Skip to main content

Komunitas Kreatif, Butuh Lebih Banyak Ruang

KOMUNITAS-komunitas kreatif yang berkembang dalam sepuluh terakhir ini, memberi warna baru dalam perkembangan Bandung sebagai satu kota. Bandung yang selama ini dikenal sebagai kota yang kreatif dalam melahirkan tren baru dalam gaya hidup, seperti tak pernah kehabisan ide dan gagasan kreatif.

Munculnya ruang-ruang pertemuan dan kegiatan yang mengakomodasi berbagai macam pemikiran dan gagasan-gagasan kreatif, selama ini lebih banyak digagas secara mandiri oleh inisiatif individu atau kelompok.

Bersamaan dengan institusi-institusi formal lain yang bergerak di lingkup seni budaya, kerberadaan ruang-ruang inisiatif dan komunitas-komunitas yang ada, memiliki kontribusi yang penting dalam perkembangan budaya kota. Namun fakta bahwa komunitas-komunitas kreatif dan ruang-ruang inisiatif, yang mampu bertahan sangat sedikit, menunjukkan bahwa dan keberlanjutan keberadaan ruang-ruang tersebut menjadi isu yang serius untuk ditanggapi.

Berkaitan dengan hal ini, beberapa waktu lalu, Pusat Studi Urban Desain, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Departemen Arsitektur ITB dan Common Room Networks Foundation, mencoba mengidentifikasikan, persoalan-persoalan yang dihadapi oleh komunitas-komunitas kreatif dan ruang-ruang inisiatif itu melalui kegiatan gathering komunitas kreatif dan online conference dengan para pelaku komunitas di Bandung. Gathering dan online conference ini merupakan bagian dari kegiatan Artepolis yang bertujuan untuk menyoroti persoalan budaya kreatif dan pemaknaan ruang di Bandung.

Berbagai komunitas yang bergerak di bidang fashion, musik, perbukuan, media, dan pengelola ruang yang selama ini aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan di Bandung, berbagi pengalaman dan persoalan-persoalan yang dihadapi mereka selama ini.

Tingginya nilai lahan

IF Venue, salah satu ruang inisiatif yang memulai aktivitasnya pada bulan Agustus 2004, terpaksa menutup ruangnya karena idealisme pengelolanya, harus berhadapan dengan harga sewa ruang yang setiap tahun bertambah mahal. "Kita tutup karena nggak mampu bayar kontrak. Harga sewa rumah yang asalnya Rp 20 juta per tahun, naik jadi Rp 27 juta pertahun," Jelas Muhamad Akbar, salah satu pengelola IF Venue. "Kita sempat bikin pertunjukan untuk cari dana, tapi karena persiapannya mepet dan sumber dayanya terbatas, kegiatan yang harusnya menghasilkan uang untuk sewa tempat malah nombok."

Pada awalnya, IF venue, didirikan untuk menjadi ruang pengembangan kreativitas anak muda di Bandung. Saat itu, para pendirinya mendapatkan sejumlah dana dari sebuah organisasi sosial yang mendukung realisasi berdirinya ruang inisiatif tersebut. Bantuan tersebut mereka anggap sebagai modal awal untuk aktivitas mereka.

Sebelum ditutup, IF venue yang terletak di jalan Moch. Toha, dikenal oleh sebagian anak muda Bandung, sebagai ruang yang rutin menyelenggarkan kegiatan-kegiatan pameran, pertunjukan musik underground, diskusi dan pemutaran film. Untuk membiayai kegiatan mereka, salah satu ruangan, dijadikan studio musik untuk disewakan, juga ada toko baju dan coffe shop kecil, namun pemasukannya tidak dapat menutupi kebutuhan operasional mereka.

Kebutuhan ruang-ruang di lokasi strategis untuk beraktifitas dan keterbatasan lahan yang tersedia, semakin membuat harga sewa ruang dan lahan menjadi semakin mahal. Tidak adanya pengaturan, tata guna lahan yang jelas oleh pengelola kota, harga sewa ditetapkan secara sepihak oleh para pemilik ruang.

Jalan Trunojoyo, dulu sewanya cukup murah kalau mau buka usaha di situ, sekarang setiap tahun naik hampir Rp 15 juta. "Sekarang sewanya bisa sampai seratus juta rupiah per tahun. Dan itu bikin biaya operasional tambah mahal, pengaruhnya ke harga jual produk juga," kata Dandhy pemilik 347 dan pengelola ruang Room No.1.

Infrastruktur dan birokrasi

"Di Bandung cuma sedikit tempat yang bisa dipakai untuk pertunjukan dan itu pun harga sewanya mahal, lagi pula sulit mencari tempat yang sesuai dengan jenis pertunjukannya," keluhan serupa diungkapkan Wale, salah satu penggiat Komunitas Berandalan Bandung, yang pada bulan Juni lalu sempat menggelar konser, grup punk legendaris dari USA, The Exploited, di stadion Persib, Bandung.

"Bandung butuh gedung yang bisa menampung audience sampai 10.000 orang, sementara tempat-tempat pertunjukan yang ada paling banyak hanya 2.000 sampai 5.000 orang. Sering kejadian penontonnya banyak dan gedungnya nggak muat," lanjut Wale.

Maka itu jangan heran, jika ruang-ruang seperti AACC, Auditorium CCF, bisa dipakai untuk segala pertunjukan musik. Di pertengahan 90 sampai akhir 90-an, Gelora Saparua, identik dengan pertunjukan musik punk, hard core. Namun saat ini, karena kondisi gedung yang sudah tidak layak, membuat komunitas punk, hardcore, kesulitan mencari ruang pertunjukan musik mereka. Sementara gedung pertunjukan seperti Sabuga, tak terjangkau bagi komunitas. Mengingat, seringkali penyelenggaraan kegiatan dilakukan dengan dana swadaya komunitas dan sponsor yang terbatas. Modal terbesar yang mereka miliki adalah semangat dan keinginan yang kuat untuk mengekspresikan aspirasi estetiknya.

Belum lagi persoalan perizinan dan birokrasi dalam penyelenggaraan kegiatan. Helvi, pendiri Fast Foward Record yang beberapa waktu lalu sempat mengundang King of Convenience, grup musik asal Norwegia, berharap pemerintah kota dapat memberikan keringanan pajak dan visa kerja terhadap band-band yang akan tampil di Bandung. "Kayak 100 Rock Festival di Bangkok, Dinas Pariwisatanya yang dukung, lalu kerja sama dengan swasta, jadi banyak biaya yang bisa di tekan."

Disadari atau tidak oleh pengelola kota, kegiatan konser bertaraf internasional seperti ini, dapat mendukung kegiatan pariwisata Kota Bandung.

Sementara, tidak semua orang memiliki akses terhadap ruang-ruang milik pemerintah kota dan menggunakannya sebagai community center. Jika dapat menggunakan fasilitas yang tersedia, seringkali tak sesuai dengan kebutuhan yang menunjang kegiatan.

Tubagus Adhi, dari Forum Apresiasi Budaya atau lebih dikenal dengan nama LINKART, selama ini menjalankan aktivitasnya dengan memanfaatkan ruang yang ada di Kompleks Taman Budaya. "Kebetulan saat itu posisinya sebagai konsultan Taman Budaya. Cuma ga ada uangnya. Bagi saya nggak papa, dan saat itu saya menemukan ruang audio visual dan perpustakaan yang berantakan sekali. Akhirnya ya kita memanfaatkan itu."

Aktivitas dilakukan oleh LINKART, di antaranya pendokumentasian seni budaya dan program tur keliling kota, yang tujuannya untuk memperkenalkan sejarah Bandung pada kalangan muda. Namun, seperti halnya komunitas lain, untuk membiayai aktivitasnya, LINKART masih mengandalkan dana swadaya dari para pengurusnya.

Persoalan Bersama

Achmad D. Tardiyana, selaku fasilitator dan penanggung jawab kegiatan gathering, memandang persoalan ini lebih optimis. Menurutnya, salah satu kunci kegiatan kreatif itu adalah survival. Kendala-kendala itu justru mendorong mereka untuk bisa menemukan cara dalam mengatasi persoalannya. Kreativitas justru seringkali muncul dari keterbatasan-keterbatasan yang ada.

Meski demikian, tetap saja peranan pengelola kota sangat diperlukan. Penataan ruang kota Bandung yang bisa mengakomodasi potensi kreatif warganya, sudah semestinya diakomodasi dan difasilitasi. Jika pengelola Kota melihat komunitas kreatif sebagai potensi kota yang membentuk identitas Bandung sebagai kota kreatif, sudah saatnya, apa yang menjadi persoalan komunitas ini, juga menjadi persoalan yang perlu dipikirkan dan diselesaikan bersama-sama.

Tulisan ini dimuat di PR Kampus, 20 Juli 2006
Baca juga Masih Menuggu 'Spil Over'

Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

Ketika Menjadi Aktivis Adalah Hobi

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Pro Aktif Online Hobi seperti apakah yang cocok untuk para aktivis? Pertanyaan ini muncul ketika saya diminta menulis soal hobi untuk para aktivis untuk laman ini. Saya kira, siapa pun, dari latar belakang apapun, baik aktivis maupun bukan, bisa bebas memilih hobi untuk dijalaninya. Karena hobi adalah pilihan bebas. Ia menjadi aktivitas yang dikerjakan dengan senang hati di waktu luang. Apapun bentuk kegiatannya, selama aktivitas itu bisa memberikan kesenangan bisa disebut hobi.  Sebelum membicarakan bagaimanakah hobi untuk para aktivis ini, saya akan terlebih dahulu membicarakan soal hobi, terutama yang hobi yang merupakan keterampilan tangan. Selain memberikan kesenangan, aktivitas ini bisa melatih kemampuan motorik dan keahlian dalam membuat sesuatu. Misalnya saja menjahit, merajut, automotif, pertukangan, apapun kegiatan yang membutuhkan keterampilan tangan.  Banyak orang merasa, aktivitas ini terlalu merepotkan untuk dilakukan,...

Craftivism: The Art of Craft and Activism

Bahagia sekaligus bangga, bisa terpilih untuk memberikan kontribusi tulisan pada buku tentang craftivism ini. Sementara aku pasang review dan endorsment terlebih dahulu. Untuk resensinya akan aku publikasikan dalam terbitan yang berbeda.  ------ Editor Betsy Greer Arsenal Pupl Press Craftivism is a worldwide movement that operates at the intersection of craft and activism; Craftivism the book is full of inspiration for crafters who want to create works that add to the greater good. In these essays, interviews, and images, craftivists from four continents reveal how they are changing the world with their art. Through examples that range from community embroidery projects, stitching in prisons, revolutionary ceramics, AIDS activism, yarn bombing, and crafts that facilitate personal growth, Craftivism provides imaginative examples of how crafters can be creative and altruistic at the same time. Artists profiled in the book are from the US, Canada, the UK...