Skip to main content

How To Get What You Want

Akhir-akhir ini saya banyak berpikir tentang apa yang sudah saya jalani dalam kehidupan saya. Sejak saya kecil sampai detik ini. Saya selalu bertanya-tanya, apakah saya telah mendapatkan apa yang saya inginkan? Tapi apa yang sebenarnya saya inginkan? Jika saya masih percaya bahwa keinginan itu seperti garis cakrawala, saat mendekatinya lima langkah, dia menjauhi kita sepuluh langkah, apa sebenarnya keinginan itu? Akankah dia benar-benar teraih? Bisa saya pegang? Tercapai seperti garis finish? Apakah keinginan itu sesungguhnya? Jika keinginan-keingan itu sesuatu yang bisa kita pilih, bagaimana dia bisa kita sebut sebagai sesuatu yang benar-benar kita inginkan? Kenapa selalu ada yang lebih kita inginkan dari pada yang lain? Dan mengapa kita merasa yakin bahwa itulah yang benar-benar kita inginkan? Is this what I want? Buat Macan_teman saya yang paling dia inginkan sekarang adalah menyelesaikan skripsinya lalu dirinya akan terbebas dari tekanan orang tua dan lingkungannya. Keinginan itu begitu kuat, karena ada target yang mengejar-ngejar dia: waktu yang sudah melampaui batas, omelan orang tua yang selalu dia dengar setiap hari. Mulai bangun tidur sampai mau tidur.

Target dan tekanan. Itulah yang seringkali membuat setiap orang menyerah pada sesuatu yang sebenarnya bukan keinginan dia yang sesungguhnya, tapi kemudian kerena tekanan dari semua orang yang bilang bahwa hal itulah yang harus jadi keinginannya, orang-orang seperti Macan, saya (pada saat tertentu), pasrah pada keadaan. Menjalani hal –hal semacam skripsi sebagai ‘sebuah’ keinginan, padahal kami tak pernah suka menjalaninya. Skripsi bukan keinginan tapi kewajiban. Atau skripsi bukan kewajiban tapi konsekuensi. Pertanyaan yang paling mendasar muncul: apakah ini yang saya inginkan? Bagaimana dia muncul sebagai sesuatu yang saya inginkan? Seringkali keinginan besembunyi pada ceruk hati yang paling dalam. Tersembunyi dan terselip di balik kewajiban-kewajiban dan rutinitas hidup. Keinginan seringkali terlihat seperti air yang berbentuk sesuai dengan wadahnya. Bagi para pendaki dan petualang, apa yang sebenarnya jauh lebih menyenangkan Apakah mencapai puncak Mount Everest? Atau perjalanan panjang mengahadapi badai salju, ancaman frozebites, buta salju, kekurangan oksigen, kemungkinan bertemu Yeti di perjalanan? Atau mungkin rasa lega ketika berhasil kembali sebagai satu-satunya anggota tim yang selamat? Saya ngga tahu. Antara proses mencapai dan pencapaian, seperti satu paket. Mungkin sama halnya dengan aksi reaksi, ada ying ada yang. Meski tidak juga selalu seperti itu. Sering kali setelah jauh berjalan, ternyata belum mendapatkan apa yang ingin dicapai, keburu cape, menyerah, atau ganti haluan. Lalu apa gunanya bersetia pada keinginan atau impian? Jika sampai detik terakhir, pencapaian itu hanyalah impian belaka? Revolution in everyday’s life Katanya, untuk dapat apa yang kamu inginkan, kamu harus setia sama keinginan atau yang jadi impian kamu. Ya, mungkin itu benar. Setidaknya saya sedang membutikan hipotesa itu. Katanya juga, jika kamu teguh dan pantang menyerah berusaha meraih impian-impianmu, seluruh alam semesta akan serta merta mendukungmu. Mmm.. yang ini butuh analisis lebih dalam untuk membuktikan kebenaran pernyataan itu.

Dari yang saya jalani, semua hal yang saya inginkan, ketika saya memang benar-benar menginginkannya dan menjalani apa yang saya inginkan, sesulit apapun dan semustahil apapun keinginan itu, ternyata selalu ada ‘pintu-pintu’ yang yang kemudian terbuka dan memberi saya jalan, seperti mempersilahkan saya untuk terus dan terus menerus berjalan sejauh saya bisa bersetia pada apa yang memang saya impikan dan saya cita-citakan. Banyak kejutan bersembunyi dibalik pintu-pintu yang kemudian terbuka. Dan ketika kita memilih salah satu dari pintu itu dan menapakinya, banyak hal berubah dalam hidup kita seringkali hanya dalam kedipan mata, satu kejadian yang hanya terjadi sekejap, tapi merubah arah dan kehidupan yang kita jalani.

Dan semuanya ngga bisa dikalkulasi, ngga bisa dihitung dengan pasti. Jika kita mengira bahwa kita bisa dengan pasti memiliki sesuatu, ternyata itu salah. Apa yang semula kita kira tak pernah bisa hilang atau berubah, ternyata bisa lepas kapanpun dan merubah segalanya. Kehilangan sama seperti kelahiran, merubah banyak hal memberi banyak kejutan dan warna dalam hidup kita setiap harinya. Lalu apa itu keinginan jika setelah kita dapatkan bisa saja hilang dan berubah tanpa kita sadari sebelumnya? Ya, kita memang ngga mungkin mendapatkan hal yang sama persis dua kali dalam hidup kita. Mmmm… sepertinya sesuatu yang kita inginkan dan kita dapatkan, rasanya tidak benar-benar seperti yang kita bayangkan. Mungkin itu juga sebabnya kebahagiaan dari semua pencapaian kita, tak ada sama rasanya. Kebahagiaan selalu datang dengan rasa yang berbeda-beda. Tapi pikirkan jika setiap hari, hidup yang kita jalani selalu berjalan dengan cara dan rasa yang sama, betapa membosankannya hidup kita. Betapa segala impian dan keinginan menjadi tak ada artinya.

Sesuatu yang kita impikan dan kita inginkan, pada saat dirasai sebagai pengalaman nyata akan selalu terasa berbeda. Itu sebabnya ada ungkapan, kenyataan tak seindah impian. Dan kebanyakan orang memilih mimpi daripada menjalani impian itu menjadi kenyataan. Seperti pedagang kristal pada kisah Sang Alkemis. Dia lebih memilih tetap bermimpi pergi ke tanah suci, daripada sungguh-sungguh pergi ke tanah suci. Padahal jika dia mau, dia bisa mewujudkannya kapanpun dengan semua uang yang dia miliki. Si penjual kristal beralasan, jika ia merubah mimpinya atau keinginannya jadi kenyataan, tak ada lagi yang tersisa dari mimpinya. Apa lagi yang harus dia mimpikan dan dia inginkan? Si pedagang kristal pikir, hidupnya akan berakhir, saat semua yang dia impikan berhasil dia capai. Mmmm, padahal keinginan manusia itu selalu tanpa batas. Satu tercapai, akan muncul seribu keinginan yang lain. Semakin kita menjalani banyak hal yang kita inginkan dan menjadikannya kenyataan, semakin banyak perbendaharaan kita mengenai rasa yang berbeda-beda itu dan semakin tumbuh subur keinginan-keinginan kita yang baru.

Pengalaman ini seperti tinta yang diteteskan pada air. Dia akan menyeruak, merubah, mengembang kedalam warna air yang bening. Sampai akhirnya berubah warna menjadi pekat dan tidak akan pernah menjadi bening kembali. Meski kita tidak mendapatkan pencapaian yang kita bayangkan, mungkinkah jejak perjalanan mencapai sesuatu itu, benar-benar bisa kita hapus? Karena kita punya banyak pilihan untuk hidup kita. Mau dibikin garing bisa, mau dibikin seru juga bisa. Setiap pintu yang kita pilih untuk kita masuki punya resikonya sendiri-sendiri. Kalau semua pilihan dan apa yang kita inginkan ternyata memang beresiko, mengapa takut memilih salah satunya dan menjalaninya? Toh semuanya pasti berubah meski kita akui atau tidak, revolusi dalam hidup kita selalu kita alami setiap hari. Jadi mengapa takut menjalani apa yang sesungguhnya kamu inginkan? 2/2/05 2:00 AM

tulisan ini untuk D-side, Free Magazine

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah