Skip to main content

Perjalanan Ke "Ujung Dunia"

photo by tarlen

"Kok ngga nyampe-nyampe ya?" pertanyaan itu diulang-ulang sepanjang perjalanan Bandung –Ujung Genteng. Saya dan empat orang teman yang lain, sampai tak tahu lagi harus melontarkan joke apa lagi, karena semua joke dan cerita-cerita ngga penting sudah habis dari perbendaharaan kami berlima, bahkan diulang sampai beberapa kali.

Dua puluh liter pertama sejak kami isi tanki di bandung, habis dimakan jalan. Dua puluh liter berikutnya kami isi di pom bensin terakhir yang kami jumpai di daerah Jampang Kulon. Sempat bertanya pada penduduk setempat, berapa lama lagi kira-kira perjalanan yang akan kami tempuh. Salah satu orang yang kami tanyai menjawab "satu jam lagi kira-kira!". Sementara senja mulai turun. Langit berangsur-angsur gelap.

Setelah menempuh tujuh jam perjalanan dengan rute Cianjur Selatan, Jampang Kulon, Surade _ Ujung Genteng, tibalah kami ke tempat tujuan. Jam menunjukkan pukul 19.30 malam. Saya masih menebak-nebak, seperti apa kira-kira Pantai Ujung Genteng yang ingin sekali saya kunjungi sejak sepuluh tahun yang lalu itu.

Karena hari gelap dan malam menjelang, kami mencari penginapan di sekitar pantai yang tampak gelap gulita. Hanya suara angin laut dan ombak yang begitu keras terdengar. Beberapa tukang ojeg yang kami lalui, menawari tumpangan untuk pergi ke Pantai Pangumbahan kurang lebih 6 KM dari pantai Ujung Genteng, untuk melihat penangkaran penyu. Tapi saat itu yang kami pikirkan adalah merebahkan diri di kamar penginapan. Tujuh jam perjalanan, meski menyenangkan namun secara fisik cukup melelahkan.

Tidak banyak penginapan di sekitar pantai. Hanya beberapa saja yang nampak layak. Ada Pondok Adi, Pondok Hexa, Pondok Mamas, Pondok Deddy. Harga penginapan berkisar antara tiga ratus lima puluh ribu sampai empat puluh ribu permalam, tergantung dari besar kecil dan fasilitas kamar yang disediakan. Kebanyakan bangunan kamar berupa pondok dari bilik bambu yang berisi dua tempat tidur single dan kamar mandi, namun ada juga bangunan permanen dan ber AC. Tidak bisa dibilang mewah, tapi cukup lah untuk beristrirat dan bermalas-malasan. Saya dan teman-teman memilih Pondok Hexa, karena cukup murah, pelayanannya cukup ramah, lokasinya enak dan tepat di sebarang pantai. Sayangnya kami tak membawa perlengkapan barbeque, seandainya ada, akan sangat menyenangkan barbeque di halaman pondok tempat kami menginap.

Niat ingin menikmati sunrise, ternyata gagal. Matahari tak terlihat, mendung menggelantung dan sempat gerimis sebentar. Karena badan masih terasa lelah, kami memilih melanjutkan tidur. Udara panas di kamar penginapan membuat kami terbangun. Begitu keluar kamar, tercium bau laut yang terasa begitu segar.

Langit begitu biru jernih dan pantai Ujung Genteng yang semalam gelap gulita, tampak begitu indah. Pasir putih, jernihnya air di pesisir pantai dan ombak terlihat menakjubkan. Empat orang teman saya yang lain memilih untuk berenang-renang di tepi pantai. Sedangkan saya lebih memilih memotret sebanyak mungkin karena cuaca begitu cerah.

Arus laut saat itu terasa deras. Belakangan kami tau dari berita televisi, permukaan air laut di pesisir pantai selatan pulau Jawa memang naik, termasuk Ujung Genteng. Bahkan di dekat Pangandaran, ada kapal karam karena ombak pantai selatan lebih besar daripada biasanya. Untungnya saat itu teman-teman saya hanya berenang-renang di tepi pantai. Saya tak bisa membayangkan apa jadinya jika mereka berenang ke tengah laut, tanpa tau bahwa laut selatan sedang pasang dan deras arusnya. Seperti kebanyakan pantai di Indonesia, saya tak melihat life guard di pinggir pantai.

***

Terletak di bagian selatan Kabupaten Sukabumi, Kecamatan Ciracap dan Kecamatan Waluran, Ujung Genteng berjarak tempuh 127 KM dari kota Sukabumi. Saat ini baru desa Gunung Batu dan Desa Pangumbahan yang telah dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata. Ombak Ujung Genteng, termasuk ombak yang disukai para surfer karena salah satu yang terbaik di dunia. sayangnya saat itu hanya dua orang turis asing saja yang terlihat asyik surfing di pantai Ujung Genteng.

Kondisi pantai yang bisa dibilang belum seramai Pangandaran atau pantai wisata lainnya ini, membuat Ujung Genteng relatif terlihat lebih bersih dan sepi. Meski di dekat kampung nelayan, penduduk setempat mulai banyak mendirikan warung-warung makanan. Transportasi menuju pantai Ujung Genteng pun bisa dibilang relatif mudah. Biasanya angkutan umum terakhir sampai pukul 17.00 WIB. Jadi lebih baik jika hendak menuju Ujung Genteng dari kota Bandung tercinta ini, sebaiknya perjalanan dimulai sepagi mungkin, sebelum Pk. 07.00 WIB. Selain ada angkutan umum, ojeg bisa digunakan sebagai sarana transportasi, meskipun ongkos ojeg relatif cukup mahal. Untuk rute Ujung Genteng-Pangumbahan, mereka memasang tarif sampai empat puluh ribu rupiah.

Bekas reruntuhan dermaga peninggalan Jepang, berada di tengah-tengah kampung nelayan. Jika air surut, orang bisa berjalan ke tengah laut lewat reruntuhan dermaga itu. Sekilas, saya sempat memperhatikan ada ciri fisik yang spesifik dari penduduk Ujung Genteng. Mata mereka kebanyakan sipit dengan garis wajah yang tegas. Meski kulit terlihat keling karena cuaca pantai yang panas, mereka mengingatkan saya pada orang-orang Jepang atau Korea. Dan thanks God! Karena ada pemancar operator selular di situ. Jadi meski jauh 'di ujung dunia', sinyal hand phone cukup kuat. Cukup bisa menghubungi teman-teman yang tak bisa ikut berlibur dan bikin iri mereka yang tak bisa menikmati keindahan Ujung Genteng.

Jika mau bersusah payah sedikit, pantai Pangumbahan layak dikunjungi. Namun tempat berkembang biaknya populasi penyu hijau ini hanya bisa dikunjungi malam hari di atas pukul 21.00. Disaat pantai gelap dan sunyi, penyu-penyu naik ke darat untuk bertelur dan menguburnya di dalam pasir sampai telur-telur itu menetas. Menurut cerita tukang ojeg setempat, warga di pantai Pangumbahan cukup ketat menjaga kenyamanan penyu-penyu ini berkembang biak. Pengunjung tak boleh menyalakan api dan bersuara keras yang bisa mengganggu penyu-penyu yang sedang bertelur. Sayangnya saya dan teman-teman tidak punya cukup waktu untuk mengunjungi Pangumbahan dan melihat penyu-penyu naik ke darat. Mengingat populasi penyu yang semakin berkurang, keberadaan Pangumbahan memang perlu dijaga dari kerusakan eskosistem.

***

Rasanya saya tak akan pernah bosan untuk kembali lagi ke Ujung Genteng. Selain pantainya yang sepi dan indah, saya sangat menyukai perjalanannya. Saat pulang kembali menuju Bandung dan melakukan perjalanan siang hari, banyak sekali pemandangan alam, landscape Jawa Barat yang bisa dinikmati. Hamparan padang rumput, pohon kelapa yang tersambung dengan pesisir pantai dan sapi-sapi merumput, menjadi pemandangan yang menyenangkan. Perkebunan teh Surangga dan hutan pinus menjadi pemandangan kontras yang berkesinambungan antara Ujung Genteng, sampai dataran tinggi Cianjur Selatan - Sukabumi. Belum lagi, jika sore mendung menggantung, kabut akan menyelimuti perkebunan teh dan hutan-hutan pinus. Jarak tempuh yang cukup jauh kemudian tak jadi masalah bagi saya dan teman-teman, karena sebanding dengan kepuasan menikmati keindahan alam yang kami rasakan. Seandainya bisa kembali setiap hari, dengan senang hati saya akan melakukannya.

Tulisan ini pernah dimuat di Bandung Beyond

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa