Skip to main content

Ngobrol Bareng Moro Cerahati

Badung memang gudangnya orang-orang kreatif. Tak heran, banyak bidang usaha bermunculan berbasis kreatifitas. Salah satunya Cerahati. Video Production yang memproduksi lebih dari enam puluh video klip dari band-band terkenal seperti Koil, Pas Band, Jamrud, Laluna, Boomerang, Rif/ dan banyak lagi. Video klip Mocca, Me & My Boyfriend, garapan Cerahati, meraih penghargaan Best Video MTV Indonesia Video Music Awards 2003.

Meski embrionya telah dimulai sejak 1999, baru tahun 2000, Cerahati resmi berdiri. Digawangi oleh lima orang alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (FSRD ITB), Pumpung Wratsongko, Pundjung Wratsongko, Munadi Alianto alias Xonad, Edy Khemod dan Wahyu Sulasmoro. Cerahati bukan saja menyatukan mereka dalam kesamaan minat, tapi juga menjadi ‘tempat bermain’ untuk selalu menemukan bentuk kreatifitas baru yang berbeda dari yang lain.

Seriring dengan perubahan kebijakan pertelevisian di Indonesia, imbasnya dirasakan pula oleh industri video musik. Masa bulan madu dengan MTV bagi industri video musik telah berakhir. Namun di masa sulit seperti sekarang, justru di lihat sebagai tantangan untuk mencari sesuatu yang baru. Lewat program Video After School vol.1 yang akan diselenggarakan bulan Desember mendatang, Cerahati melihatnya sebagai kesempatan untuk mencipkan ‘media alternatif baru’ bagi perkembangan dunia video musik di Indonesia.

Berikut wawancara Tarlen Handayani dengan Wahyu Sulasmoro, atau lebih dikenal dengan nama Moro, salah satu personil Cerahati, di tengah kesibukannya mempersiapkan program Video After School vol.1.

Bisa cerita sejarahnya Cerahati?
Cerahati kebentuknya udah dari tahun ’98-an. Awalnya dipakai oleh Pumpung, Pundjung, Xonad, bergerak di desain grafis dan multimedia pada jaman itu. Trus formasi sekarang (tambah Khemod dan Moro_ red) kebentuknya di tahun 2000 seiring dengan makin mudahnya teknologi digital dan kita bisa dapat makin banyak proyek video musik. Awal bikin video musik itu dari tahun ’99 dan Coklat jadi yang pertama. Single pertama Cokelat dibikin Cerahati kerjasama sama Reverse, si Helvi (pendiri Fast Foward records_red) dan Richard (mantan personil PAS band_ red). Setelah itu ada beberapa video klip lagi, tapi karena jaman itu video klip masih mahal dan belum ada MTV, jadi masih dikuasai oleh geng Jakarta, (Rizal Mantovani dkk). Baru muncul lagi, bikin Koil yang pertama, ‘Mendekati Surga’ dan itu jadi awal perkenalan dengan MTV Indonesia. Video itu kepilih jadi video yang paling banyak diminta orang, trus jadi booming, setelah itu bikin Mocca. Setelah itu honey moon dimulai dengan MTV.

Jaman itu scene video klip production di Bandung seperti apa?
Setau gua waktu itu ada, tapi ngga terlalu banyak bicara karena faktor alat dan hanya jadi kerja sampingan . Teu exist lah. Setau gua dulu kalau mau puter video klip di TV kan harus bayar, jadi label (record label_red) ga mau gambling untuk nyoba kliper-kliper baru. Ngeluarin duit puluhan juta, mendingan diserahin ke orang yang sudah pasti, ya itu-itu lagi. Di Bandung menurut gua salah satu sebab kenapa ga exsist karena alasan itu juga.

Kalau sekarang gimana kondisinya?
Sebenernya kalau video klip sendiri buat Cerahati hanya salah satu, karena sebenernya kita ngga punya main business yang ada main activity. Jadi kalau saat itu aktivitasnya banyak di video musik, ya kita di situ terus, tapi sekarang ini kondisinya memang lagi turun banget. Medianya ngga mendukung. MTV sendiri ngga jelas. Si video musik sekarang jadi media promosi yang cukup mahal buat label. Kalo dulu satu album bisa dibikin empat sampai lima video klip, sekarang udah ngga mungkin. Palingan cuma satu dan akhirnya label jadi milih bener. Kalo dulu jarang ada pitching. Biasanya penunjukkan langsung, selera label dan bandnya, ‘oh lagu ini cocoknya si ini, ya udah langsung telepon’, kalo sekarang pakai pitching segala macem. Dilihat dulu konsepnya, dilihat dulu budgetnya, lebih selektif.

Pengaruh bermunculannya TV lokal?
Kayaknya label belum melihat itu jadi media promosi yang bagus buat mereka.

Jika melihat kondisi industri kreatif di Bandung, apa yang membuat cerahati bisa bertahan?
Kalau menurut gua, selain nasib, pergaulan juga penting. Kesempatan untuk mendapat ide-ide kreatif tuh ada terus. Sekarang kalau kita kreatif dan karya kita cuma disimpen di komputer saja kan ngga bakal jadi apa-apa. Tapi untungnya kita punya banyak kesempatan untuk mengaplikasikan dan merealisasikan ide-ide kreatif itu. Ada teman-teman band yang ngasih kesempatan bikin video musik, juga event-event yang digelar juga banyak. Selain itu juga yang cukup penting, intensitas kita pada apa yang kita tekuni memang cukup tinggi. Dan intensitas itu penting banget kalo menurut gua.

Apakah intensitas termasuk salah satu karakter yang khas komunitas kreatif di Bandung?
Bisa jadi kalau dibandinginnya sama Jakarta. Kalau di Jakarta bener-bener ngga ada peluang untuk inprovisasi, semuanya formil. Kalau di Bandung, proyek thank you itu sangat mungkin dan ngga masalah, kalau di Jakarta itu masalah banget. Di Bandung proyek thank you itu ngga apa-apa yang penting kita sama-sama senang. Tapi dari proyek thank you itu kesempatan untuk mengaplikasikan dan merealisasikan ide-ide dan gagasan itu jadi ada, entah itu bentuknya video, event, grafis atau apapun, bisa di realese. Ngga berhenti di komputer doang.

Hal apa yang harus disiapkan untuk memulai usaha kreatif seperti yang Cerahati lakukan?
Apa ya...Mmm.. yang jelas mereka harus tau dulu mau bikin apa. Sama kaya buka warung. Positioningnya harus bagus. Kekuatannya ada dimana? Bicaranya media kalau memang audio visualnya kuat ya berarti disitu. Berarti baca petanya seperti apa. Peluang merealisasikan proyeknya seperti apa. Otomatis itu harus jadi proyek. Apakah itu nantinya jadi duit atau proyek thank you, teu masalah sih. Yang penting tau petanya dulu. Kita juga sebenarnya berangkat dari sesuatu yang blur abis, tapi karena kita fasih dengan apa yang kita bisa, akhirnya kita ngga peduli dengan pola yang sudah terbentuk sebelumnya. Kita akhirnya lebih baik bikin sendiri dan itu ngga masalah. Kalau buat gua sebenarnya sederhana banget yang penting bisa dulu merealisasikan gagasan itu, pokoknya harus jadi dulu. Kalau udah ada karyanya, nah baru pergaulan juga penting. Karena dari lingkungan pergaulan itu nanti ketemu wilayah singgungannya. Kalau kita bikin sesuatu tapi sendiri dan kurang gaul juga ga bakalan jadi apa-apa. Apa yang bisa di create ya create aja dulu.

Tapi jika diamati dalam sepuluh tahun terakhir ini, pelaku industri kreatif di Bandung kan orangnya itu-itu aja...
Iya emang benar. Tapi gua ngga tau, itu karena memang persaingan atau regenerasinya belun netas aja.. kalau gua liat, sebelum Cerahati, belum ada kelompok kreatif yang fokus di audio visual dan eksis bener. Mungkin karena dulu industri dan teknologinya ngga semudah sekarang, tapi kan bentukan kreatif itu sebenernya banyak. Padhyangan misalnya, pasti ada kok. Cuma emang kalau dicari-cari yang sama dengan Cerahati mungkin belum ada, itu karena industri video klip sendiri emang jarang mau gambling, mereka jarang mau nyoba talent-talent baru, itu karakter industri video klip di kita. Keuntungan Cerahati, kita punya banyak kesempatan video kita diputer di MTV. Dari proyek-proyek awal yang dikerjain Cerahati, bisa dibilang enam puluh persen proyek thank you. Tapi itu semua kita pakai sebagai kesempatan untuk nunjukin pada banyak orang, bahwa kita bisa dan kita juga konsisten ngerjain itu, bukan one hit maker, sekali bikin, trus sesudahnya lasut ngga bikin apa-apa lagi.

Dari segi finansial, apa udah bisa menjamin kebutuhan hidup?
Kalau menurut gua sih bisa. Selama ini kita pola kerjanya beda sama orang lain. Kalau orang lain pakai target, misalnya sebulan harus jadi lima video klip buat mengcover overhead, bla bla bla.. tapi kalau kita engga. Ada alhamdulillah, engga juga ngga dikejar.. itu jeleknya sih ... mungkin itu karakter anak Bandung juga..

Di bidang usaha kreatif yang lain, saya juga nemu sikap yang sama dari anak-anak Bandung..ngga punya target dan ngga punya strategi bisnis yang ketat..
Karena mereka awalnya mulai dari gaya hidup yang sama. Ngga mau mikir jauh, semua digampangin. Harusnya ada perubahan sikap, tapi sayangnya ngga euy.. hehehe.. mungkin juga karena komposisi timnya, semua orang seni jadi ngga ada yang terlalu mikirin sisi bisnisnya juga.. dipikir-pikir Cerahati ini bisa dibilang semacam kolektif grup.

Strategi Cerahati di tengah industri video klip yang sedang lesu?
Sebenernya kalau strategi gimana caranya supaya video klip jadi banyak lagi, kita ngga mikir ke situ. Tapi yang lebih kita pikirin, gimana caranya supaya si video klip ini tetap semarak. Kita harus nyari media alternatif dan gua percaya TV lokal bakal jadi kuat dan bisa mencuri perhatian pemirsa. Rencananya yang bakal kita jalanin salah satunya ya bikin Workshop Video After School vol.1. Dipikir secara sederhananya aneh juga, kita bikin aktivitas untuk membentuk pesaing-pesaing baru, tapi kalo kita ngeliat benefitnya, workshop ini bakal jadi event alternatif yang bakal ngebantu banyak buat label.

Bisa jelaskan seperti apa Workshopp Video After School vol.1 nanti?
Jadi workshop ini sebenernya bisa dilihat sebagai edukasi praktis di dunia audio visual, khususnya video musik. Lewat workshop ini, peserta dikasih kesempatan untuk dapat proyek video klip. Kesempatan itu sebenernya kuncinya. Nah lewat workshop ini, Cerahati coba mengcreate kesempatan dan kondisi ideal dari si industri video musik itu tadi. Kliennya beneran, bandnya juga beneran dan band-band beken seperti Mocca, Serieus, Netral, juga label beken dan dikerjakan dalam waktu yang cukup ideal. Workshop ini sebenarnya yang pertama buat Cerahati karena kita kan sebenarnya bukan pendidik, tapi untuk membuat program seperti ini buat kita sangat mungkin dilakukan. Kita ngga bakalan ngajarin banyak teori, tapi kita coba ngajak para peserta untuk mengalami experience bareng dalam membuat video musik. Biasanya proses penggarapan sebuah video musik kan sekitar dua atau tiga minggu, tapi dalam workshop ini kita setting waktunya tiga bulan. Supaya bisa bikin konsep yang bener, persiapan shootingnya bener, sampai waktu editing yang cukup panjang. Rangkaian programnya seperti itu sih. Kita cuma bisa terima sepuluh kelompok. Nanti hasil dari workshop ini, akan dibikin kompilasi dan event pemutaran. Jadi karya-karya peserta bisa diapresiasi oleh publik secara luas. Dan nanti yang terbaik, kita usahakan bisa diputer di MTV. Pesertanya dibatasi hanya sepuluh kelompok dan satu kelompok empat orang, seleksinya kita bikin seleksi administratif aja. Siapa cepat dia dapat.

Kesulitan terbesar seperti apa sih yang dihadapi ?
Kalau ngomong masalah, masalah sebenarnya jadi bukan masalah kalo buat kita. Karena itu pasti ada terus, terutama masalah teknis. Apalagi buat kita yang selalu ingin menemukan hal yang baru dan beda. Dan itu pasti memunculkan masalah teknis, karena sebelumnya kita belum pernah ngalamin. Misalnya dalam pengambilan gambar, harusnya kita pakai teknik tertentu, karena kita belum pernah bikin pengambilan gambar yang seperti itu, ternyata kita pakai tehnik yang beda dan setelah dilihat hasilnya ternyata bisa dibilang gagal, akhirnya coba kita akal-akalin di proses editing. Kesulitan-kesulitan seperti itu sih yang muncul. Tapi buat kita ngga jadi masalah karena itu proses pembelajaran baru dan akan berguna di proses pembuatan video klip berikutanya. Buat kita akhirnya, hasil ngga terlalu penting, tapi proses experiencenya itu, apa yang akan kita alami di depan, apa yang akan kita dapatkan di depan. Ngebahas video yang sudah dibikin, pasti jadi ambek terus, karena selalu ada ngga puasnya. ‘aduh ieu teh kuduna kieu, kudu na di kitu keun..’ ya kaya gitu lah. Kalau di luar teknis, sebenernya dari si industrinya itu sendiri. Kaya waktu yang selalu di buru-buru karena mereka ngebandinginnya sama Jakarta yang cuma seminggu bisa langsung delivered. Kita nganggapnya itu instant. Kita sendiri ngga pernah kurang dari dua minggu untuk sampai delivered.

Kedengarannya Cerahati lebih mengedepankan idealisme, gimana tuh cari jalan tengah untuk menjembatani idealisme dan kepentingan lain?
Pas awal kita seneng-seneng aja bikin video musik ini, semangatnya, semangat pemberontakan. Pokoknya kita tuh gaya bicaranya harus beda banget. Tapi lama-lama kita sadar, mau ngga mau kita harus nyari jalan tengah karena ini cinta segitiga. Video musik ini cinta segita, karena ada production house disini adalah Cerahati. Ada band dan ada label. Nah disini kita merasa harus bisa nemu keseimbangannya dan tentunya banyak sekali yang harus disesuaikan dan dikompromikan. Kesimbangan itu beda-beda tergantung label dan bandnya juga karena mereka punya konsep tentang barang dagangan mereka. Misalnya musik mereka pop, berarti yang dijual wajahnya dan itu artinya Cerahati harus menampilkan wajahnya. Sementara dulu Cerahati sempet dikenal, kalo bikin video klip ga pernah keliatan wajahnya itu awal-awal dan banyak juga yang protes. Mereka juga butuh beken, dan video klip memang medianya juga untuk bisa beken. Senang ga senang kita harus kompromi juga. Akhirnya kita sadar sih bahwa produk video klip yang kita hasilkan, bukan cuma kerja Cerahati sendiri, tapi hasil kerja bareng band dan label juga. Mungkin keberhasilan kita sekarang adalah bikin positioning: ‘kalau pengen beda, bikin video klip di Cerahati’.

wawancara ini tadinya buat PR Kampus, tapi ga tau kenapa meski udah dikirim sampe hari ini belon di muat-muat.. jadi aku masukin sini aja...

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa