Skip to main content

Kolase, Absurditas dan Keseharian



No Code, PJ

Hidupku cukup absurd akhir-akhir ini. Tepatnya tiga bulan terakhir ini. Dalam waktu bersamaan, aku berhadapan dengan kota, dengan kehidupan di dalamnya, dengan diriku sendiri, dengan masa lalu, dengan masa kini, dengan masa depan, dengan semuanya. Sejak Anak Naga Beranak Naga, isu 'how to look your past' dalam konteks hidupku secara luas, menjadi mengemuka (sebenarnya sudah sejak 10 tahun terakhir). Kemudian berhadapan dengan kota ketika terlibat dalam Artepolis. Dan puncak ke absurdan itu terjadi hari ini, ketika aku menemani cicik bertemu dengan seorang ibu pemilik gedung Galangan Kapal VOC yang ingin menonton Anak Naga Beranak Naga. Dia mengundang kami, lewat perantara seorang Legal Antropologist yang kami kenal lewat email.

Puncak keabsrudan itu bagiku kemudian terasa seperti gerhana waktu yang terjadi tiba-tiba. Apa yang pernah kualami saat menggarap Anak Naga Beranak Naga, sebagai hipperealitas, terulang lagi dalam intensitas yang lebih kuat.

(di tengah-tengah menuliskan hal ini, teman-temanku berbicara tentang kesadaran masyarakat Indonesia yang sangat rendah dalam dokumentasi dan sejarah, di cafe Toko Buku Aksara.. aku merasa tiba-tiba merasa aneh dan bertambah absurd).

Di tengah intensitasku membuat tulisan tentang Identitas Cloting Bandung untuk PB, pembicaraan tentang bagiamana Kota menciptakan atmosfer yang kondusif bagi pengembangan industri kreatif, dan pemaknaan ruang-ruang untuk mendukung kegiatan kreatif kota, tiba-tiba aku disadarkan tentang pertanyaan: Bagaimana masa lalu, masa kini dan masa depan kemudian bisa dimaknai dalam perjalanan sebuah kota?. Bagaimana rangkaian masa itu, kemudian membentuk identitas sebuah kota?.

Menuliskan identitas Cloting Bandung, aku seperti sedang mendefinisikan sebuah 'sejarah baru'_ kekinian, dari para pelakunya yang seringkali di marjinalkan dalam arus budaya utama dalam perkembangan kota. Sementara, ketika ngurusin Artepolis, aku bergelut dengan pemikiran-pemikiran 'beginilah yang seharusnya', 'beginilah yang ideal','begini begitu', dalam situasi pengelolaan acara yang ternyata 'ga seperti begini dan begitu' itu. Sementara, hari ini, aku seperti dihadapkan pada kenyataan tentang artefak-artefak usang peninggalan masa lalu sebuah kota, dalam rangkaian sejarah perjalanannya yang begitu panjang dan banyak cerita.

***

Ibu pemilik Galangan VOC, seorang peranakan dan seorang pengusaha, seperti peranakan pada umumnya. Ibu Susilawati namanya. Dia membeli gedung itu dalam kondisi berantakan dan hampir rubuh. Di saat kerusuhan 1998, Ibu Susi merenovasi Galangan VOC, karena pemerintah kota akan menggunakan gedung itu untuk Festival Betawi. Tentunya dengan biaya pribadi. Ketika ditanya, mengapa Ibu Susi membeli gedung Galangan dan merenovasinya, dia menjawab "sudah panggilan Tuhan," katanya sambil tertawa miris. Tiga jam berbincang sambil makan siang di bagian gedung yang berubah jadi cafe, Ibu Susi merasa, mendapat tanggung jawab untuk melestarikan dan mempertahankan gedung yang dibangun tahun 1628. Dia merasa, 'bertanggung jawab' untuk melestarikan gedung itu sebagai aset sejarah kota yang harus di jaga.

Tentunya, bagi kalangan konservatoris, apa yang lakukan ibu Susi, cukup luar biasa. Teman-temannya, sesama pengusaha seringkali menganggapnya 'bodoh' karena mau mengeluarkan banyak uang untuk menginvestasikan pada gedung dengan pengelolaan dan perawatan yang tidak murah. Sementara untuk 'menjual' gedung itu sebagai sebuah aset sejarah yang dinikmati oleh banyak orang pun bukan hal yang mudah. Ibu Susi sempat membuka restoran mewah dengan mempekerjakan 120 orang dengan menggunakan dua lantai yang Gedung Galangan, namun tidak berhasil. Biaya operasional yang dikeluarkan, dengan pendapatan yang dihasilkan, tidak sepadan. Pemilihan abang dan none Betawi juga pernah diselenggarakan di situ. Namun secara bisnis, upaya itu, hanya membawa kerugian. Saat ini, Ibu Susi, hanya menyisakan satu bagian saja, di lantai bawah untuk cafe VOC, dengan gaya country yang kental. Itupun, hanya dikunjungi oleh orang-orang yang bernostalgia dengan Jakarta kota dan ketika lapar, mereka mampir ke situ.

Ketika bertemu kami, dan ditemani oleh seorang Legal Antropologist yang cukup 'romantik' terhadap bagian kota lama Jakarta, Ibu Susi mengatakan, tidak tahu lagi harus melakukan apa. Di satu sisi, dia ingin sekali mempertahankan 'aset' sejarah ini, tapi di sisi lain, sulit baginya untuk terus-menerus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mempertahankan Gedung itu.

Lalu pemerintah kota yang semestinya bertanggung jawab? upaya untuk meminta dukungan dari pemerintah daerah telah dilakukan. Namun, jawaban yang sedemikian klise harus dihadapi orang seperti ibu Susi, "kami tidak punya uang untuk merawat aset itu." Baru kurang lebih setahun lalu, Depdikbud, memberinya piagam penghargaan dan uang 4 juta rupiah untuk biaya perawatan Gedung Galangan, dan hanya itu dukungan diterima ibu Susi, setelah 8 tahun merenovasi dan merawat gedung Galangan VOC.


***
Aku meng-sms dua orang temanku yang bersehari-hari berprofesi sebagai arsitek dan urban designer, soal pertemuanku dengan ibu Susi dan bilang pada mereka bahwa persoalan heritage ini ternyata, sama saja di semua kota. Reaksi yang aku dapat berbeda. Yang satu, menjawab dengan dengan humor yang justru terdengar miris: 'hehehe welcome to the club of orang frustasi yang berjuang untuk heritage'. Sementara teman yang satu lagi balik bertanya: 'apanya yang sama?' kubilang kesamaannya, muncul pada persoalan pada saat masa lalu, masa kini dan masa datang kemudian menjadi hal yang seperti nya terpisah satu sama lain dalam perkembangan sebuah kota. Temanku meresponnya dengan jawaban 'perlu membangun kesamaan visi? padahal sering kali seminar tentang Jakarta kota ini diadakan'. Yah, aku merasa speachless untuk membahas lebih lanjut. Aku tersadar, persoalan seperti ini, bukan persoalan yang bisa diselesaikan oleh gagasan-gagasan romantik semata. Akhirnya, aku membalas kembali sms temanku sambil setengah bergumam pada diriku sendiri: 'ya jadi mikir aja, dalam keseharian berkota, hal-hal kaya gini jadi realitas yang paradoks.'

Dalam perjalanan meninggalkan gedung Galangan dan menuju kemang, aku dan cicik sama-sama membahas hal ini. Pertanyaan yang mengemuka dari obrolan kami, 'sejarah siapa yang Ibu Susi jaga?' secara itu gedung bekas galangan kapal-kapal VOC pada masanya. Aku merasa, Ibu Susi seperti sosok yang tiba-tiba dibebani oleh sejarah, ketika tanpa sengaja dia membeli bekas bangunan yang ternyata punya cerita yang panjang. Kemudian apa keterkaitan ibu Susi dengan semua kisah masa lalu yang terjadi di Gedung itu sejak tahun 1628? Aku jadi berpikir, tiba-tiba saja, bukan hanya ibu Susi kukira, banyak orang yang ketika dia dengan situasi apapun dan alasan apapun, kemudian terbebani oleh sejarah yang 'tak terkait langsung dengan dirinya.

Apa yang VOC pernah lakukan pada ibu susi? pada Cina peranakan? selain membantai mereka di tahun 1740 dan menggunakan Cina peranakan untuk kepentingan politik kolonial. Lalu sekarang, jejak itu dipertahankan, tapi juga untuk alasan yang sangat romantik dan di tengah-tengah masyarakat yang secara sistematis dibuat abai pada sejarahnya sendiri. Pertanyaanku, lalu semuanya sebenernya untuk apa? kemudian aku seperti berhadapan dengan statementku sendiri di behind the screen Anak Naga Beranak Naga tentang musik gambang kromong: 'Kalau memang harus punah ya punah saja!' tapi pertanyaan yang muncul: setelah punah apa lagi yang tersisa?

***

Celakalah aku ini, yang senang sekali bertanya sampai ke hal-hal yang paling mendasar, sampai akhirnya aku pusing sendiri. Dan tidak banyak yang cukup sabar merespon pertanyaan-pertanyaan itu, sampai akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu lebih banyak kutelan sendirian.

Seringkali kesejarahan seperti itu, seperti menyimpan selembar foto tua yang tak sengaja kita temukan, Lalu tanpa mengerti cerita siapa sebenarnya yang terekam di dalamnya. Kita menyimpannya sampai bertambah usang, mencoba memberi kisah pada foto itu, tapi setiap kali dipandangi, semakin bingung saja dengan kisah yang kita karang sendiri. Kisah yang tak pernah kita alami langsung. Kisah yang tak ada hubungannya dengan diri kita, jika ada betapa jauh keterkaitannya.

Bahwa kita memang menjadi bagian dari sebuah narasi besar sejarah, memang iya. Tapi bagiamana kemudian narasi besar itu berkaitan dan dimaknai dalam keseharian hidup kita. Jika secara sistematis, masyarakat secara keseluruhan dikondisikan untuk mengabaikan sejarahnya sendiri, bagaimana aku, bagiamana ibu susi yang secara tidak sengaja memiliki artefak kesejarahan itu, memaknai makro narasi sejarah kota, dalam kehidupan keseharian? Bagiamana jika pada akhirnya pundak ibu Susi, tak kuat lagi menanggung beban kesejarahan yang terlalu besar baginya itu. Apakah lantas, ibu Susi yang kemudian disalahkan, ketika akhirnya ia merubah Galangan VOC itu menjadi ruko yang lebih menjual secara bisnis? Hal serupa juga mungkin terjadi denganku, apa yang harus ku lakukan jika satu persatu bagunan tua di Bandung hancur satu persatu atau berubah fungsi menjadi bentuk yang sama sekali berbeda? Dan jejak-jejak narasi sejarah kota Bandung itu hilang seiring dengan artefaknya yang hilang satu persatu.

***

"Cik, kamu kalo jadi ibu Susi, Galangan VOC, mau kamu jadiin apa?" Cicik bertanya padaku, meninterupsi pertanyaan-pertanyaan yang membuncah-buncah di kepalaku. Aku berpikir sejenak: "aku mau menjadikan dia sebuah perkantoran canggih, Karena disekitarnya daerah perdagangan dan industri, aku mau menjadikannya kantor yang memanfaatkan bangunan itu, kemudian meredesign lagi sesuai dengan kebutuhan saat ini," jawabku sambil membayangkan halaman-halaman majalah Arsitektur Internasioanal yang sering di bawa temanku ke common room. Cicik manggut-manggut setuju. " Iya cik, mungkin saya juga akan melakukan hal yang sama denganmu, kalo saya jadi ibu Susi," timpal cicik menguatkan ide yang muncul di kepalaku.

Ide yang muncul dari pertimbangan pragmatisme. Aku kemudian memaknai arsitektural dan keberadaan gedung itu secara fungsi dan kegunaan. Oke, aku akan mempertahankan bentuknya, tapi aku akan memberinya makna baru sesuai dengan fungsinya dalam penunjang hidup kesejarahan. Bagaimanapun juga, sejarah bagiku, mesti memiliki kesinambungan yang jelas ketika dilihat pada saat ini dan menjadi landasan yang mengantarkan perjalanan ke masa depan.

'The making of place' pemaknaan ruang (temanya artepolis), menjadi kalimat kunci yang kemudian membantu mengurai benang kusutku, dan membantuku menemukan kembali sedikit pijakan ditengah absurditasku hari ini. Untuk sementara, aku menemukan titik terang dari apa yang kuungkapkan pada temanku lewat sms tadi: masa lalu, masa kini dan masa datang kemudian menjadi hal yang seperti nya terpisah satu sama lain dalam perkembangan sebuah kota.

Kukira keterkaitan antara ketiganya muncul, saat keseharian berkota adalah upaya terus menerus untuk memaknai ruang-ruang itu, dengan cara apapun. Kesejarahan seringkali bisa menjadi sesuatu yang dicangkokan begitu saja, tanpa kita tau keterkaitannya dengan hidup kita. Ajaibnya, kita bisa begitu merasa memiliki sejarah itu dan mempercayainya sebagai bagian dari hidup kita. Tapi ya, mungkin memang begitulah kehidupan. Bambang Sugiharto (filsuf), pernah bilang dalam salah satu kuliahnya bahwa identitas manusia posmodern, seringkali tersusun oleh serpihan-serpihan teks yang tak berhubungan satu sama lain. Tapi pada akhirnya, serpihan-serpihan itu membentuk kolase dan membentuk makna yang baru.

Dalam konteks kota, aku jadi ingat istilah temanku yang urban designer itu sebagai 'urban quilt'. Bagaimana, sebuah kota membentuk identitasnya seperti sebuah quilt yang tersusun dari serpihan-serpihan kisah yang terangkai membentuk coraknya sendiri. Dan bagiku kemudian, bu Susi, seperti si penyambung perca yang kemudian membentuk quilt sebuah kota bernama Jakarta.

Aku mencoba melihat kembali absurditasku hari ini. Ya, aku bisa menyebutnya sebagai kolase yang juga terbentuk dari kolase-kolase kehidupan orang lain yang bersentuhan dan berpasasan dengan hidupku dari hari kehari. Hari ini, aku bingung menemukan makna untuk menjelasakan kolase itu, tapi mungkin besok, lusa, minggu depan, entah lah, aku akan menemukannya.

Gudang Selatan,
13 Juli 2006, dini hari

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah