat pertama ketika kamu menemukan apa yang disebut cinta, saat kau berciuman untuk pertama kalinya, saat kau berpelukan dengan orang yang kamu sayangi untuk pertama kalinya, saat sebuah pertama kali kau dipengaruhi sebuah buku. Saat pertama kali kau merasa kehilangan sesuatau yang kau sayangi. Juga saat pertama kali kau bermimpi merubah dunia seperti yang kamu bayangkan. Mungkin juga saat kau merasa exciting ketika pertama kali chating di Internet, membohongi orang-orang dengan nama samaran dan identitas yang kau karang sendiri. Atau ketika kau melakukan perjalanan seorang diri untuk pertama kalinya dengan uang yang kau kumpulkan dengan susah payah… bla bla bla bla…. Ketika begitu banyak jalan baru terbuka dihadapanmu, dan kau bebas memilih pintu mana yang akan kau lalui terlebih dahulu, duniamu terasa lebih besar dan lapang dari yang pernah kau rasakan sebelumnya. dan tiba-tiba semuanya menjadi serba mungkin. Apa pun yang kau inginkan mungkin kau dapatkan. Mengapa setiap hari yang kita lalui tak bisa terus terasa seperti itu? Dan saat kau membuka mata, dunia masih saja sama seperti sebelumnya. Tapi apa kau memang percaya dunia masih sama seperti sebelumnya? Semua itu tergantung dari apa yang kau ingat saat matamu terpejam ketika membayangkan semua yang kau alami untuk pertama kalinya. Apa yang kau catat menjadi cermin, saat kau ingin melihat dirimu kembali.

Sigit, aku merasa seperti Santiago ketika ia mencari legenda pribadinya dalam Sang Alkemisnya Paulo Coelho, ketika aku mencoba menyusun kepingan-kepingan kehidupanku. Karena pada saat menyusunnya, hidupku menjadi sesuatu yang nyata. Semuanya butuh kesadaran, keteguhan hati, kesetiaan pada langkah-langkah kecil dan sederhana. Jika dalam Gempa Waktu, Kurt Vonnegut mengatakan ilmu pengetahuan itu tidak mendatangkan kebahagiaan dan membunuh, aku percaya, bahwa apa yang dilakukan manusia selama ini adalah mengejar ilusi kebahagiaan itu. Ilmu pengetahuan menjadi cara sekaligus candu untuk meraih ilusi itu. Dan kau sendiri, tak terhitung banyaknya, manusia yang rela mati demi ilusi itu. Lalu bagaimana dengan ilmu kehidupanku sendiri? Ilmu kehidupanku adalah caraku meraih ilusi itu, caraku mengingat semua hal yang kulakukan untuk pertama kalinya.
Jika tiba-tiba aku harus mati, aku akan mati dengan membawa dan mungkin juga meninggalkan caraku meraih ilusi kebahagiaan itu.

Sigit, aku tak tahu apa semua yang kutulis, menjawab pertanyaanmu tentang apa yang disebut vitarlenology,mungkin bagimu semua hanya racauanku saja. Toh setiap orang bebas membuat asumsi dan teori sendiri tentang kehidupanku atau pun kehidupannya sendiri. Bagiku vitarlenology seperti Pacth work dan catatan-catatan yang tak tahu kapan selesainya.
[tarlen/20/11/03]

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa