Skip to main content

This is The City Where I play The Pope..

"One day, we will construct cities for drifting.. but, with light retouching one can utilize certain zone which already exsist. One can utilize certain people who already exist."
(Guy Debord)

Sebuah tulisan tetang fragmen-fragmen mengalami Bandung.
(Ditulis sebagai pengantar kompilasi video "Recurring Spaces", fitur utama tim Bandung untuk Displacement Project: Bandung-Singapore, 2006)

____

Lihatlah burung-burung Koak itu. Hinggap sejenak mencari hidup disini. Menjatuhkan kotorannya dan mewarnai ruas Jalan Ganesa di masa migrasi mereka. Di tengah ketergopohan para pendatang yang mengadu nasib, mengasah kreatifitasnya. Kadang hidup seperti lomba balap cepat dalam hiruk pikuk jalan-jalan sempitnya. ( Darma & Greg: "Under The Trees Project"; Rizal Fakhruddin: "One Creative Way to Live in This Creative City"; OQ Adiredja: "Me Vs. The Angkots")

Nagorij Bandoeng tak lagi kota kaum pensiunan yang memasrahkan hari tuanya di tengah-tangah 'Garden of Allah'. Penghuninya bertambah sepuluh kali lipat dari pada kali pertama kota ini dibangun. Kebisingan menjadi menu sehari-hari. Bandung menjadi mangkuk sup kepenuhan yang berputar dan mungkin sebentar lagi dia akan meledak karena kebanyakan isi.

Namun tetap saja, Bandung adalah mangkuk sup yang terasa lezat untuk di cicipi. Bandung masih menawarkan kekayaan dan romantisme rasa sup yang tak bisa di dapatkan di kota lain. Bandung menjejakkan ingatan kuat dalam diri setiap orang yang pernah merasakan kabutnya, merasakan udaranya melekat dalam pori-pori setiap orang yang menghirupnya.

Ketika semua romantisme tentang Bandung harus dibagi dengan banyak orang yang berbondong-bondong datang, Sup yang begitu lezat itu, kini terasa lebih encer dari sebelumnya. Bandung seperti seorang penjual sup yang sengaja menambah kuah sebanyak mungkin tanpa menambahkan bumbunya. Semua rasa yang khas, semua kekentalan kuah, perlahan hilang demi mengejar target-target pembangunan yang sering kali tak jelas untuk siapa.

____

Ma, di sini tempatku dulu bermain. Di kota ini kujalani semua kesedihan dan kisah asmara. Di kota ini kubuang semua hajatku, mengosongkan sedikit ruang bagi diriku sendiri. (Prilla Tania:"Short Story From Me & Mom"; IKAL: "Bandung Bukan Lautan Asmara"; Banung Grahita: "A Walk to The Past"; Yusuf Ismail: "Flushed Memory"; Erik Pauhrihzi:"Anxioused Memory")

Lalu Bandung seperti seorang ibu yang tak bisa ditolak keberadaannya. Kadang kerinduan akan Bandung tak bisa di tahan ketika jauh darinya. Tapi kabur sesekali, berjarak untuk sementara, juga diperlukan untuk menjaga pikiran tetap sehat ketika ibu terlalu sulit untuk diraih. Seperti sebuah love hate relationship. Semua rasa cinta dan kebencian akan kota ini bercampur jadi satu. Dan hidup di Bandung setiap hari adalah membuat komposisi-komposisi baru dari kecintaan dan kebencian itu.

_______

Apa yang tersisa saat urat nadi kota, menyeruak, membelah belantara kota dan pemukiman penduduknya? Mungkin aku perlu memipir, menyusuri tepi nadinya, mencoba melihat diriku, kotaku, di antara reruntuhan, di antara mozaik abstrak tata kota. Saat yang lain bergegas, aku seperti tersisihkan dan terasing. Kadang ku hanya bisa menyimak diriku sendiri dari televisi di setiap sudut ruang-ruang kota ini. Mencoba menemukan realitas kota dalam perasaan yang tiba-tiba asing dan berjarak. Mungkin yang saat ini tersisa hanyalah sedikit ruang untuk menggemakan caci makiku... 'Fuck You, Anjing!' (Muhamad Akbar: My Little Corner of This World; M. Reggie Aquara:"Travelling Without Moving"; Pemuda Elektrik: "Hantaman Preman Lemas")

Selamat mengalami Bandung.
_____

Setelah di terjemahkan oleh mirna:

This is The City Where I Play The Pope...

“One day, we will construct cities for drifting... but, with light retouching one can utilize certain zone which already exists. One can utilize certain people who already exists.” (Guy Debord)

A note of fragments in experiencing Bandung.
(Written as a companion to the “Recurring Spaces” videos compilation, the main feature from the Bandung team for the Displacement Project: Bandung – Singapore, 2006)
---

See them night birds. Stopping by for a figment of their life here. During the migration their droppings smeared the whole Ganesa street into white. Coloring the life of busy newcomers arriving to test their lucks, sharpen their wits. Sometimes life is nothing but a rat race in the countless small narrow passages.

(Darma & Greg: “Under the Trees Project”; Rizal Fakhruddin: “One Creative Way to Live in This Creative City”; OQ Adiredja: “Me vs. The Angkots”)

Nagorij Bandoeng is no longer the city of the retires who came to spend the last days of their life in the ‘Garden of Allah’. The citizens had multiplied by tenfolds since the beginning of its conception. Noise had became everyone’s cup of tea. Bandung had turned into a boiling pot ready to burst.

Yet, like a cup of tea Bandung still offers an alluring taste for everyone to sip. A rich taste of romanticism no other city could offer. Bandung sealed a firm imprint inside everyone who had breathed the air, tasting it with their pores as they immerse in its haze.

The rich delicious froth strained thin as more and more people came to have a sip. More water is poured in but the tea bags stay the same. The distinct taste, the richness of the tea, gradually fades for the sake of greediness and profits.
--

Ma, this used to be my playground. Here I walked through my sadness and fell in romance. In this city here I freed my burdens, to safe space for myself. (Prilla Tania: “Short Story From Me & Mom”; IKAL: “Bandung Bukan Lautan Asmara”; Banung Grahita: “A Walk to The Past”; Yusuf Ismail: “Flushed Memory”; Erik Pauhrizi: “Anxioused Memory”)

And Bandung became undeniably like a mother. Hard not to miss her when far. And just like a child you’d crave her attention and you’d need to keep distance just to keep your mind clear when the affection wanted is ungiven. A love-hate relationship. All the emotions towards the city blend into one. Living in Bandung is composing new blends of love and hate every single day.
---

What is left of this city veins, as they bursted open, cut the landscape in fragments of cramp housings for the settlers? Perhaps I should take a detour, following the outrim of the veins, trying to figure myself, my city, between the ruins of the city landscape’s abstract mozaics. As the other rushes, I feel so alone and alienated. Sometimes I could only witness myself in monitor screens throughout the city corners. Trying to discover the reality of it in the sudden distance and alienation. What is left may only fit a space for my procrastinating... “Fuck You, Anjing!” (Muhammad Akbar: “My Little Corner of This World”; M. Reggie Aquara: “Travelling Without Moving”; Pemuda Elektrik: “Hantaman Preman Lemas”)

Enjoy your experiencing Bandung.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa