Skip to main content

Apa Arti Sebuah Nama

Seorang teman, sebut saja Dewi Puspita mengadu lewat Yahoo Messanger. Dirinya seorang perupa perempuan mendapat undangan dari tim kurator event seni rupa bergengsi dua tahunan yang akan diselenggarakan bulan September mendatang. Teman saya mengadu dirinya kesal dan jengkel pada tim kurator pameran. Untuk kesekian kalinya undangan yang ditujukan untuknya ditulis sebagai Dewi Harsono, bukan Dewi Pustpita. Harsono, suaminya juga perupa terkenal di negeri ini. Untuk banyak orang penulisan nama itu terkesan sepele, tapi bagi teman saya, hal itu sangat prinsipil. Ia menegur tim kurator untuk persoalan itu. Sebagai perupa yang mandiri secara ide dan gagasan, dia merasa tidak diakui kekaryaannya karena selalu disangkut pautkan dengan nama suaminya. Seolah tanpa nama suaminya, dirinya tidak diakui sebagai seorang perupa. Setelah beradu argumen, tim kurator meralat nama yang tertera pada undangan yang ditujukan pada teman saya itu.

Dalam kesempatan yang berbeda, teman yang lain, sebut saja Siska, mengeluhkan hal yang serupa. Suaminya, Albert, dikenal sebagai pria yang cukup populer di kota tempat saya tinggal. Akibatnya, teman saya selalu dikenali orang sebagai Siskanya Albert. Seakan-akan jika teman saya menyebut dirinya sebagai Siska, tanpa embel-embel nama suami, orang-orang tidak mengenali dan mengakui keberadaannya. Seringkali Siska tak bisa berbuat apa-apa untuk membantah hal ini. Bagi Siska, mau diapakan lagi, toh suaminya memang lebih popular di banding dirinya. Akhirnya Siska hanya bisa menerima dikenali sebagai Siskanya Albert.

Begitu pula jika kita menonton TV series, the Sopranos, di mana identitas Carmela selalu dikaitkan dengan Anthony Soprano, suaminya yang boss mafia itu. Semua orang selalu takut berteman dengan Carmela karena dia adalah istri Anthony Soprano. Padahal Carmela adalah pemeluk katolik yang taat yang sebenarnya tidak setuju dengan praktek Mafioso yang dilakukan suaminya. Tapi lingkungan terlanjur menulis namanya sebagai Carmela Soprano, perempuan yang menjadi berbahaya dan kejam hanya karena dia menikahi seorang yang dicintainya yang kebetulan bernama Anthony Soprano, boss mafia dari New Jersey. Karena terkondisikan oleh sekelilingnya, akhirnya Carmela memilih untuk mengambil banyak keuntungan dari nama besar suaminya.

Saya yakin persoalan seperti itu seringkali terjadi disekeliling kita. Untuk sebagian besar perempuan mengambil sikap seperti Siska atau Carmela. Jarang yang mau ngotot beradu argumen seperti Dewi. Seandainya situasinya dibalik undangan untuk Harsono ditulis kepada Harsono Dewi atau Harsono Puspita, juga Albert dikenali sebagai Albertnya Siska, tetap saja menjadi persoalan. Juga untuk beberapa orang yang sudah dikondisikan sejak kecil. Identitas mandiri (nama yang diberikan kepadanya ketika dia lahir) seringkali dinihilkan, manakala ada nama (keluarga atau suami) yang “powerful” untuk mempengaruhi sekelilingnya.

Dengan dalih untuk meneruskan tradisi keluarga atau mendukung suami, perempuan dalam system keluarga yang patriarchal diposisikan sebagai subordinasi yang membuat dirinya tak bisa menerakan identitasnya secara mandiri. Apapun yang dilakukan selalu di sangkut pautkan identitas lain yang tertera pada nama belakangnya. Keberhasilan atau prestasi selalu di klaim sebagai keberhasilan atau prestasi kolektif (keberhasilan suami atau keluarga dalam ‘membina’ istri atau anak perempuannya). Tapi kegagalan kemudian menjadi beban social karena nama suami atau keluarga menjadi tercoreng yang berarti juga kegagalan kolektif.

Konstruksi social seperti ini, tak memberi ruang bagi individu untuk bisa tampil sebagai individu yang mandiri dan mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Ruang-ruang dimana individu bisa mengembangkan identitasnya dan potensinya secara mandiri menjadi sulit terwujud, karena konstruksi social tidak memberi kesempatan dan ruang bagi kemandirian yang melahirkan banyak inisiatif baru. Padahal banyak perubahan social yang membawa dampak positif dalam masyarakat yang diawali oleh inisiatif dan kemandirian individu.

Lantas nama menjadi begitu penting untuk menandai identitas individu. Nama bukan sekedar nama yang bisa di begitu berikan begitu saja. Nama menjadi bagian terkecil dari konstruksi social yang diterakan pada diri individu sejak dia lahir ke dunia. Nama lah yang kemudian membentuk cara individu memandang dirinya, potensi dan posisinya dalam lingkungan sosial. Ketika kita menerakan nama keluarga atau nama suami, tanpa sadar kita telah membebani individu dengan beban social yang bisa jadi malah mengekang kemandiriannya untuk membentuk identitasnya sendiri.

KGU8, 10 maret 2005
Untuk JP online

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa