Skip to main content

Perkembangan Komunitas Film Bandung Tahun 2002: “Support and Enjoy your Own Videos!”

“Bandung? Anak Bandung mah cuma bisa mulai tapi ngga bisa mempertahankan apa yang sudah dimulai!” Begitulah komentar beberapa orang ketika ditanyai mengenai perkembangan perfilman di Bandung. Saya hanya tersenyum mendengarnya, dalam hati saya membenarkan komentar itu. Tapi memulai masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Jika mau jujur, siapa komunitas film di Bandung yang cukup berpengaruh? Apa karya mereka yang cukup menonjol yang pantas diperhitungkan dalam geliat kebangkitan perfilman nasional? Sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Atau malah bukan seperti itu pertanyaannya. Ataukah sebaiknya lihatlah Bandung sebagai Bandung.

Sebut saja Forum Film Bandung yang cukup berpengaruh pada dasawasa 80 an. Lalu, sekitar dua tahun di penghujung 90an, dimana Bandung gempita dengan semangat komunitas-komunitas pecinta film yang membentuk Kine Klub. Mulai dari kampus-kampus, cafe sampai studio seniman membuka diri untuk kegiatan apresiasi film. Namun di tahun 2002 tidak lebih dari lima yang masih bertahan dengan kegiatannya. Dan Forum Film Bandung? Bertahan sebatas seremonial penganugrahan award.

Memang, tidak banyak ajang film yang cukup menjadi barometer perkembangan film komunitas film di Bandung. Meski Festival Film Independen garapan Konfiden, pertama kali diadakan di Bandung, namun kelanjutan ajang serupa selalu saja berhenti sebatas gagasan. Pusat kebudayaan asing seperti CCF, Erasmus Huis dan British Council, yang memboyong festival filmnya ke Bandung, juga tidak menampilkan pilihan selengkap Jakarta.

Jika seperti mode yang seringkali berulang, tahun 2002 ini, apresiator film di Bandung bisa bersenang hati, bayak event film yang telah berlangsung maupun akan berlangsung di kota Bandung. Mulai dari British Film Festival, Festival Sinema Perancis, JIFFEST Film Travelling yang semuanya memang kegiatan tahunan, dan tahun ini pula Dutch Film Festival sempat mampir di Bandung meski publikasinya tidak segencar event film serupa.

Peristiwa lain yang penting untuk dicatat adalah Bandung Video, Film and New Media Art Forum, ajang eksibisi film, video dan performance art yang mengeksplorasi media baru dalam karya rupa dan pertunjukan, dan film menjadi media baru yang terus diekplorasi. Sebuah sinergi yang patut dicermati. Event seperti ini bisa menjadi penanda sekaligus barometer perkembangan film atau video art, yang dapat menjadi eksplorasi visual artistik, bahkan mungkin referensi artistik dunia perfilman kita. Hanya saja untuk event seperti ini, saya selalu cemas, jika ini adalah peristiwa yang lahir sekali sesudah itu mati.

Tak kalah menarik pada event yang akan datang, yaitu pada pertengahan Oktober. Apa yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya TRAFFIC (Territorial Research For Independent Film Community), yang akan menggelar Bandung Hair Cut Film Festival 2002 yang menampilkan video dokumentasi lokal band-band Bandung dan film-film dokumentasi musik. Dengan upaya mengusung wacana sub kultur Bandung yang kuat, event ini merupakan eksibisi film perjalanan musik baik yang mempengaruhi maupun yang dipengaruhi dalam komunitas musik Bandung. Maka sebut saja film dokumenter Grunge From Seattle (Seattle Sound) dimana pada pertengahan 90-an, Seattle Sound memberikan pengaruhnya yang kentara dari mulai musik dan gaya berpakaian anak muda Bandung. Karya-karya Nirvana, Pearl Jam, Soundgarden, seolah menjadi lagu wajib di setiap pertunjukan musik pada masa itu. Pada dekade itu pula komunitas-komunitas film ada dan bergerak masing-masing. Berkarya sebagai sebuah kesenangan, jika disebut sebuah gerakan pun, tidak terdengar iramanya.

Apa yang dilakukan TRAFFIC sendiri masih dalam rangka pemetaan komunitas film di Bandung saat ini. Upaya mereka menggelar event berbasis sub kultur Bandung, mengobati kerinduan banyak pihak yang mendambakan event yang jadi penanda identitas kultural anak muda Bandung. Kelompok-kelompok sub kultur Bandung ini memiliki karakter tersendiri yang tercipta atas pemahaman Think Globally Act Locally, menjadi bagian dari masyarakat global tanpa harus kehilangan ciri khas lokal dan kepekaan lokal. Ini menarik, karena ditengah-tengah arus kebangkitan dunia film nasional, kelompok ini menyikapinya dengan membaca ulang peta lokal dan mencoba menampilkan wacana sub kultur yang selama ini termarjinalkan, menjadi resistan, sekaligus memiliki kekuatannya sendiri di Bandung.

Berkembangnya distro yang memiliki peranan penting dalam mendistribusikan mini album, clothing lokal, penyebaran publikasi acara sub kultur, dan yang tak kalah penting adalah dukungan finansial untuk gerakan sub kultur Bandung. Majalah lokal Bandung seperti Trolley (almarhum), Ripple dan Board Riders, serta Zine komunitas, muncul menjadi agen mediasi event-event sub kultur Bandung. Semua ini menjadi scene yang khas dalam perkembangan identitas kultural anak muda Bandung, sekaligus juga potensi alternatif untuk terciptanya jalur distribusi independen bahkan warna baru dalam perkembangan wacana perfilman lokal maupun nasional.

Hal lain yang justru tidak disangka-sangka di tahun 2002 ini, muncul dari anak-anak SMP di dua Sekolah Menengah Pertama di Bandung : SMPN 9 (Hanya Kacamata yang Tahu jawabannya) dan SMP Taruna Bakti (Bingkisan), Film mereka dari hasil workshop karya Kita Bengkel Film Pemula (Bandung, 2001), terpilih sebagai 4 film pilihan dewan juri (2 diantaranya dari Bandung), pada Malam Penghargaan Karya Kita, Bengkel Festival Film Pemula, di Jakarta, 11 Agustus 2002 yang lalu, setelah bertarung dengan karya-karya teman-teman sebaya mereka dari beberapa daerah di Indonesia (Yogyakarta, Surabaya, Makasar, Jakarta).

Dari hiruk pikuk event film yang digelar, juga kemunculan baru komunitas-komunitas film di Bandung, semoga ini menjadi pertanda, geliat komunitas film Bandung bukan sekedar gerakan malas-malasan yang sesudah itu kembali tidur, tapi lebih pada keberanian untuk menjadi diri sendiri, menampilkan identitas kulturalnya sebagai bagian dari masyarakat global. Jadi, bagi perfilman Bandung sekarang, Support and Enjoy Your Own Videos, sementara cukuplah!

Tulisan ini pernah dimuat di majalah Aksara, 2002

Catatan: Pada saat tulisan ini selesai di buat, ternyata acara TRAFFIC batal diselenggarakan karena ketidak tersediaan dana dan sumber daya yang memadai.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa