Skip to main content

Somewhere Over the Rainbow


Somewhere, over the rainbow, way up high,
There's a land that I heard of once in a lullaby.

Somewhere, over the rainbow, skies are blue,
And the dreams that you dare to dream really do come true.

Someday I'll wish upon a star
And wake up where the clouds are far behind me,
Where troubles melt like lemon drops.
Away above the chimney tops
That's where you'll find me.

Somewhere over the rainbow, bluebirds fly,
Birds fly over the rainbow,
Why then, oh why can't I?

If happy little bluebirds fly
Beyond the rainbow,
Why oh why can't I?

***

Lagu itu tiba-tiba bergema dikepalaku, saat kegalauan muncul semalam. Gimana ga galau, temanku lewat YM bilang, ada lowongan sebagai media campaigner full time-nya Greenpeace. Dan dia bilang 'coba len,' dalam hati aku mulai bimbang. Pengalamanku banyak sekali berhubungan dengan media campaign. Dan yang paling bikin galau adalah Greenpeace.

Aku inget, kurang lebih empat belas tahun lalu. Waktu aku kelas 2 SMU. Saat aku dapet balasan surat dari Greenpeace Amsterdam, seneng banget. Karena cita-citaku waktu itu pengen jadi 'rainbow warrior'nya Greenpeace. Bapakku aja ikut seneng. Karena dia paham banget, aku bercita-cita gabung di Greenpeace. Bapakku malah sempet bilang sama tanteku soal ini dengan antusiasme yang jarang dia perlihatkan sebelumnya. Greenpeace yang membuatku membaca buku-buku lingkungan yang tebal dan untuk banyak orang membosankan. Greenpeace yang mendorongku mengenal banyak persoalan yang menjadi mata rantai masalah lingkungan. Greenpeace yang membuatku mengkliping banyak hal dan terutama persoalan-persoalan lingkungan. Greenpeace pula yang membuatku tertarik pada hal-hal filantropi. Greenpeace adalah horizon utopiaku saat itu.

'Wah ternyata cita-cita kita sama ya,' kata Sandy temenku yang jurnalis Tempo Newsroom itu. Dialah yang membawa pesan tentang dicari media campaigner Greenpeace. 'Saya juga pernah kirim surat ke mereka, dan nanya: gimana caranya kalo pengen jadi rainbow warrior?' sama sepertiku, rainbow warrior adalah horizon utopianya sebelum terjebak pada industri media.'Trus mereka jawab di suratnya: untuk jadi rainbow warrior, kamu bisa memulainya dengan membuat zona bahagia untuk orang lain minimal satu meter persegi disekelilingmu.'

Zona bahagia? semudah itukah untuk menjadi rainbow warrior? hanya sebuah zona bahagia satu meter persegi?

***

Zona bahagia, Greenpeace, media campaigner, full timer..... hayalanku langsung melambung.. gila ya.. Greenpeace gitu loh.. dan aku jadi media campaignernya.. bayanganku langsung dipenuhi guntingan-guntingan koran liputan-liputan aksi-aksi mereka. Bayangin.. ini aku loh yang bakal merancang semua itu (padahal masukin aplikasi aja engga :D).. hasrat menjadi dona corleone sekaligus rainbow warrior bisa tercapai sekaligus... semua hayalan-hayalan masa sma, tiba-tiba ada di depan mata..

Trus common room? tobucil? pertanyaan ini tiba-tiba muncul dan memecahkan balon sabun yang berisi hayalan-hayalanku yang menggelembung. Bagaiamana komitmenku dengan tobucil dan common room? karena menjadi tenaga full time berarti aku harus memilih salah satunya. Tiba-tiba aku dihadapkan pada kenyataan jalan menuju cita-cita yang bercabang. Jalan mana yang harus aku pilih?

***

'Untuk jadi rainbow warrior, kamu bisa memulainya dengan membuat zona bahagia untuk orang lain minimal satu meter persegi di sekelilingmu.'

Apakah aku telah menjadi rainbow warrior dengan membangun tobucil dan common room? pertanyaan yang kutanyakan pada diriku sendiri, untuk meredam kegalauanku memilih jalan.
'Ya, tarlen. Kamu sedang menjadi rainbow warrior di kapalmu sendiri,' temanku itu membantuku menemukan kembali keyakinanku untuk memilih, setelah aku histeris di YM karena galau untuk memilih.

Ya... ya. Tobucil dan common room, adalah rainbow warriorku yang belayar menjelajah samudraku yang mungkin hanya satu meter persegi itu. Malaikat kebaikan yang muncul kadang-kadang dalam diriku ikut membulatkan kembali keyakinanku. 'Meski cuma satu meter persegi, itu kan yang membuatmu bertahan pada apa yang kamu pilih, kamu bangun, kamu pertahankan dan kamu kembangkan bersama teman-temanmu saat ini. Apa yang membuat kamu mempertahankannya? selain karena kamu bahagia ketika orang lain juga merasakan kebahagiaan berada di rainbow warriormu. Percayalah, kau tak akan membuat bapakmu kecewa karena dengan sangat menyesal kau lebih memilih jalanmu sekarang, daripada hijrah ke kapal yang lain. Keteguhanmu akan membuat samudramu_zona bahagiamu_ jauh lebih luas daripada yang kau kira sekarang.'

***

Dokumenter perjalan masa hidupku tiba-tiba terputar secara otomatis. Sejak kecil, aku yang senang sekali berganti cita-cita, dari Arsitektur sampai ahli ekologi dan diseling pilot pesawat tempur, desainer mode, agen intelejen... perjalanan cita-citaku itu... mulai dari berjualan baju boneka barbie saat kelas empat SD seharga empat ratus perak, mengayuh sepeda berkeliling menjajakan buku, mencoba membangun perpustakaan keliling sejak kecil, dengan koleksi buku apa adanya. Berjalan kaki di tengah hujan, memenuhi pesanan-pesanan kartu nama, hanya untuk bisa mendapatkan uang saku yang layak dan membantu membayar uang kuliahku sendiri sambil merelakan paru-paruku mengisap racun aerosol demi pesanan. Juga ketika aku terjatuh, turun dari bis di terminal ubung, Denpasar, di tengah hujan deras, membawa sekantung besar buku yang terlalu berat untuk aku bawa sendiri ... hey.. STOP IT! berhenti ngawawaas diri sendiri ah...!

Tak ada satupun cita-cita yang terwujud tanpa kerja keras bukan. Dan setiap kerja keras mencatat kisahnya sendiri. Kisah duka maupun suka. Jadi lebih baik, kuingat saja kisah-kisah suka ketika semua kedukaan yang pernah ada, sekarang terasa jauh menyenangkan, karena dia memberi warna seperti warna pelangi di horizonku. Dan ketika warna-warna pelangi itu aku zoom in, ternyata dia tersusun dari kepingan-kepingan kisah yang menempel seperti kolase. Dan saat kucermati, di bagian warna hijau ada kepingan kisah, cita-citaku jadi bagian Greenpeace di situ.

Tiba-tiba aku merasa seperti rainbow warrior kecil, hiawata kecil, yang belajar menemukan esensi. Bukan Greenpeacenya yang menjadi penting sekarang, tapi zona bahagianya itu. Bagaimana rasa bahagia itu aku temukan dalam pelangi di horizon utopiaku. Dan setiap detik yang berlalu dalam hidupku adalah perjalanan mengarungi samudra itu. Jika aku perlu memperluasnya sesenti demi sesenti, aku akan selalu bahagia melakukannya. Aku sedang menggali terusan suezku, untuk membuat rainbow warriorku bisa berlayar menembus samudra luas.. sampai zona bahagia itu menembus pelangi di horizon utopiaku..

If happy little bluebirds fly
Beyond the rainbow,
Why oh why can't I?


Kyai Gede Utama 8

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah