Skip to main content

Cinderella Complex Dalam Cakram Digital Enam Ribu Perak

Siang itu udara Ibukota tidak terlalu panas menyengat. Lantai dasar Mal Ambasador dipadati para pekerja kantor-kantor sekitar mal yang menghabiskan waktu istirahat mereka. Para penjaga counter-counter DVD bajakan yang berada di lantai dasar mal tampak sibuk melayani pembeli. Saya termasuk salah satu di antara kerumunan yang sibuk memilih film-film menarik yang hanya enam ribu rupiah saja per kepingnya. “ Saya mau ambil yang ini!” seorang perempuan yang saya duga berumur 30-an menyerahkan lima keping film. Satu film kartun, satu film action terbaru dan tiga film drama romantis. Belum selesai mbak penjaga counter selesai melayani perempuan lain, menambah kesibukannya. “ mba kalau ini sudah bagus belum gambarnya?” Tanya perempuan yang berdiri di sebelah saya, sambil menunjukkan dvd Briget Jones Diary. Saya sempat menoleh sebentar kearah perempuan itu, ketika mba penjaga counter menjawab “belum terlalu bagus!’ sementara penjaga counter yang lain sibuk melayani seorang lelaki yang ingin mencoba setumpuk dvd pilihannya. Saya sempat menoleh kearah tumpukkan dvd pilihannya. Saya perhatikan judul-judul film pilihannya: aviator, King Arthur, dokumenter tentang KGB yang saya tidak telalu tahu apa judulnya, dan beberapa film action kelas B yang tidak menarik perhatian saya.

Begitulah, sepanjang jam makan siang itu, saya sibuk memilih-milih film yang ingin saya beli. Sambil memperhatikan orang-orang disekeliling saya yang juga sibuk memilih film-film yang menarik perhatian mereka. Ada kecenderungan menarik yang kemudian saya temukan. Kecenderungan ini bukan hanya saya temui di counter-counter DVD mal Ambasador saja, tapi juga counter-counter DVD bajakan di kota asal saya, Bandung. Di mana perempuan cenderung memilih film-film drama romantis dengan tema cinderela compleks dan laki-laki cenderung memilih film-film action di mana tokoh utama yang kebanyakan laki-laki, berperan sebagai penyelamat.

Saya pernah menanyakan hal ini pada teman-teman perempuan saya. Kebanyakkan dari mereka berpendapat, film drama romantis lebih mewakili apa yang mereka impikan seperti impian Cinderella diselamatkan pangeran tampan dan hidup berbahagia selamanya. Sementara teman-teman laki-laki saya berpendapat, film-film action lebih seru dan mewakili kejantanan yang mereka miliki. Ketika lakon utama (yang kebanyakan laki-laki) tampil sebagai sosok pahlawan yang menyelesaikan persoalan yang ditampilkan di film, teman-teman saya mengganggap memang seperti itulah seharusnya laki-laki. Itulah sebabnya mereka lebih senang menonton film-film action dari pada

Kecenderungan itu kemudian saya sadari sebagai bagian persoalan gender, bagaimana konstruksi sosial masyarakat membentuk perspektif gender bahkan sampai pada kecenderungan memilih tema film antara laki-laki dan perempuan. Sejak kecil, anak perempuan dikondisikan untuk cenderung memilih kisah-kisah romantis yang berakhir dengan happy ending dimana tokohnya utamanya adalah perempuan cantik tapi lemah dan tidak punya daya dan kuasa untuk mengambil keputusan atas kehidupannya. Lalu datanglah lelaki perkasa dan biasanya tampan, datang menyelamatkan perempuan itu, memberi janji kehidupan yang bahagia selamanya. Cerita-cerita itu terus dan terus diulang dan diulang sebagai dongeng masa kecil yang akhirnya membentuk perspektif megenai perempuan. Bagaimana kemudian perempuan dikondisikan sebagai pihak yang diselamatkan bukan menyelamatkan. Sementara bagi anak laki-laki, masa kecil diwarnai dengan dongeng-dongeng penuh petualangan dan aksi-aksi kepahlawanan untuk menyelamatkan kelompok yang lemah atau putri raja yang cantik jelita tapi tak berdaya itu.

Dongeng-dongeng masa kecil yang membentuk konstruksi itu ternyata terus berlangsung. Cerita yang ditampilkan lewat film yang dikemas sedemikian rupa tampil dalam wujud audio visual yang sedemikian dramatik. Semakin hebat aktor dan aktris yang memerakannya, semakin mudah konstruksi gender itu diserap oleh penontonnya. Dan melalui film, proses konstruksi itu terasa sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tidak disadari, karena film selama ini berfungsi sebagai media hiburan.

Bagi para pekerja yang saya temui siang itu, Ambasador mungkin menjadi hiburan yang menjadi bagian dari rutinitas. Counter-counter DVD di mal seperti tema yang tanpa sadar terus menerus dipilih. Tanpa menyadari bahwa tema itu menegaskan konstruksi sosial mengenai perempuan dan laki-laki lewat hiburan seharga enam ribu perak. Dari ribuan ilustrasi kisah kehidupan yang dibekukan dalam kepingan cakram digital itu, mengapa tidak mencoba memilih tema yang berbeda untuk mendapat kebaruan perspektif terutama cara pandang terhadap persoalan gender. Apakah persoalannya ada pada keengganan untuk lepas dari perspektif yang selama ini dianggap menghibur, atau kemalasan untuk menemukan perspektif baru dari tema-tema yang menjadi rutinitas hiburan selama ini.

buat JP online #1

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah