Skip to main content

Support Our Local Literacy Movement!

Istilah literacy bagi belia mungkin masih terdengar baru ditelinga. Padahal nih, literacy sudah jadi bagian dari kehidupan belia sehari-hari loh. Ngga percaya? Yuk kita coba telusuri, mumpung bulan September jadi bulan literacy international.

Jika dilihat telisik dari arti katanya, literacy berarti kemampuan membaca dan menulis. Kelihatannya sederhana ya. Bahkan sekarang, adik-adik kita yang duduk di Taman Kanak-kanak pun sudah belajar membaca dan menulis. Bahkan banyak juga yang adik-adik balita kita yang sudah sangat pandai membaca sebelum umur mereka genap lima tahun.

Mungkin kepikiran sama belia, jika literacy sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sejak kita masih kecil, mengapa dipersoalkan? Ternyata pengertian literacy sendiri terus berubah seiring dengan perjalanan kehidupan manusia. Kita pasti pernah belajar, bagaimana manusia primitif mengembangkan tulisan berupa gambar di gua-gua atau tanda-tanda sebagai cara mereka berkomunikasi satu sama lain. sampai akhirnya manusia bisa mengembangkan sistem penandaan dan bahasa yang bisa disepakati bersama baik lisan maupun tulisan untuk bisa berkomunikasi dan bertukar informasi satu sama lain. Ketika bahasa lisan dan tulisan terus berkembang sesuai kebutuhan hidup, ternyata kemampuan manusia untuk bisa mempelajarinya tidak secepat dari pekembangan bahasa itu sendiri. Akibatnya muncul banyak persoalan karena orang tidak bisa berkomunikasi dan betukar informasi karena tidak bisa membaca dan menulis.

Dari referensi yang ditulis di wikipedia.org, di pertengahan abad ke 19, kemampuan membaca dan menulis ini ternyata hanya bisa dimiliki oleh sedikit orang saja. Akses terhadap bahan bacaan ternyata sangat mahal. Hanya sedikit orang yang mampu menanggung biayanya. Dengan kata lain bisa disebut juga, kemampuan orang-orang untuk mendapatkan pendidikan membaca dan menulis, saat itu masih sangat rendah. Sebagai contoh, pada tahun 1841 di Inggris, 33% laki-laki dan 44% perempuan, tidak bisa memiliki kemampuan menulis ketika menandatangani surat pernikahan mereka..

Mmm, kebayang gawatnya ya kalau kondisinya sekarang masih seperti itu. Mungkin kita masih hidup dengan cara barbar. Kemungkinan paling buruk, kehidupan manusia dimuka bumi ini pasti teracam punah. Upaya-upaya membuat sebanyak mungkin orang bisa membaca dan menulis terus dilakukan. Di Indonesia sendiri, pemerintah menjalankan beberapa program untuk memberantas buta huruf. Program wajib belajar yang semula hanya sampai tingkat Sekolah Dasar, kini telah ditingkatkan sampai Sekolah Menengah Pertama. Belum lagi pihak-pihak selain pemerintah yang juga aktif membuat dan menjalankan program-program pendidikan baca tulis untuk anak-anak atau orang yang kurang mampu secara ekonomi lewat pendidikan-pendidikan informal. Muncul pertanyaan baru, apakah literacy itu maknanya hanya sekedar kemampuan membaca dan menulis saja? Bagaimana jika suatu saat nanti, semua orang di dunia ini bisa membaca dan menulis dan tak ada lagi yang buta huruf, apakah manusia bisa hidup tenang dan damai terbebas dari segala persoalan?

Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan semakin banyaknya orang yang bisa membaca dan menulis, literacy tidak lagi dimaknai sekedar memiliki kemampuan membaca dan menulis saja, tapi literacy juga berarti kemampuan seseorang memahami makna dibalik bacaan dan tulisan.

Jika menengok ke sekeliling kita, betapa banyak orang yang bisa membaca dan menulis, tapi tetap saja banyak persoalan yang muncul karena ketidak tahuan dan ketidak mengertian. Misalnya saja soal penyalah gunaan narkoba. Banyak orang tahu, narkoba itu berbahaya dan harus dijauhi. Tapi seringkali, larangan itu tidak disertai dengan alasan atau informasi yang cukup, mengapa narkoba berbahaya dan bagaimana dampaknya secara spesifik. Jadi tetap saja setiap tahun, angka kematian akibat penggunaan narkoba terus meningkat. Penyebabnya, banyak dari kita enggan mencari tahu, mengapa narkoba itu bahaya dan mengembangkan rasa ingin tahu bukan dengan mencobanya, tapi mencari informasi sebanyak mungkin mengenai baik dan buruknya. Sehingga ketika memutuskan untuk mencobanya, bukan karena keren-kerenan atau ingin disebut beda, tapi benar-benar karena pertimbangan yang matang dan bertanggung jawab.

Nampak repot ya, untuk menemukan makna di balik segala hal yang tertulis dan bisa kita baca. Mmm kelihatannya begitu padahal engga juga. Sebenarnya kuncinya adalah jangan pernah membunuh pertanyaan. Semua keingintahuan dan ketidak mengertian kita sebenarnya ada jawabannya asalkan kita mau mencarinya. Gimana caranya? Belia bisa mulai dengan menumbuhkan kebiasaan membaca. Membaca sendiri adalah kegiatan yang paling mendasar dari literacy itu sendiri. Baca sebanyak mungkin buku atau bacaan dalam bentuk apapun. Setiap buku yang belia baca, membuka pintu-pintu baru untuk memahami dunia yang begitu luas dan beragam.

Nah, kalau kebiasaan membaca ini mulai tumbuh, jangan segan-segan mencari teman-teman untuk berbagi. Ngga enak loh menyimpan sendiri ilmu yang kita dapat dari apa yang kita baca. Lebih asyik, jika kita bisa saling berbagi dengan orang lain dan mengamalkannya. Karena seringkali apa yang tidak kita pahami, ternyata dimengerti orang lain. Gabung di kegiatan-kegiatan, klab-klab, atau komunitas-komunitas disekitar kita yang tujuannya berbagi atau belajar bersama-sama, jauh lebih menyenangkan, untuk mendapatkan pemahaman dari apa yang kita baca. Asyik kan bisa dapat banyak teman-teman baru yang punya ketertarikan yang sama dan saling belajar satu sama lain. Jika kesadaran ini muncul bersama-sama, tanpa disadari belia sebenarnya ikut mendukung local literacy movement atau gerakan literasi di tingkat lokal loh. Jadi tunggu apa lagi, gabung di kegiatan-kegiatan literacy di sekelilingmu, suppport our local literacy movement!

tulisan ini pernah di muat di halaman Belia Pikiran Rakyat

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah