Skip to main content

Surat Untukmu

surat ini biasa aku pakai untuk membalas surat-surat yang ditujukan padaku dan bertanya tentang tobucil. surat ini juga pernah dimuat dibuku revolusi semut yang diterbitkan oleh if community'

Salam,
Sebelumnya aku sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas surat yang dikirimkan kepada ku. Surat tersebut membuat aku merasa tidak sendirian, karena ternyata banyak orang memiliki cita-cita yang sama dan alangkah senangnya jika aku dapat berbagi. Permohonan maaf juga aku sampaikan karena aku begitu lama membalas surat yang dikirimkan kepadaku.

Jika dilihat dari hitungan waktu, apa yang aku lakukan tidaklah berarti apa-apa. masih panjang jalan dan waktu yang harus aku tempuh untuk membuktikan bahwa aku bisa konsisten terhadap apa yang aku cita-citakan sejak kecil.

Izinkan aku berbagi cerita tentang bagaimana aku mengawali apa yang aku lakukan sekarang ini. Seperti yang tertulis di KOMPAS, 7 Maret 2004, sejak kecil aku memang senang buku. Keinginan aku banyak sekali, sampai-sampai orang tua aku seringkali kewalahan menghadapi aku. sering kali aku disebut penghayal dan anak yang telalu banyak keinginan. Aku sendiri lahir sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, dari orang tua yang dua-duanya bekerja. Kehidupan keluarga dan orang tua aku tidaklah berlebihan tapi juga tidak berkekurangan. Cukup untuk sekolah sampai perguruan tinggi, tapi tidak untuk membiayai kesenangan anak-anaknya. Untuk itu sejak kecil aku dan saudara-saudara aku, terbiasa berusaha keras untuk bisa memenuhi kebutuhan sekunder kami, seperti buku atau hobi. Latar belakang itu pulalah yang kemudian membentuk dan menggembleng aku dan tentunya menjadi bekal yang sangat berharga ketika aku memutuskan untuk membuka toko buku.

Jika ditanya bagaimana memulainya, seringkali aku kebingungan untuk menjawabnya. Karena yang aku alami, memulainya begitu mudah. Sebenarnya, embrio tobucil - klab baca, dimulai sejak tahun 1999. Awalnya adalah kegiatan kumpul-kumpul dari rumah ke rumah anggotanya yang pada waktu itu berjumlah kurang lebih 10 orang. Kami berkumpul membahas satu cerita dari karya sastra penulis dalam dan luar negeri. Tapi kegiatan ini hanya bertahan kurang lebih 1,5 tahun. Tahun 2000 (pertengahan) kegiatannya terhenti, karena kesibukan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya. Tahun 2001, tepatnya 2 Mei 2001, Connie Chysania, Rani E. Ambyo dan Tarlen, mendapat kesempatan untuk membuka sebuah Toko Buku Kecil di Bandung (sampai 1 Mei 2002, toko buku ini bernama Pasar Buku Bandung dan sejak 2 Mei 2002 sampai sekarang berganti nama menjadi Toko Buku Kecil. Baru September 2002, kegiatan klab baca yang pertama yaitu Klab baca minggu sore, di mulai. Belum satu tahun berjalan, ternyata kegiatan yang dilaksanakan klab baca cukup berkembang, dan memunculkan klab-klab lain sesuai dengan minat orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Pada saat memulai kami bisa dikatakan tak punya uang. Hanya bermodal jaringan dan hubungan pertemanan yang baik, kami bisa mendapat koneksi ke para penerbit, mendapat tempat gratis yang cukup strategis (di Jl. Dago – bandung) dan dukungan dari teman-teman. Seperti yang aku katakan, bahwa memulai sesuatu adalah hal yang mudah, mempertahankan apa yang sudah dimulai, itulah bagian yang paling sulit. Selama tiga tahun berjalan, aku harus mengalami banyak pengalaman pahit. Dua orang pendiri tobucil Connie Chysania dan Rani E. Ambyo, pada akhirnya harus pergi meninggalkanku. Di tengah jalan, kami tak bisa menjalani apa yang kami cita-cita, bersama-sama. Belum lagi orang yang seharusnya bisa aku percaya untuk membantu mengelola toko buku kecil, melakukan penyelewengan keuangan yang jumlahnya bisa membuat bangkrut tobucil. Pengalaman seperti ini bagi aku tidak mudah untuk dihadapi, aku sempat nyaris putus asa dan berhenti. Tapi kemudian aku menyadari bahwa apa yang aku lakukan ini adalah keinginan aku juga, cita-cita aku sejak kecil. Dalam kondisi nyaris putus asa, dukungan dari teman-teman bermunculan. Sampai kemudian semangat aku bangkit kembali, dan aku bertekat memulainya kembali dari awal. Saat itu tobucil memasuki tahun ketiga bertepatan juga dengan kepindahan tobucil ketempat baru. Saat ini yang aktif terlibat mengelola kegiatan di klab baca – tobucil adalah aku (Tarlen), Dhini, Elvi, Bram, Arief, Mirna, Pam, Ima. Di tempat baru (jl. Kyai gede utama) aku juga mendapatkan teman-teman yang sangat mendukung apa yang aku lakukan, ada reina & gustaff (pasangan suami istri pemilik tempat di kyai gede utama 8), juga tanto yang juga mengelola sebuah organisasi bernama bandung center for new media arts. Tobucil pindah ke kyai gede utama, pada bulan april 2003.

Setelah satu tahun menjalani hidup satu atap di kyai gede utama 8, bulan juli 2004, bandung center for new media art dan tobucil –klab baca, sepakat untuk membuat organisasi payung yang akan memayungi kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di kyai gede utama 8 (KGU 8). payung organisasi itu bernama Common Room. Karena di KGU 8, kami punya ruangan sebaguna yang biasa digunakan untuk pemutaran film, pameran, diskusi dan juga sebuah perpustakaan yang dikelola bersama.

Semua dukungan dan bantuan dari teman-teman yang seringkali tak terduga sebelumnya, aku anggap sebagai hikmah, berkah dan sesuatu yang sangat berharga yang memberi aku kekuatan untuk terus menjalani apa yang aku cita-citakan. Aku kira hal penting yang untuk memulai sebuah toko buku/komunitas/perpustakaan/taman bacaan adalah kebulatan tekat dan kesungguhan hati. Yakinkan diri sendiri bahwa memang kita melakukannya karena kita memang suka dan ingin melakukannya dan menjadi sesuatu yang kita cita-citakan. Tanpa kebulatan tekat, rasanya sulit sekali ya untuk menjaga konsistensi dan semangat untuk bisa bertahan.

Bagaimana pun juga hal lain yang perlu disadari adalah membuka sebuah toko buku tidak bisa disamakan dengan membuka usaha lain, apalagi jika ada idealisme yang menjadi landasan usaha. Jangan lupa untuk mempertajam visi dan misi yang akan kita bawa lewat toko buku/komunitas/perpustakaan/taman bacaan yang akan kita bangun. Sejak awal, kepedulian aku dan teman-teman adalah masalah budaya membaca yang masih sangat rendah. Dan sesuai dengan kepercayaan yang aku anut, membaca menjadi hal yang sangat penting, karena perintah pertama dari Tuhan kepada manusia adalah membaca (iqra), bukan beriman. Logikanya bagaimana mau beriman jika tidak bisa membaca apa yang diciptakan Sang Maha Pencipta. Dari situ kemudian aku menerjemahkan kembali bahwa apa yang disebut melek baca dan tulis (arti literacy secara harfiah) bukan hanya membaca dan menulis teks atau buku. Tapi juga membaca lingkungan sekitarnya, memahami apa yang terjadi disekeliling kita, membaca alam, membaca hal-hal di luar teks bisa disebut literacy. Untuk memperjelas visi dan misi tersebut, akhirnya dirumuskan bahwa tobucil – klab baca membawa misi mendukung gerakan literasi lokal (SUPPORTING LITERACY MOVEMENT!).

Dan sejak awal, sudah diniatkan bahwa tobucil merupakan pintu masuk untuk membangun gerakan literasi tingkat lokal. Karena itulah tobucil adalah komunitas yang berbasis toko buku. Toko bukunya sendiri dibangun karena pertimbangan perlu adanya badan yang bisa memberi dukungan finansial untuk membangun komunitas, sehingga komunitasnya bisa berkegiatan secara mandiri. Jadi faktor bisnis bukan motif utama berdirinya toko buku kecil (tobucil). Karena bagi aku pribadi, jika ingin pure bisnis dan mendapat keuntungan yang banyak, membuka toko buku bukanlah pilihan yang tepat, apalagi jika modal terbatas dan idealisme yang dikedepankan.

Di Bandung, situasi dan kondisinya relatif lebih mudah ya jika di bandingkan dengan di Bali dan di Balikpapan (sejauh yang aku amati). Mungkin karena aku lahir dan besar di Bandung, jadi aku paham betul bagaimana kondisi sosial masyarakatnya. Jadi lebih mudah untuk melakukan pendekatan yang tepat supaya visi dan misi yang kita tuju bisa tercapai. Jadi selain membuat perencanaan sangat penting untuk membuat analisis situasi dan kondisi sosial masyarakat di tempat kita akan mulai membangun toko buku/komunitas/ taman bacaan/perpustakaan.

Setelah bulat tekat, barulah kita bisa membuat perencanaan. Penting untuk dilakukan adalah menganalisis terlebih dahulu modal/potensi apa yang kita miliki dan apa yang tidak kita miliki. Saat pertama kali aku akan memulai tobucil dan klab baca, aku sadar betul bahwa aku tidak punya modal uang yang memadai. Tapi aku sadari betul bahwa aku punya banyak teman-teman yang bisa membantu. Ketertarikan aku kepada seni dan budaya membawa aku kedalam lingkungan tersebut. Kemudian banyak teman-teman di lingkungan seni dan budaya yang bersedia membantu tobucil-klab baca. Kemudian aku melihat itu sebagai sebuah potensi. Untuk itu kegiatan –kegiatan yang diselenggarakan pun kegiatan seni dan budaya. Jadi yang aku lakukan adalah membuat strategi berdasarkan apa yang aku miliki dan apa yang tidak aku miliki. Karena aku tidak memiliki uang, berarti aku harus pandai-pandai mengelola uang yang masuk/pendapatan untuk membiayai operasional toko dan promosi kegiatan. Disini terasa jaringan pertemanan yang aku miliki menjadi sangat penting. Teman-teman banyak sekali membantu membuat acara dan aku hanya menyediakan tempat untuk berkegiatan saja. Untuk itu biaya yang aku keluarkan untuk promosi, tidak terlalu besar.

Dari kegiatan-kegiatan yang telah diselenggarakan itulah, akhirnya berkembang dan membentuk komunitasnya sendiri. Selama ini aku sengaja membiarkan komunitas yang terbentuk dibiarkan terbuka dan cair dalam artian tidak ada keanggotaan, siapa pun boleh mengikuti kegiatan tanpa paksaan. Karena tujuannya adalah menyebarkan gagasan tersebut seluas-luasnya. Lama-lama terbangun juga hubungan saling membutuhkan yang membuat komunitasnya bisa dikelola bersama-sama dengan melibatkan partisipasi dari para sukarelawan.

Ya, semuanya memang ngga mudah dan butuh waktu ya… aku selalu menganggap keberhasilan aku sama besarnya dengan kegagalan yang aku alami. Jadi jangan takut untuk memulai. Jangan putus asa jika menemui kesulitan. Yakinlah bahwa apa yang kita lakukan adalah dengan niat yang baik. Dan selalu ada jalan keluar dan pertolongan untuk sesuatu yang didasari niat baik.

Untuk melengkapi apa yang bisa aku sampaikan, aku sertakan pula informasi lain yang semoga bisa membantu. Jangan segan-segan untuk menghubungi aku dan berbagi cerita suka maupun duka. Perjalanan akan terasa menyenangkan jika kita tahu bahwa kita tidak berjalan sendirian. Mengetahui ada teman-teman lain yang memiliki cita-cita yang sama akan membuat kita tetap bersemangat.

Dari hati yang paling dalam terima kasih banyak untuk perhatian dan dukungannya. Mohon maaf yang sebesar-besarnya karena terlambat membalas.


Salam hangat,
tarlen

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah