Skip to main content

Ketika Kesenangan dan Rasa Suka Jadi Industri

One of Sixteen Houses, Stanley Saitowitz
Project Team: Sung Cho, Federico Devera, Jason Etheridge, Edward Kim

Nampaknya bukan hal aneh, ketika anak muda Bandung, jauh lebih fashionable dari pada anak muda di kota lain. Kata urang Sunda mah: geus ti ditu na. Dari sejarah yang ditulis kuncen Bandung, Haryoto Kunto (alm) melalu buku Bandoeng Tempo Doeloe, Jalan Braga pada saat itu, sempat menjadi pusat mode di awal abad 20. Semua orang Eropa yang tinggal di wilayah jajahan, setiap tahun datang ke jalan Braga untuk berbelanja fashion terbaru yang jadi trend pada saat itu. Bandung selalu dijadikan barometer perkembangan fashion dan mode bukan hanya oleh kota-kota lain di nusantara, tapi juga wilayah Hindia Belanda. Dari data statistik yang dikeluarkan Gemeente Bandoeng tanggal 1 Januari 1921, jumlah penduduk Eropa yang tinggal di Bandung mencapai 10.658 jiwa. Fakta ini membuat Bandung tumbuh menjadi kota moderen dengan standar Eropa termasuk juga dalam perkembangan fashion dan gaya hidup.

Bahkan ada cerita, setiap musim pacuan kuda tiba yang pada saat itu diselenggarakan di lapangan Tegalega, digunakan oleh seluruh lapisan masyarakan kota Bandung, baik orang-orang Eropa maupun pribumi, untuk show off alias pamer gaya. Uniknya, angka perceraian pada musim pacuan kuda, mengalami peningkatan yang luar biasa. Selidik punya selidik, gugatan cerai paling banyak disebabkan karena banyak mojang-mojang Bandung yang hadir di acara pacauan kuda sesampainya di rumah, menuntut pada para suami untuk membelikan fashion terbaru yang mereka lihat pada saat menghadiri pacuan kuda. Ketika para suami ini, tidak mampu dipenuhi, para istri ramai-ramai menggugat cerai.

Sekarang jamannya bukan adu gaya di tempat pacuan kuda, ruang-ruang publik seperti jalan dago, shoping mall, bahkan dalam kehidupan keseharian, urusan gaya tak pernah dilupakan dan menjadi bagian yang penting bagi warga Bandung, khususnya anak mudanya. Bandung senantiasa memiliki energi kreatif yang tak pernah mati yang melahirkan trend lifestyle dan fashion untuk setiap jamannya. Dari generasi Aktuil di tahun 70-an sampai sekarang generasi distro yang muncul dan berkembang dalam sepuluh tahun terakhir ini.

Akses informasi yang relatif mudah untuk sebagian orang, melahirkan para trend setter di kalangan anak muda. Mereka menjadi semacam agen-agen yang membawa trend fashion yang sedang berkembang di barat, ke Bandung. Namun bukan berarti trend tersebut di tiru mentah-mentah. Energi kreatif yang mereka miliki, membuat trend tersebut diadaptasi dan di modifikasi, sampai akhirnya melahirkan trend baru yang lebih sesuai konteksnya dengan karakter anak muda Bandung.

Sebut saja Reverse sebuah studio musik di daerah Suka Senang, yang muncul sekitar ’94. Tempat ini dalam catatan Gustaff H. Iskandar dalam tulisannya yang berjudul Fuck You We’re From Bandung, menjadi tempat yang cukup penting dalam melihat proses bagaimana trend dikonsumsi dan diakomodasi sampai kemudian melahirkan trend baru. Semula tempat yang didirikan oleh Richard (mantan personel PAS band), Helvi dan Didit (yang kemudian mendirikan Fast foward record) menjual barang-barang import yang berupa merchandise band seperti CD, poster, kaos atau yang berhubungan dengan hobi skateboard yang ditekuni oleh para pendirinya. Reverse juga jadi tempat dimana berbagai komunitas bertemu dan berinteraksi. Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia dan nilai dollar terhadap rupiah melambung tinggi, menghentikan usaha import merchandise yang dilakukan selama ini, namun disisi lain membuat Reverse kemudian bermutasi menjadi Reverse Jeans untuk memproduksi barang-barang lokal dengan harga yang lebih terjangkau dengan tetap mempertahankan kualitas. Dan pada februari 2004, Reverse resmi menjadi Revese Clothing Company dengan Didit sebagai pengelolanya. Sementara rekannya Helvi, lebih dulu mendirikan Airplane pada akhir 1997 yang juga memproduksi clothing dan membuka distro di jalan Aceh, Bandung.

Perkembangan dunia fashion di kalangan anak muda Bandung kemudian bukan lagi sekedar kesenangan yang ditekuni atas dasar hobi semata. Fashion di Bandung tumbuh menjadi industri, mulai dari skala kecil sampai skala yang cukup besar, berdampak pada tumbuhnya infrastruktur yang mengakomodasi energi kreatif anak muda Bandung ke wilayah lain. Sebut saja maraknya pertunjukan-pertunjukan musik yang didukung oleh distro-distro dan clothing company. Juga media-media independen yang tumbuh dan bertahan juga karena iklan clothing dan distro yang ada di Bandung. Sinergi seperti ini melahirkan relasi yang saling menguntungkan. Semua komponen yang terlibat, baik itu fashion, musik, media berkembang bersama dan saling melengkapi. Meski kondisi yang nampak ideal ini bukan berarti tanpa masalah.

Sampai saat ini menurut dokumenter yang dibuat oleh C on C, sebuah pameran desain clothing yang diselenggarakan baru-baru ini, terdapat sekitar 200 clothing yang sekarang tumbuh dan bekembang di kota Bandung. Kemunculan clothing dan distro, mayoritas di dasari oleh idealime para pendirinya. Hobi dan keinginan untuk menyalurkan desain menjadi faktor pendorong pada awalnya.

Namun motif ini kemudian bergeser ke arah pertimbangan ekonomi. Produksi yang tadinya hanya skala kecil, dengan masuknya investasi modal yang cukup besar, beberapa clothing company memproduksinya dalam skala yang cukup besar. Monopoli vendor produksi menjadi persoalan yang muncul kemudian karena kapasitas produksi tak bisa memenuhi tuntutan pasar yang semakin besar. Akibatnya antar supply and demand tak berimbang.

Belum lagi desain-desain clothing yang awalnya terasa ekslusif dan beda bagi pemakainya, kini sebagian menjadi masal. Sebagai industri yang pada akhirnya mengakomodasi kepentingan pasar, trend yang diciptakan juga bekompromi dengan permintaan pasar. Namun perlu dipertimbangkan juga, bahwa pasar juga bisa jenuh dengan varian produk yang mulai seragam. Meskipun masih ada clothing yang mempertahankan ekslusivitas lewat skala produksi dan desain yang terbatas.

Ketika perkembangan fashion di Bandung menjadi komoditas industri, fashion bukan hanya bisa mempengaruhi angka perceraian seperti yang terjadi di jaman kolonial dulu, tapi banyak kepentingan kemudian terkait di dalamnya. Kondisi seperti ini, pada akhirnya menjadi konsekuensi dari sebuah pilihan manakala kebutuhan akan fashion yang semula didasari hobi dan kesenangan, berubah menjadi industri. Tapi percayalah, anak muda Bandung selalu tau bagaimana menemukan kesenangan itu. Bebaskeun we lah meh jongjon!

Tulisan ini pernah dimuat di majalah Jeune, 2004


Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah