Skip to main content

Bapak Dalam Tidurku

Aku mencari bapak. Bapak yang bisa kuajak bergandengan tangan ketika semua orang menyalami memberiku selamat. Dengan tulus juga dengan cibiran. Bapak yang bisa membuatku aman. Bapak yang bisa menarikku keluar dan memberi matahari, ketika semuanya seperti musim dingin yang panjang dan tak bekesudahan. Bapak yang bisa memelukku, mendekapku, dalam kehangatan dan kebersahajaannya. Lalu bayangan bapakku muncul dimulut tangga lantai 2 hall ruang pamer, di sayap kiri bangunan besar bercat putih, bersalaman denganku, mengalirkan kehangatan dalam darahku. Kehangatan yang sama ketika ia mengusap punggungku. Aku ingin memelukmu, mencari lebih banyak hangat, yang mungkin kau berikan sekedar jabat tangan atau usapanmu pada punggungku. Malam terlalu pekat dan panjang untuk dilalui sendiri. Aku membutuhkan genggaman tanganmu, wahai bapak.

Setelah itu waktu berjalan begitu lambat. Langkah kaki seperti sepasang kaki kecil terikat rantai besi. Berat. Dingin. Malam terasa jauh lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Hari berganti membawa kisah murung dan rasa sakit tak berkesudahan. Aku terkubur dalam mimpi-mimpi tentangnya.

I

Satu malam, aku bertanya padanya, bagaimana rasanya mati. Ia tak menjawab, bahkan membalas tatapanku saja tidak. Bulir-bulir air matanya mengalir perlahan dan berubah kerap. Ia tergugu. Memelukku. Tergugu seperti anak kecil dimarahi karena lalaikan perintah ibu. ‘sesungguhnya aku tak ingin pergi meninggalkanmu, manisku. Maafkan aku, membuatmu terluka.’

Begitulah. Selalu ada satu malam di mana malam begitu pekat . Dan aku berjalan seperti memikul balok es pada punggungku. Hidup terasa lebih panjang dan berat, seperti musim dingin tak berkesudahan. Dan lonceng angin seperti mengantar angin dingin, mengiringi malam-malam yang panjang menjelang.

II


satu malam, langit berwarna keemasan. Berkas cahayanya menerobos daun jendela jati, memberiku sedikit harapan, dalam keterjebakan di tengah ruang-ruang labirin dengan pintu-pintu dan tangga-tangga tak bekesudahan. Ruang-ruang tua dengan hantu-hantu penghuninya. Meneror dan mengejarku. Mungkin bagi mereka, mengejarku seperti permainan petak umpet. Dibiarkannya aku bersembunyi untuk mereka kejar dan mereka temukan. Kemana aku harus lari? Yang kujumpai adalah pintu dan pintu. Tak ada jalan keluar yang sesungguhnya. Saat berhasil meraih tangga, yang kudapati adalah lorong tangga yang gelap, seperti sumur tanpa dasar tak jelas ujungnya. Aku terus berlari. Dikejar hantu-hantu. Tak tahu arah untuk membebaskan diri. Ditengah keputus asaanku, sepasang tangan, yang hangatnya aku kenal betul, memintaku mengikutinya. Tangan itu membukan sebuah pintu. Cahaya terang benderang menyerbuku, hingga aku terjatuh karena silau. Saat mataku berhasil melihat dalam terang, kulihat hamparan kota mati di bawah bukit, menawari jalan lain untukku. Membebaskanku dari kejaran hantu-hantu, sekaligus menjebakku pada ketakutan lain. Sepasang tangan, berubah menjadi sosok lengkap yang tak kukenali wajahnya, tapi hangatnya terasa akrab bagiku. Tangannya menunjuk ke lembah, ‘kau harus bisa melaluinya, baru kau kan temukan jalan pulang.’ Aku menatap sejenak, mencoba mencari muka pada sosok penolongku, tapi tak berhasil kutemukan. Kutatap hamparan lembah kota mati, ‘ini jalanku’. Dengan langkah berat dan perlahan, aku mulai berjalan ke arahnya.
«

Satu malam, sebuah mobil sedan perak metalik, parkir dihadapanku. Setirnya baru, warnanya berkilat-kilat karena baru. Seseorang berwajah bapakku ada di situ, memintaku mengemudikannya. Tapi aku tak berani melakukannya. Aku bilang padanya aku takut merusaknya. Aku belum pandai menyetir. Orang berwajah bapakku bilang, jika tak dicoba kapan aku bisa? Dia menyemangatiku, meyakinkanku. Dan mobil bergerak ketika aku mengemudikannya. Ya, aku menyetirnya dengan rasa was-was, takut membuat cat perak metaliknya tergores.

Saat ku terjaga, peraduanku seperti bermandikan cahaya terang. Menyilaukan dan memberikan suasana hati yang lain. Ketenangan yang lain. Juga ketakutan yang lain. Saat itu lonceng angina di kamarku merambatkan pesan, perjalanan telah dimulai.
«

Satu malam, seekor singa meraung saat saat ku melewati kandangnya. Ketika kudekati hanya suaranya yang terdengar. Wajahnya terkurung di balik tembok pagar penghalang. Kujauhi, suaranya mengikutiku. Kuberlari, dan semakin kencang berlari, tubuhnya menembus tembok mengikuti lariku. Aku dikejar seekor singa berwajah barongsay putih berbuku mata lentik. Bulunya lembut seperti gumpalan kapas yang bergerak-gerak tertiup angin. Tapi rasa takut terlanjur mengagahiku. Aku berlari dan berlari. Bersembunyi di balik bilik reyot, menyembunyikan diri dari kejarannya. Tapi tak lama, cakarnya memaksaku keluar. Dan keberanian muncul ketika takut meraja seperti pemerkosa dikuasai birahi, aku menjelma dalam wujud monster ganas berbulu kelabu. Tanpa ampun aku mengamuk, mencabik bulu saljunya, tubuhnya, sampai matanya yang besar dan lentik seperti topeng barongsay, membeku, tak bergerak. Darah menggenang, seperti es serut dilumuri sirup strawberry. Ketakutan mereda. Aku menjadi diriku lagi. Dalam kelimbunganku, takut berubah sesal yang silih berganti menggagahi. Aku seperti korban pemerkosaan beruntun yang kemudian membunuh si pemerkosa dengan sangat kejam. Mungkin singa putih bermata lentik itu, tak bermaksud menyakitiku, mungkin ia hanya ingin bermain-main. Aku telah membunuhnya. Aku pembunuh. Seorang anak kecil yang diam-diam bersembunyi dan menatapku di pojokan, menjadi saksi pembantaian singa putih bermata lentik. Kami sama-sama terjebak di balik bilik reyot, digagahi rasa takut yang berbeda. Ia menatap memohon, merengek padaku ingin bertemu orangtuanya. Aku yang dihantui rasa sesal, menebus rasa bersalahku dengan berlari mengantar anak kecil itu pada orang tuanya.

Anak kecil itu akhirnya bertemu orang tuanya. Tapi si anak jatuh hati padaku. Ia berubah pikiran, ingin ikut denganku. Tapi aku, tak ingin dibebani anak itu. Aku kembali berlari. Kali ini meninggalkannya, menanggalkan peran juru selamat yang sebelumnya kumainkan. Tapi anak kecil itu seperti hantu yang mengikutiku. Tak terlihat, hanya gelak tawanya yang menguntit, memantul pada tembok-tembok gang sempit dan becek yang kutapaki dalam perasaan campur baur. Aku seperti lari dalam labirin, dikejar suara anak kecil tergelak-gelak seperti mentertawakanku. Sampai ku temukan tubir jurang tak bertepi. Kuhentikan kakiku, anak itu berhenti tertawa, dunia berhenti berputar. Hening. Awan-awan hijau tipis, turun dari bukit menyelimuti dasar jurang yang tak kulihat terang di bawahnya. Inilah akhir segalanya, dan aku akan menemukan bahagiaku di sana. Anak kecil itu kemudian tampak dalam sosoknya, berdiri di hadapanku. Menatap memohon ‘jangan tinggalkan aku!’ aku tersenyum, menatapnya sejenak. ‘aku bahagia!’ sejurus badanku terasa ringan tanpa beban, berselimut awan hijau tipis, mengantarku ke dasar jurang, menjemput keabadian. Anak kecil itu menatapku di tepi jurang dan menagis dalam diam. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa patah hati.

Lonceng angin di jendelaku bergerak lirih. Bunyinya seperti tangis tertahan. Aku menangis tanpa suara ketika terjaga. Rasa sakit menekan dadaku begitu kuat. Tapi entah kesakitan yang mana. Mungkin kesakitan ketika kusadari aku harus berjalan sendiri.
«

Satu malam, kamarku terbakar. Buku-buku yang kucintai, perpustakaan hidupku terbakar. Aku menangis. Meraung. Sakit seperti sebagian diriku terbakar jadi abu. Orang-orang menghiburku. Tapi tak satupun bisa menghapus air mataku. Seseorang berwajah bapakku mendekatiku di tengah-tengah kerumunan orang yang menonton puing-puing dan rumah yang menjadi arang. Dilemparkannya majalah lama, National Geographic, kehadapanku. Sampulnya yang berbingkai kuning menampakan kolase potret perjalanan sebuah cita-cita setelah seratus tahun. Kumisnya menegang seperti injuk dan matanya yang tak terlalu besar membulat, membelalakiku. ‘Legenda pribadimu ada di depanmu bukan dalam puing-puing itu.’ Aku berhenti meraung. Mataku sembab, pedih terkena debu puing, dan hatiku sakit. Lelaki berkumis itu memukul hatiku dengan kata-katanya.

Aku kembali menangis diam-diam. Sampai lonceng angin bergerak-gerak di jendela kamarku, bunyinya jernih. Bening. Sebening bisik tanya di telingaku, ‘Dimakah kau legenda pribadiku?’
«

Satu malam, kamarku basah. Air menggenang dimana-mana. Kucari sumber airnya, ternyata mataku sendiri. Airmata mengalir tak henti-henti. Menggenangi seluruh isi kamarku. Buku-bukuku mengambang. Berenang-renang mencari tempat untuk menepi. Aku sebentar lagi tenggelam. Tenggelam oleh air mataku sendiri. Sendirian dalam kamarku yang tiba-tiba menjadi sangat-sangat luas. Seluas gudang-gudang tua di depan rumahku. Kupikir mungkin ini saatnya aku akan mati. Tenggelam dalam air mataku sendiri. Merana dalam duka yang kutanggung sendiri. Kupejamkan mata. Gelembung-gelembung udara keluar dari mulutku. Perlahan tapi pasti, air mencapai rambutku. Baiklah. Mungkin aku seperti Petar Popara Blacky* yang mencari anaknya Jovan selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya bertemu, saat Blacky mendengar Jovan memanggil dari dalam air. Menenggelamkan diri bagi Blacky, berarti akan bertemu lagi dengan belahan hatinya. Mungkin aku juga akan bertemu bapak jika aku memutuskan untuk tenggelam.

Air hampir menyentuh langit-langit. Aku mulai merasakan kehangatan yang akrab ada di dekatku. Sebentar lagi. Aku kan temukan yang kucari.
Tiba-tiba air menyusut drastis, seperti sumbat yang dilepas dari dasar bak mandi. Seseorang yang kucintai bukan sebagai bapak menjambak rambutku. Menampar-nampar pipiku. Mencoba menggugah kesadaranku, yang nyaris hilang seluruhnya. Dia mendekapku. Memberiku hangat, meski bukan hangatnya tak terasa seperti bapak. Dia mencium seluruh wajahku, mencoba membangunkanku. Tapi sia-sia. Kesadaranku enggan kembali. Dia mulai terisak. ‘Jangan mati, jangan mati!’ Ia kembali menciumi wajahku. Menempelkan mulutnya di mulutku. Mencoba menghembuskan nafas hidupnya pada diriku. Tapi tetap aku tak bergeming. Air matanya
menjadi semakin kerap, menetes membasahi wajahku.

Lonceng angin tak bergerak. Angin pun berhenti bergerak. Semua seperti terjebak dalam balok es besar. Diam. Dingin dan tak bergerak. Hanya matahari yang berani menjatuhkan sinarnya di wajahku. Mataku terbuka. Tapi dia tak ada di sampingku. Hanya rasa ciumannya yang tertinggal. Membeku di bibirku. Sementara tubuhku seperti bara yang menyala. Panas. Es batu dalam bungkus kain kompres tak sanggup mendinginkan panas tubuhku. Sinar matahari membuat mataku berkunang-kunang. Tak ada kata yang sanggup keluar dari mulutku. Aku merasa lelah. Aku tak sanggup menahan tubuhku yang mungkin sebentar lagi meleleh. Aku benar-benar lelah. Aku tak sanggup lagi. Dan aku pun jatuh tertidur.

Sore hari saat ku terbangun, lonceng anginku bergerak tanpa suara. Dia ada disisiku. Menggenggam erat tanganku. Tersenyum bahagia melihatku siuman. Dia kecup dahiku. Seketika dingin menjalar, meredakan panas tubuhku. Perlahan dia rapatkan wajahnya di wajahku, ‘ kamu tak sendiri sayang.’
«

Satu malam aku dibawa ke dalam jalan berbelok, berliku-liku, gudang-gudang tua dan kosong, gelapnya malam dan kebuntuan. Entah bagaimana aku seperti berjalan-jalan mencari tempat baru untuk ku bernaung. Ku lewati beberapa rumah tapi tak ada yang cocok, sampai aku tiba di kompleks gudang-gudang kosong (seperti kompleks gudang tua di depan rumahku), tapi kemudian aku tersesat di antara jalan-jalan itu, karena aku tak menemukan jalan raya untuk pulang. Sampai gelap menyergap, aku berpapasan dengan beberapa orang yang mengusung mayat-mayat berlumuran darah, tak jelas mengapa mereka mati. Aku menghindari mereka dangan perasaan waswas. Karena bukan hanya usungan-usungan mayat itu yang aku temui, tapi juga orang-orang dengan pedang bersimbah darah di tangan dan mata haus darah. Menghindari mereka membuatku kehilangan tujuan. Sempat terjebak di tengah kerumunan orang yang sedang berpesta. Tapi bukan pesta yang menyenangakan. Aku meninggalkan pesta itu, meski banyak sekali pohon dan daun-daun cemara menghalangi jalanku (tempat pesta itu memang dikelilingi pohon-pohon cemara). Lalu aku terus berjalan sampai pagi menjelang. Sampailah aku di jalan batu di daerah pegunungan. Indah karena hutan pinus tua di belakangku. Aku putus asa meski bukan aku sendirian di yang berjalan beberapa orang yang kukenal samar-samar muncul berpapasan silih berganti. Putus asa, karena kupikir ini adalah jalan tak berujung dan aku merasa bahwa aku tak akan pernah sampai ke rumah. Menapaki jalan yang menanjak dan menurun, berliku-liku, seolah-olah tak berujung, melewati desa-desa dengan kesenyapan yang aneh dan mendirikan bulu kuduk. Sampai akhirnya beberapa orang pejalan kaki yang tersesat ini termasuk juga aku, sampai di sebuah rumah gubuk sederhana, tidak reyot tapi juga tidak terlalu kuat. Kami memutuskan beristirahat di situ karena kami tak tau lagi bagaimana menemukan jalan kembali pulang. Karena kami tau rumah itu adalah ujung jalan yang kami tapaki. Kami sampai pada jalan buntu. Semua berpikir dalam diam. Keheningan mengambang seperti kabut di sela-sela hutan pinus. Tiba-tiba sebagaian kecil dari kami bangkit, mengambil air dan bersuci lalu bersujud memohon petunjuk kepada Maha dari segala Maha, dengan kerendahan hati. Aku berdiri terpaku melihatnya. Tiba-tiba kami semua di rumah itu merasakan gubuk itu berputar (entah berapa derajat) dan pintunya terbuka, di balik pintu itulah jalan baru terbentang luas di depan pintu. Kami senang sekali. Tiba-tiba aku menangis bahagia, bersyukur sekaligus takjub. Yang Maha kuasa menunjukkanku jalan pulang. Jalan baru untuk pulang. Orang-orang berlari-lari bahagia menuju jalan pulang dan aku ada di antara mereka yang berbahagia.

Aku terjaga oleh lonceng angin yang berbunyi dengan nada yang baru. Riang seperti mengantarkan anak-anak pulang ke rumah, usai bubar sekolah. Membawa nasehat guru akan pandangan hidup yang baru.

III

Satu malam, bapak datang menghampiriku. Berwujud dirinya yang kujumpai dimulut tangga gedung putih tempo hari. Ia tak berkata apapun, hanya berdiri membelakangi cahaya. Membentuk bayangan hitam. Tanpa muka, tapi dengan kehangatan yang akrab. Menatapku yang meringkut pulas seperti bayi. Lama. Ia menghampiriku. Tangannya mengusap lembut punggungku. Bisik lembutnya di telingaku seperti penutup kuping di musim dingin. ‘Selamat tidur manisku. Aku kan selalu menjagamu.’

«««

Untuk semua yang pernah menjadi bapak dan mimpi yang pernah datang dalam tidurku

Lastversion, 14 agustus 2004. KGU 8


Petar Popara Blacky, tokoh utama dalam film UNDERGROUND garapan sutradara Emir Kusturica.

Cerpen ini pernah di muat di On/off no. 27/III/2004

Comments

membacanya membuat saya harus menarik nafas berkali-kali.
'ternyata aku pun rindu pada [alm[bapakku mbak'

nice story

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah