Skip to main content

The Ballad of Jack and Rose



Entah kenapa aku senang sekali mengulang dan mengulang dan mengulang menonton film The Ballad Jack and Rose. Kisah bapak dan anak, hidup di sebuah tempat terpencil dengan idealisme tinggalan jaman hippies, sebagai environmentalis. Sampai akhirnya realitas berkata, “Rose, ayahmu Jack Slavin, sekarat sayang. Kau tak akan hidup selamanya bersamanya. Dia akan mati, dan kau harus terima kenyataan itu.” Yeah right, apakah aku pernah membayangkan bapakku mati? tentu saja tidak. Bahkan Rose sekalipun, meski dikisah itu, Rose tau, kondisi paru-paru Jack sudah sedemikian parahnya. Tapi saat kematian itu datang, rasanya terlalu berat untuk bisa menerima itu. Diriku sendiri, di detik-detik terakhir kematiannya, sulit mempercayai bahwa hal itu terjadi di depan mataku. Kukira, semua anak perempuan yang sangat-sangat sangat menyayangi bapaknya, tak pernah membayangkan bapaknya kan mati suatu hari nanti. Begitu pula sundea temanku, si anak bapak, yang tak bisa membayangkan, bahwa suatu hari nanti dia akan berpisah dengan bapaknya.

Ketika kamu begitu dicintai oleh bapakmu, dipuja melebihi pemujaannya terhadap ibumu sendiri, kau pasti mengira, kau hidup di benteng yang begitu nyaman, kokoh dan tak bisa diruntuhkan oleh apapun. Tak ada seorangpun yang bisa merebut rasa nyamanmu dalam benteng itu. Membayangkan kematiannya, seperti mimpi buruk yang ketika kau membuka mata, kau akan berusaha keras melupakannya. Kau akan terus menerus mencoba meyakinkan dirimu, bahwa bapakmu itu akan hidup terus selama-lamanya. Saat hidupmu berakhir bahagia selamanya, seperti dongeng fairy tales, barulah kau bisa membiarkan bapakmu mati.. maaf.. maksudku membiarkan bapakmu menghilang dalam kisah hidupmu. Tapi apa yang terjadi jika ternyata, benteng yang begitu nyaman dan kuat itu tiba-tiba runtuh? bukan hanya runtuh, tapi menghilang? seperti kisah tidur di rumah jadi-jadian. Kamu pikir kamu tinggal di sebuah rumah yang nyaman, tapi ternyata keesokan harinya, ketika terbangun, kau ada di emperan jalan.

“If you die, i die,” itu yan g Rose bilang saat Jack, mencoba mengingatkan bahwa sakit paru-parunya itu, bisa merengut nyawanya kapanpun malaikat pencabut nyawa menginginkannya. Dan aku tak mengatakan apapun saat hembusan nafas terakhir benar-benar terlepas dari raga bapakku. Bahkan aku tak menangis sama sekali saat penguburannya. “tough luck, huh?” Rosie menganggapnya seperti itu. Dan aku? Yah, selamat membangun kembali sesuatu yang tiba-tiba hilang. Masih bisakah aku mememukan model yang sama persis untuk menggambarkan kembali bapak yang hilang itu? Mungkin saat bapakmu tiba-tiba mati, yang kau perlukan adalah mencari bapak yang lain untuk mendefiniskan bagaimana bapakmu yang hilang itu.. ya mungkin..

Aku berbicara atas nama anak-anak perempuan yang pernah atau masih memiliki bapak yang begitu sayang dan memuja putrinya sendiri sedemikian rupa. Sehingga, kau menganggap hanya bapakmulah lelaki yang begitu mengerti dirimu, satu-satunya pemuja setiamu. Saat menonton Ballad Jack and Rose, aku selalu berpikir dan menduga-duga, mungkin bagi seorang anak perempuan, ketika manusia di bumi ini punah dan yang tersisa hanyalah seorang anak perempuan dan ayahnya, kukira kehidupan akan berjalan seperti biasa. Karena rasa nyaman seorang ayah yang begitu sayang pada putrinya seperti jalan yang bisa dilalui dan ditapaki dengan jaminan kau akan baik-baik saja, tak akan ada satupun yang bisa membuatmu merasa terancam.

Jadi bisa kau bayangankan, bagiamana kau bisa menapaki jalan yang kemudian kau sadari, penjamin rasa nyaman itu sudah tak ada lagi. Kau tak bisa menggenggam tangannya saat kau merasa tak yakin dengan jalan yang kau lalui.

Memang, saat bapakmu mati, bukan berarti hidupmu berakhir dan dunia jadi kiamat. Kau bisa seperti Rose yang kemudian mengubur bapaknya dengan membakar semua hal yang menjadi artefak kesejarahan kalian, lalu pergi ketempat yang baru dan memulai hidup baru sama sekali. Atau kau bisa mencari sosok yang nyamannya terasa seperti bapak, lalu your new guardian angel itu, membantumu mengumpulkan kembali dirimu yang berantakan dan membantumu menatanya kembali. Atau kau juga bisa bersikap pura-pura semuanya berjalan dengan baik tanpa bapakmu, padahal saat kau sendiri, kau begitu merana karena ada lubang besar mengangga di hatimu, karena kau tiba-tiba kehilangan makna dari rasa nyaman yang sesungguhnya dan kau harus berusaha keras mendefinisikannya kembali.

Yeah,aku jadi bertanya apa jadinya jika bunda Maria ternyata melahirkan seorang anak perempuan, bukan anak laki-laki?

gudang selatan, 17 agustus 2006
01:48

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa