Skip to main content

Keseharian Berkota dan Ketegangan di ‘Tapal Batas'


foto by tarlen

Kesadaran hidup di ‘tapal batas’ baru saya rasakan beberapa tahun terakhir ini, ketika aktivitas sehari-hari, saya mulai dengan menyebrangi jalan kereta api, yang memisahkan Kebon Pisang dan Gudang Selatan. Saat itulah saya merasakan hidup saya seperti bergerak melintasi dua wilayah dengan ketegangannya masing-masing. Merasakan kontras yang simultan berulang setiap hari. Merasakan relasi saya dan kota ini dengan perasaan benci dan cinta sekaligus.

***

Sejak lahir sampai saat ini, saya tinggal di sebuah perkampungan bernama Kebon Pisang. Perkampungan yang konon kabarnya, menurut para sesepuh, dulunya merupakan daerah tak bertuan dan meruoakan ‘kebon pisang’ dalam arti sesungguhnya. Perkampungan ini letaknya persis di antara pintu kereta api Jalan Ahmad Yani dan Jalan Sunda, di tepi jalan kereta api jalur barat ke timur dan timur ke barat. Pada mulanya perkampungan ini berkembang dan terbentuk dari komunitas Jawa yang berdagang di Pasar Kosambi. Dalam buku “Semerbak Bunga di Bandung Raya”, Haryoto Kunto sempat menyebutkan, bahwa komunitas Jawa di sekitar Pasar Kosambi terbentuk dari para pelarian Perang Jawa pada pertengahan abad 19.

Di seberang Kebon Pisang, terdapat deretan gudang-gudang militer, membentang dari utara ke selatan, sambung menyambung dengan markas KODIM (Komando Distrik Militer)K KODAM III Siliwangi dan bagian Peralatan KODAM III SILIWANGI. Gudang-gudang itu seperti sebuah ‘benteng pertahanan’ di tengah kota. Membentuk dunia lain yang dibatasi dengan tegas oleh jalan kereta api.Kompleks militer yang rigid dan teratur secara ruang, masih bisa dirasakan dan dialami hingga kini. Namun aura militerisme yang terasa kuat sampai pertengahan tahun 1990-an, lambat laun berbaur dengan arus komersialisme yang mulai merubah wajah dan fungsi kompleks militer itu dalam sepuluh tahun terakhir ini.

Pan Schomper, pemilik Hotel Naripan di masa kolonial dulu, menulis dalam bukunya ‘Chaos After Paradise, Selamat Tinggal Hindia: Janjinya Seorang Pedagang Telur’, bahwa pintu kereta api di Jalan Ahmad Yani, menjadi garis demarkasi antara wilayah pribumi dan non pribumi (baca: orang Eropa). Jika ada orang pribumi berkeliaran di wilayah orang Eropa lewat jam malam, akan terkena hukuman yang sangat berat. Pada masa penjajahan Jepang, daerah Cihapit sampai Gudang Utara, menjadi kamp konsentrasi dalam kota bagi para interniran Belanda.

Sementara di belakang Kebon Pisang, sampai akhir tahun 90-an, terdapat Asrama Polisi (Aspol) yang kini berubah menjadi ITC (International Trade Center) Kosambi. Saya masih ingat, ada pagar kawat berduri dan tembok yang mengelilingi asrama polisi itu. Disekeliling tembok, parit kecil memisahkan Kebon Pisang dan asrama polisi. Pintu masuk ke asrama, bisa melalui dua pintu: gerbang utamanya di dekat pasar Kosambi yang menghadap Jalan Baranangsiang, atau lewat jalan kecil yang merupakan jalan pintas dari Kebon Pisang ke Aspol.

Di tahun 80-an, saat saya masih kanak-kanak, kemeriahan 17 Agustus-an, seringkali berubah menjadi ketegangan saat terjadi perkelahian antara Aspol dan asrama ARHANUD (Artileri Pertahanan Udara) TNI-AD yang terletak di daerah jalan Menado. Penyebab perkelahian itu, biasanya sederhana saja. Salah satu pihak yang kalah dalam kompetisi sepak bola 17 Agustus-an, se Kecamatan Bandung Wetan (sebelum diganti jadi Kecamatan Sumur Bandung), merasa dicurangi. Saat itu, Asrama ARHANUD sering kali, menjadi pihak yang lebih ditakuti. Secara geografis dan politis, pihak asrama ARHANUD lebih diuntungkan. Letaknya yang berada di tengah-tengah kompleks militer yang dijaga ketat, membuat Asrama ARHANUD sulit untuk diserang terlebih dahulu. Sementara Asrama ARHANUD seringkali menyerang Aspol, dengan kebon pisang sebagai pintu masuknya. Akibatnya, yang menanggung kerugian lebih banyak dari tawuran dua asrama ini adalah warga Kebon Pisang. Selain teror mental, lemparan batu yang merusak kaca-kaca rumah, harus di hadapi, tanpa bisa meminta ganti rugi. Tawuran ini, sempat menjadi kegiatan rutin yang harus di hadapi penduduk Kebon Pisang dalam kurun waktu tertentu di tahun 80-an.

Diawal tahun 80-an, pemerintah Orde Baru menerapkan banyak kebijakan yang sangat militeristik, seperti ABRI Masuk Desa, UU Subversib (UU no 11/PPs/1983). Akibatnya aktivitas militer terasa mendominasi kehidupan saya sejak saya bersekolah di SD Patrakomala, yang terletak di tengah-tengah kompleks militer, juga di Kebon Pisang dan sekitarnya pada masa itu. Tak jarang, di tengah malam, sepeleton prajurit, latihan baris berbaris sambil menyanyikan lagu-lagu mars ABRI. Latihan peperangan di dalam kota, parade perlengkapan militer, seperti tank, mobil-mobil tempur, berderet di sepanjang Gudang Selatan, pada peringatan-peringatan tertentu di masa itu. Seolah ingin mempertontonkan kekuatan militer yang selalu siaga menjaga keamanan dan stabilitas negara. Kondisi siaga itu, di satu sisi terasa sebagai teror dan ancaman pada masyarakat sipil di sekitarnya, bahwa barang siapa menentang penguasa, harus berhadapan dengan kekuatan militer sebagai penguasa wilayah. Dan KODIM, pada masa itu, menjadi jaminan keamanan warga. Jika ada preman kampung melakukan tindak kriminal, warga Kebon Pisang, cukup membawa mereka ke KODIM untuk mengganjar perbuatan si pembuat onar. Namun seiring dengan perubahan situasi politik dan peran militer, warna militeristik di Gudang Selatan dan sekitarnya lambat laun memudar. Tapal batas menjadi wilayah status quo yang saat ini lebih didominasi oleh kepentingan para pemilik modal.

Perubahan dari situasi serba rigid ke kondisi ‘chaotic ‘, sempat pula saya alami saat duduk di bangku SMP pada akhir 80-an sampai awal 90-an. Sekolah saya pada saat itu, terletak persis di belakang Stasiun Cikudapateuh. Teman-teman saya mayoritas berasal dari daerah-daerah padat penduduk dengan tingkat kriminalitas dan ketegangan cukup tinggi. Seperti Cibangkong, Cukang Jati, Kosambi, Galunggung, Gatot Subroto, Karees, Cinta Asih, Cicadas. Kisah-kisah tentang pembunuhan, perkelahian, perampokan, kekerasan, tindak kriminalitas lain, kehebatan preman-preman setempat, menjadi urban legend yang mewarnai keseharian masa remaja saya. Dan menjadi ketegangan psikologis yang saya alami dalam berkota.

***
Ketegangan di ‘tapal batas’_Gudang Selatan-Kebon Pisang, pada kondisi sekarang, tidak lagi berupa ketegangan-ketegangan fisik seperti masa-masa tawuran antar asrama di tahun 80-an. Ketegangan itu kini terasa lebih laten, karena terkait dengan konflik kepentingan. Komersialisasi lahan memegang kendali perubahan pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini.

‘Benteng tak bertuan’ di sekeliling Gudang Utara - Gudang Selatan, yang tidak lagi digunakan untuk kepentingan militer itu, kini terkavling-kavling sebagai wilayah komersil. Mulai dari gudang barang Carefour, kantor untuk lokal clothing 347/eat, bengkel Land Rover, workshop funiture, pangkalan taxi Gemah Ripah, pabrik obat, sampai rumah makan. Perubahan fungsi bangunan-bangunan itu, merubah kompleks militer yang rigid, menjadi lebih beragam dan vis a vis dengan perubahan yang juga terjadi di jalur ‘tak bertuan’ sepanjang rel kereta api.

Jalur tak bertuan ini, selain menjadi tempat pembuangan sampah dan tempat pemukiman para pemulung, dalam lima tahun belakangan ini, bermunculan ruang-ruang usaha seperti bengkel, tempat sablon, atau rumah-rumah liar yang disewakan pada para pendatang yang entah dari mana asalnya. Wilayah ini diduduki oleh pihak-pihak yang merasa berhak menempatinya tanpa status kepemilikan dan wilayah administratif yang jelas, apakah masuk ke wilayah Kelurahan Kebon Pisang, atau Kelurahan Merdeka. Wilayah yang seharusnya menjadi jalur hijau jalan kereta api, malah menjadi tapal batas baru di antara Kebon Pisang dan Gudang Selatan. Sempat buldoser pemerintah datang untuk menertibkan wilayah itu. Namun tidak berhasil, karena penghuni dan pihak-pihak yang berkepentingan menghalangi upaya itu. Entah sampai kapan, wilayah tak bertuan ini akan bertahan. Desas-desus penggusuran, muncul seperti bom yang ditanam dan bisa meledak kapan saja tanpa bisa dicegah.

***
Dari hari ke hari, ketegangan-ketegangan tapal batas, tidak lagi menjadi kontras yang mencolok bagi saya. Bandung yang saya alami, kini berubah begitu cepat melampau kemampuan daya dukungnya sendiri. Dan melahirkan ketegangan-ketegangan baru di wilayah yang semula menjadi negasi wilayah tapal batas.

Kesadaran bahwa ketegangan telah menjadi keseharian yang saya jalani dan saya pahami selama ini, muncul menjadi skala toleransi yang bisa bergerak lentur dari titik paling rendah sampai titik tertinggi, dalam merespon semua perubahan ini. Toleransi inilah yang pada akhirnya memberi cara bagi saya untuk bisa menikmati Bandung dengan kecintaan dan kebencian sekaligus.

Tulisan ini tadinya untuk alambina.net, tapi ga ada kepastian apakah akan dimunculin di websitenya atau engga.. jadinya aku masukin ke sini aja..

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa