Skip to main content

Tommorow People Ensamble: "Eksplorasi tanpa Batasan"

SORE itu, (18/8) Selasar Sunaryo terlihat sibuk dari hari-hari biasa. Beberapa orang soundman tampak mempersiapkan soundsytem untuk pertunjukan "Jazz Merdeka: Gelar Karya Anak Bangsa", yakni pada malam harinya. Tak terkecuali Nikita Dompas, gitaris Tomorrow People Ensamble (TPE), terlihat sibuk dengan peralatan musiknya.

Saat disapa, Nikita menyambut dengan ramah dan mengajak ke rumah bambu, yakni sebuah guest house kecil di Selasar Sunaryo, untuk melakukan wawancara. Sementara Azfansandra Karim atau biasa dipanggil Adra, rhodes dan keyboardist TPE, telah menunggu kami. Sedang Elfa Zulhamsyah, drumer TPE, minta izin tidak bisa mengikuti wawancara. Zulham, biasa dia dipanggil, harus menyiapkan peralatan untuk check sound yang akan mereka lakukan satu jam ke depan.

Meski telah membaca penjelasannya di My Space TPE, mereka diminta menjelaskan kembali bagaimana TPE pada awalnya. Meski tampak sedikit enggan, Nikita dan Adra, tetap menjelaskannya persis seperti yang tertulis di halaman my space mereka. Berawal dari perjumpaan Nikita, Adra, Zulham, dan Indra Perkasa (double bass) pada sebuah workshop musik tahun 2001 di Jakarta. Sejak itu mereka berempat sering bermain sampai akhirnya sebuah nama Tommorow People Ensamble (TPE), resmi menyatukan komitmen mereka sebagai sebuah band pada awal 2003.

"Kita berharap, bisa bikin karya yang lebih maju. Kaya memotivasi diri kita sendiri untuk bisa berpikir lebih maju. Cuma without neglating the past. Jangan lupa untuk nengok ke belakang juga, tapi jangan lupa untuk bikin sesuatu yang baru juga di besok hari," ujar Adra, menjawab pertanyaan tentang mengapa mereka memilih nama Tommorow People Ensamble.

Dalam memainkan musik, mereka mengaku dipengaruhi oleh banyak musisi seperti Miles Davis, Nirvana, John Scofield, Brad Mehldau, The Cinematic Orchestra, Radiohead, Aksan Sjuman, Joni Mitchell, Led Zeppellin, ragtime to electro, Chopin to Trent Reznor, membuat TPE, enggan untuk dikategorikan sebagai band jazz, meski tidak dimungkiri, jazz memberi banyak pengaruh pula pada musik yang mereka buat dan mereka mainkan.

Dwi Cahyo Yuliman, koordinator Klab Jazz, sempat menyebut bahwa TPE adalah band jazz muda paling progresif saat ini. Ketika diminta komentarnya tentang sebutan itu, Nikita malah menanggapinya dengan tertawa geli. "Nilai progresifnya dari bentuk apa dulu? Kita cuma maenin apa yang kita pengen maenin aja sebetulnya. Cuma itu berarti publik yang menilai. Kita sih menyikapinya dengan super-santai," katanya.

Sementara Adra dengan gayanya yang tenang menimpali, "Mungkin karena ada unsur lain. Mungkin karena project-project sampingan. Mungkin itu tadi karena kita berangkat dari individu. Jadi kalo kita pergi ke mana pun, pulangnya bawa oleh-oleh dan pulangnya ke TPE," ujarnya.

Nikita menambahkan, jika orang-orang berpikir TPE progresif, mengucapkan terima kasih. Dia menyikapinya dengan senang dan tertawa. "Karena dalam niatan-nya juga nggak ada niatan, jadi yang paling progresif seperti yang mereka bilang juga. Kita masih muda, sih. Cobain aja apa yang bisa di-cobain. Ntar kalo udah umur 45 gitu, udah mikir saatnya untuk nggak terlalu banyak eksplor. Udah bisa stay di ekspresi seperti ini. Cuma, kan, arah pembentukan kita sebagai musisi dilakukan sejak sekarang. Jadinya susah juga untuk bilang kita maen apa. Cuma as a musician kita punya referensi yang banyak banget. Saya menyikapi hal itu, dengan merasa bersyukur banget, karena kita main bukan for the shake of jazz, tapi for the shake of music. Itu yang membuat kita nggak punya batesan apa pun," kata Nikita, yang mendalami kemampuannya bermusik di Institut Musik Daya, Jakarta.

Sebagai sebuah band, TPE sangat menyadari potensi individu masing-masing personelnya. Itu pula sebabnya, bagi mereka setiap individu di TPE berhak mengembangkan diri dengan terlibat di project-project lain di luar TPE. "Dari awal kita menyebut band ini sebagai rumah. Meskipun kita mau ke mana-mana, kita tetep punya rumah aja gitu. Meski pun kita ada project ini, project itu, meski kita bantuin siapa gitu, tetap aja pulangnya ke rumah. Mudah-mudahan bisa kaya gitu terus," kata Adra, yang pada akhir bulan Agustus ini, bersama rekannya Zulham, akan pergi ke Belanda untuk mendalami kemampuan bermusiknya selama empat tahun.

Bagi Adra, untuk meyakinkan orang-orang terdekat, seperti keluarga, akan pilihan kariernya sebagai musisi, tidaklah mudah. Adra yang sempat studi di bidang hukum ini, me-nganggap selama ini, profesi musisi belum dihargai dan diapresiasi sebagaimana mestinya. Banyak bakat di Indonesia, tetapi karena apresiasi dan penghargaan yang masih rendah, membuat banyak musisi harus berjuang lebih keras untuk bisa mendapat pengakuan. "Perguruan tinggi musik di Indonesia sebenarnya udah banyak, pengajarnya juga udah banyak, tapi pengakuan dari masyarakatnya sendiri yang masih kurang," katanya.

Bagi Nikita, apresiasi yang kurang inilah yang membedakan lingkungan bermusik di Indonesia dan di luar Indonesia, termasuk antusiasme dalam mengapresiasi bakat-bakat bermusik yang menurut mereka sangat berlebih di Indonesia. Padahal, kurikulum pendidikan musik di luar pun, tidak selengkap yang ada di Indonesia. Nikita merasa, pengembangan bakat bermusik ini yang paling penting adalah dukungan dari lingkungan yang paling dekat, yakni keluarga. "Sementara ini, penghargaan dalam bermusik lebih pada angka penjualan 1 juta atau 2 juta copy," ujarnya.

Eksistensi mereka dibangun secara serius sejak tahun 2004. Saat itu mereka mendapat kesempatan untuk bermain di Pondok Pinang Concert Practice, sebuah pusat seni kecil dimana mereka menggelar konser kecil setiap Jumat dan ber-jam session bersama musis-musisi lain. Indra Lesmana dan Aksan Sjuman, sebagai pencetus event tersebut, menjadi sosok penting dalam awal perkembangan karier TPE. Sejak itu, beberapa konser dengan musisi-musisi jazz lain mengasah kemampuan bermusik mereka. Seperti bersama Riza Arshad dalam tajuk Pasar Jazz, di Gedung Kesenian Jakarta, 2004; konser di Institut Musik Daya pada awal agustus 2004; Indonesia Open Jazz, Agustus 2004; tampil di Gelaran Jazzin the sky: Lov a Jazz, Bandung; Nusa Dua Internasional Jazz Festival 2004; Java Jazz Festival, Maret 2005; Parc Thursday Riot, Jakarta 2005.

Zulham, yang kemudian bergabung dalam wawancara menjelaskan, bahwa segmen musik mereka saat ini lebih banyak untuk anak muda. "Tambah lagi juga, ya kita kan usianya masih muda. Kita juga ngincer-nya, kan. Ya, banyak anak muda juga yang dengerin-nya yang keras-keras. Kalo dengerin jazz cuma sekilas-sekilas doang.. ya kalo kita bisa konekin.. ya kita konekin.. biar yang nonton yang muda-muda. Sejauh ini, lumayan juga sih, anak-anak muda, cukup suka dan mau nengok lah."

Kesan manggung

Pengalaman manggung yang paling berkesan bagi Zulham, yaitu saat Java Jazz Festival. "Java jazz kita nggak nyangka. Kita kan maen-nya di bawah orang, tuh kalo lewat cuma nengok. Sound-nya juga tabrakan di atas gitu, tapi pas kita maen, orang bener-bener liatin kita juga gitu. Kita seneng banget tuh dan sukses banget," katanya.

Nikita menimpali, soal suka duka mereka manggung. "Tapi kita juga pernah maen yang nonton cuma empat orang," ujarnya.

Bagi Nikita, ketika berada di atas panggung, itu salah satu bentuk kompromi mereka untuk berkomunikasi dengan penonton lewat karya-karya mereka. "Kita udah ada di panggung itu salah satu bentuk kompromi, mau turun dan perform memperlihatkan karya kita. Kalo enggak ya kita ngerem aja. Cuek aja di rumah gonjrang-gonjreng. Asyik sendiri. Bodo, suka apa kagak. Cuma begitu kita turun maen, kan, ya ada pertimbangannya lah."

Selain itu, TPE juga terlibat dalam penggarapan musik berkolaborasi dengan musisi lain, seperti Rieka Roeslan ketika menggarap album "Mata Ketiga", "OST Janji Joni", Sova album "Selayang Jingga", album kompilasi "Jazz Masa Kini". Sementara album perdana mereka baru saja rampung dan sedang dipersiapkan untuk promosi dan rilisnya. Album yang diproduksi sendiri dan atas biaya patungan seluruh personelnya. Album yang belum diberi titel itu berisi delapan nomor. Masing-masing personel menggarap dua nomor.

Mereka mengungkapkan, akan albumnya dipromosikan secara online di beberapa situs musik dan promosi door to door. "Tujuannya sih lebih ingin mendokumentasikan sih daripada menjual. Biar tahu, tahun ini kita udah berkarya sampai sejauh mana," jelas Indra.***

Tulisan ini dimuat di suplemen Kampus, Pikiran Rakyat, 24 Agustus 2006

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah