Skip to main content

Don't Pretend That You Know Me!


Photograph: Charles Paterson, Eddie Vedder, San Sebastian, Spain, 1996

“You don’t love me. If you really knew me, you wouldn’t love me. You love who you think I am. And don’t pretend that you know me.” - Eddie Vedder, Pearl Jam-

Itulah yang dikatakan Eddie Vedder, vokalis Pearl Jam, band grunge legendaris asal Seattle, AS, yang sangat terkenal di pertengahan tahun 90-an, ketika salah satu penggemarnya berteriak, “I Love You, Eddie!” di salah satu konser mereka. Saya pun mungkin akan meneriakan hal yang sama, jika mimpi saya untuk menonton konser Pearl Jam di Seattle, menjadi kenyataan. Dan sebagai orang yang banyak terinspirasi oleh perjalanan karirnya sebagai rockstar, Eddie Vedder menjadi sosok idola yang saya kagumi.

Sama seperti saya, pasti dong banyak dari belia yang punya sosok atau figur yang di idolakan. Sosok itu bisa saja artis, penyanyi, band, tokoh atau siapa pun. Tapi pernah terpikir ngga oleh belia, kenapa kita mengidolakan mereka bahkan sampai fanatik atau begitu kuat mempercayai dan meyakini mereka sebagai sosok yang kita puja-puja. Bahkan begitu fanatiknya, sampai-sampai beberapa fans bisa melakukan tindakan nekat. Sebut saja Mark David Chapman yang menembak mati John Lenon, karena terobsesi sosok Lenon.

Saya pernah berpikir, kenapa saya memilih Eddie Vedder untuk saya kagumi, bukan yang lain? Terus alasan apa yang membuat saya mengaguminya. Bagi saya, pertanyaan itu menjadi penting sebelum saya menjatuhkan keputusan untuk mengidolakan dia. Setidaknya saya mesti tahu betul kenapa saya mempercayakan dan meyakini Vedder sebagai orang yang pantas dikagumi. Saya ngga kenal Vedder secara langsung. Bertemu saja belum pernah, tapi kenapa saya mengaguminya ya? Terpikir oleh saya, jangan-jangan saya menyukai bayangan tentang Eddie Vedder yang saya hayalkan sendiri. Jangan-jangan saya mengagumi bayangannya bukan bagaimana dia yang sebenarnya. Karena ketika kita menyukai seseorang entah itu idola atau pacar kita sendiri, kita cenderung menghayalkan mereka sesuai dengan yang kita inginkan. Celakanya, kita seringkali mempercayai bayangan atau hayalan itu sebagai sesuatu yang benar dan nyata. Bukan ngga mungkin, kita kemudian terobsesi oleh bayangan yang kita ciptakan sendiri.

Memang bukan hal yang salah, ketika kita memilih orang yang sama sekali tidak kita kenal sebagai sosok idola. Karena pada dasarnya manusia memang membutuhkan manusia lain yang kita anggap ideal dan bisa menjadi panutan. Biasanya, pertimbangan kita mengidolakan seseorang karena orang itu memiliki kelebihan yang tidak kita miliki sehingga kita mengaguminya. Kita melihat pujaan kita sebagai sosok yang sempurna, nyaris atau bahkan menjadi dewa tanpa cacat. Pokoknya ‘cool dan keren abis deh!’ Kita sering lupa, bahwa yang kita idolakan dan kita puja-puja, sebenarnya juga manusia biasa yang juga punya banyak masalah dan kekurangan. Dan ketika tiba-tiba pujaan kita melakukan hal-hal di luar yang kita bayangkan, kita merasa kecewa dan dikhianati.

Sebenarnya perasaan seperti itu wajar terjadi. Saya pun pernah merasa kecewa dan dikhianati Eddie Vedder, karena banyak informasi mengenai dirinya yang kemudian saya dapatkan tidak sesuai dengan yang saya bayangkan. Tapi kemudian, saya mulai belajar melihat Vedder sebagai sosok manusia biasa yang ngga sempurna. Kalau kata Mocca, ‘We’re just common people, with extraordinary life (kalo ini kata saya). Bukankah menyenangkan, ketika kita bisa mengambil inspirasi positif dari orang-orang terkenal yang kita kagumi, karena kita bisa belajar banyak hal tentang kehidupan dari sosok mereka. Saya kira kalau kita mau jadi fans yang baik, kita juga mesti bisa melihat dia sebagai mana adanya. Mengagumi sosoknya bukan bayangannya dan melihat kelebihan mereka sebagai sesuatu yang menginspirasi bukannya jadi obsesif dan akhirnya kita jadi fanatik membabi buta dan ekstrimnya sampai berbuat nekat seperti Mark David Chapman.

tulisan ini pernah dimuat di halaman Belia, Pikiran Rakyat

Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

Ketika Menjadi Aktivis Adalah Hobi

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Pro Aktif Online Hobi seperti apakah yang cocok untuk para aktivis? Pertanyaan ini muncul ketika saya diminta menulis soal hobi untuk para aktivis untuk laman ini. Saya kira, siapa pun, dari latar belakang apapun, baik aktivis maupun bukan, bisa bebas memilih hobi untuk dijalaninya. Karena hobi adalah pilihan bebas. Ia menjadi aktivitas yang dikerjakan dengan senang hati di waktu luang. Apapun bentuk kegiatannya, selama aktivitas itu bisa memberikan kesenangan bisa disebut hobi.  Sebelum membicarakan bagaimanakah hobi untuk para aktivis ini, saya akan terlebih dahulu membicarakan soal hobi, terutama yang hobi yang merupakan keterampilan tangan. Selain memberikan kesenangan, aktivitas ini bisa melatih kemampuan motorik dan keahlian dalam membuat sesuatu. Misalnya saja menjahit, merajut, automotif, pertukangan, apapun kegiatan yang membutuhkan keterampilan tangan.  Banyak orang merasa, aktivitas ini terlalu merepotkan untuk dilakukan,...

Perjumpaan Cara Pandang Berbeda Dalam 'Kultur Membuat'

Jika dirunut lebih jauh kultur membuat ini, sesungguhnya tidak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan   keseharian sejak dahulu kala. Semua pengetahuan tradisional (di barat dan di timur) dengan teknonologi sederhana, aplikatif dan kebijaksanaan terhadap lingkungan sekitarnya, menciptakan gaya hidup yang seimbang lahir, batin juga dengan lingkungan sekitarnya. Masyarakat tradisional memiliki pengetahuan dan cara untuk menemukan keadilan hidup yang selaras dengan lingkungan. ‘Membuat’ bukan semata-mata memenuhi tuntutan seseorang untuk menjadi ‘produktif’, namun lebih jauh dari itu, ‘membuat’ membangun ideologi dan pemenuhan diri secara spiritual dimana ‘membuat’ memberi perasaan berdaya kepada setiap individu yang melakukannya. Membuat juga menciptakan pemahaman akan proses yang membutuhkan waktu, tolerasi atas kegagalan, juga kesadaran bahwa sesuatu itu tidak bisa diperoleh dengan cara instan. Sikap seperti ini yang menumbukan kemampuan untuk menjaga diri dari keserakahan. Nam...