Skip to main content

"Lemparkan Sedikit Kepintaran, Karena Aku Ada di Tepi Jendela!"

Image by Yukimo Kayukawa

Aku pernah bermimpi mengalami nasib seperti Totto Chan alias Tetsuko Kuroyanagi, si gadis kecil di tepi jendela. Totto seringkali berdiri di tepi jendela kelasnya di saat jam pelajaran sekolah berlangsung hanya karena dia begitu penasaran dengan pengamen yang lewat di depan kelasnya, juga burung-burung yang membuat sarang di halaman sekolahnya. Juga ketika Totto begitu ingin tahu, bagaimana mungkin meja disekolahnya bisa dibuka dan ditutup, di mana murid-murid bisa menyimpan alat tulis mereka di dalam meja dan mengeluarkannya ketika mereka membutuhkannya. Totto membuka dan menutup, memasukan dan mengeluarkan penghapusnya dari dalam meja ke luar meja berulang-ulang. Sampai gurunya marah dan menganggap Totto anak nakal yang hanya mengganggu teman-temannya yang lain. Padahal, Totto sendiri benar-benar kagum dengan meja sekolahnya itu.

Mungkin kau pernah membaca kisahnya. Bagaimana Totto, si gadis kecil yang selalu ingin tahu banyak hal itu, bermasalah dengan sekolahnya. Sampai Totto harus berpindah-pindah sekolah berkali-kali. Untunglah Ibunya yang sangat pengertian itu menemukan Tomoe sekolah dasar yang dibangun Pak Kobayashi. Di situ Totto seperti benih yang tumbuh di ladang yang subur.

"Sekarang, mulailah dengan salah satu dari ini. Pilih yang
kalian suka." Begitulah anjuran Pak Kobayashi setiap kali pelajaran di mulai. Totto dan teman-temannya bisa mulai belajar dari pelajaran yang paling mereka suka. Pak Kobayashi, kepala sekolah yang begitu menghargai potensi murid-muridnya dan juga seorang pendengar yang baik. Pada hari pertama masuk sekolah, selama empat jam sang kepala sekolah dengan sabar mendengarkan Totto-chan bercerita tentang berbagai hal, tanpa menyela, apa lagi memotong ceritanya. Hingga akhirnya si Totto-chan kehabisan bahan cerita (hal 24-28). Seandainya di dunia ini banyak guru atau dosen seperti pak Kobayashi, tentunya sekolah akan jadi tempat yang paling menyenangkan dalam sejarah hidupku.

Sayangnya aku tidak mengalami hal yang sama dengan Totto. Sekolah seperti penjara. Dengan semua pelajaran yang kupikir tidak seharusnya kupelajari karena aku tidak menikmatinya. Sejak SD aku sangat membenci pelajaran matematika bagiku, matematika seperti sebuah penyiksaan dengan angka-angka dan mimpi buruk. Matematika menjadi sekedar rumus-rumus baku yang tidak dipahami logika berpikirnya. Belum lagi, guru matematikaku ketika SD dulu tak punya cukup kesabaran, galaknya minta ampun. Dia memukul tanganku dengan tongkat kayu jika aku tidak hapal hitungan perkalian. Matematika menjadi pelajaran yang traumatis dan sekedar hapalan. Rumus-rumus hanya hapalan sepintas kilas untuk menghindari pukulan tongkat guruku. Sementara pelajaran seni yang ku sukai tak mendapat perhatian guruku sama sekali. Imajinasi Sekolah Dasar mentok oleh visualisasi gambar pemandangan adalah dua gunung dengan matahari di tengah-tengahnya dan sawah di kiri kanannya. Lalu guruku akan memberi nilai pukul rata_tujuh, untuk gambaran pemandangan yang seragam.

Aku sendiri bersekolah di SD negeri biasa dengan fasilitas terbatas karena murid-muridnya berasal dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Sebagaian besar guru menjadikan kegiatan mengajar sebagai pekerjaan rutin dan bukan sesuatu yang mereka nikmati. Mungkin hanya wali kelasku di kelas tiga SD yang menorehkan kenangan manis selama enam tahun aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Namanya Ibu Ety, dia mengajar semua mata pelajaran di kelas tiga. Namun aku selalu senang jika dia memberikan pelajaran mengarang. Karena Ibu Ety selalu meminta murid-muridnya untuk menuliskan apa saja yang dialami dan rasakan. Dan tidak seperti guru kesenianku waktu SD yang menyeragamkan definisi pemandangan dengan gunung dan sawah. Hanya di kelas tiga lah aku boleh menggambar apa saja yang aku suka. Pemandangan tidak harus gunung tapi bisa apapun. Untuk kurikulum Sekolah Dasar Negeri, Ibu Ety meninggalkan kesan yang cukup menyenangkan. Dia tahu betul kapan murid-muridnya merasa bosan belajar berhitung dan kemudian dia akan mengajarkan permainan-permainan baru yang menyenangkan atau mengajak muridnya bernyanyi bersama. Sayangnya selama enam tahun di SD, hanya saat duduk di kelas tiga aku merasa sekolah adalah tempat bermain yang menyenangkan dan Bu Ety bagiku seperti Pak Kobayashi bagi Totto.

SMP, pelajaran yang harus dipelajari bertambah banyak. Dari mulai pelajaran bahasa asing, geografi, biologi sampai fisika. SMU lebih ‘parah lagi. Dengan penjurusan yang dipilih berdasarkan nilai, bukan potensi, minat dan orientasi ketika nanti memilih perguruan tinggi, semakin banyak saja pelajaran yang kemudian menjadi sia-sia karena tidak terpakai ketika duduk di bangku kuliah.

Pelajaran yang diajarkan di sekolah sejak aku SD menjadi sesuatu yang kaku dan penuh dengan dogma. Seolah-olah yang diajarkan di sekolah adalah harga mati. Tak bisa ditawar-tawar atau pun di bantah. Guru selalu benar dan hanya murid yang bersalah. Menerapkan disiplin berarti memberlakukan kekerasan dan ancaman untuk membuat murid-murid mematuhi perintah dan apa yang diajarkan.

Kondisinya sedikit berubah ketika aku duduk di bangku kuliah. Dunia kampus, dunia yang sangat berbeda untuk banyak hal. Aku malah merasa, seperti orang yang setelah terpenjara selama beberapa tahun, tiba-tiba bebas begitu saja. Aku jadi merasa hilang orientasi dan tujuan kenapa aku harus menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Segala macam disiplin yang begitu ketat, mengendur karena aku tiba-tiba disodori kebebasan untuk memilih. Untuk bidang ilmu social seperti yang aku pilih, mahasiswa dituntut untuk memahami persoalan dan mencari alternatif pemecahannya. Tapi kemudian aku merasa seperti dipaksa untuk menjadi dewasa tanpa dipersiapakan untuk menjadi dewasa. Akibatnya aku harus melakukan adaptasi dan penyesuaian yang cukup berat dengan dunia kampus. Dunia yang sama sekali baru untukku pada saat itu.

Aku merasa ada mata rantai yang hilang dalam siklus pendidikan formal yang aku alami. Dari pemilihan jurusan atau bidang kajianpun, seringkali didasari oleh pertimbangan pragmatis. Bukan atas dasar pertimbangan bahwa kita tau, apa yang ingin kita pelajari lebih dalam di perguruan tinggi. Tak heran, aku juga banyak teman-temanku yang lain mengalami gegar budaya dan juga intelektual menghadapi dunia baru ini. Banyak dari teman-temanku yang kemudian tak tahu apa yang sebenarnya mereka pelajari dan untuk apa semua itu. Tak punya tujuan dengan pendidikan yang sedemikian mahal yang dipelajari bertahun-tahun. Setidaknya tujuan yang paling mendasar: untuk apa sekolah. Akhirnya, tujuan yang paling mudah adalah demi IPK tinggi dan gelar kesarjanaan. Tak lebih dari itu. Karena gelar sarjana menjadi syarat untuk mendapatkan pekerjaan.

***

Aku teringat perbincangan Pippilotta Viktualia Gorden Tirai Permen Efraimputri Langstrump, alias Pippi si Kaus Kaki Panjang dengan ibu gurunya saat Pippi kawatir tidak diizinkan ikut pesiar karena dia tidak bersekolah. Pippi berkata pada bu guru: “ Tolong lemparkan sedikit mitamitiknya (Pippi menyebut matematika dengan sebutan mitamitik) keluar,” kata Pippi.
“Jangan banyak-banyak, asal cukup saja supaya aku bisa pesiar dengan sekolah. Dan kalau kau menemukan beberapa huruf baru tolong lemparkan juga sekalian untukku.”
“kau tidak ingin masuk sebentar?” ajak Bu Guru.
“Lebih baik tidak ah,” sahut Pippi jujur. Ia bersandar santai ke dahan pohon. “Nanti aku cuma pusing saja jadinya. Di dalam situ penuh sesak dengan kepintaran, sampai rasanya sulit sekali bernapas. Tapi mungkinkah dari segala kepintaran itu ada sedikit yang melayang keluar lewat jendela dan menempel padaku?” sambungnya penuh harap. “Tidak perlu banyak-sedikit saja, asal aku bisa ikut pesiar nantinya.”

Dari obrolan Pippi dan gurunya dalam kisah Pippi si Kaus Kaki Panjang, aku jadi berpikir, untuk apa kita mempelajari banyak hal, jika kita tidak tahu untuk apa semua itu? Dan apakah kita bisa menikmati kepintaran yang kita dapatkan? Seringkali semuanya lewat seperti saja seperti air di daun talas. Aku sendiri merasa semua rumus kimia dan fisika yang kupelajari di SMU dulu tak ada gunanya karena aku tak pernah bisa memahaminya. Aku tak pernah bisa membuat rumus-rumus itu nampak nyata dan memvisualisasikannya. Ya mungkin itu memang masalahku. Karena banyak juga teman-temanku di SMU dulu yang nampak dengan mudah bisa mengerti rumus-rumus fisika, matematika dan kimia itu dengan baik.

Pertanyaan yang sering muncul di kepalaku pada saat itu adalah ‘mengapa aku harus mempelajari semua pelajaran ini? Padahal aku sendiri tak pernah bercita-cita untuk menjadi ahli kimia, fisika atau matematika. Mungkin aku seperti Pippi yang hanya membutuhkan sedikit saja untuk bisa menikmati kepintaran yang kuperoleh untuk menemukan cara menikmati kehidupanku. Karena setelah lulus dan menjalankan pekerjaan yang aku sukai, semua teori yang aku pelajari di bangku sekolah, tak banyak membantu. Yang justru banyak sekali berguna, adalah proses yang pernah kualami ketika berdadaptasi dengan berbagai persoalan ketika mau tidak mau belajar menjadi dewasa. Melihat persoalan dari kemungkinan lain.

Orang bijak bilang, pengetahuan dan semua teori yang kita pelajari di lembaga pendidikan formal, seperti sayuran mentah di atas meja. Bisa saja dia dimakan mentah-mentah, tapi rasanya tidak akan maksimal dan tak akan jadi makanan yang menarik dan enak untuk dinikmati. Tapi ketika sayuran itu diolah, dengan resep masakan yang tepat, pengalaman memasak, kesabaran dan ketekunan untuk menjalani prosesnya, ketika matang, sayuran itu akan jadi hidangan yang nikmat untuk disantap. Tapi seringkali menemukan resep masakan yang pas yang sesuai dengan sayuran yang ada, tak semudah yang dibayangkan.

Mencari resep masakan yang pas, sama halnya seperti menentukan tujuan hidup dari setiap tindakan yang kita lakukan. Sulit. Bahkan prosesnya seringkali menyakitkan. Karena di sekolah kita tak pernah diberi tahu bagaimana menemukan tujuan dari apa yang kita pelajari. Di sekolah kita hanya diajari bagaimana menjadi pintar dengan ukuran nilai bagus, rangking teratas dan lulus ujian. Sekolah lupa mengajarkan tujuan dari semua yang kita pelajari dan bagaimana cara menemukan tujuan itu dan memahaminya. Akhirnya tidak sedikit orang yang menempuh pendidikan tinggi sampai jenjang S3 dan tak tahu apa yang harus dia lakukan dengan semua ilmu yang dia pelajari. Ya kamu bisa saja menganggap aku terlalu menyederhanakan persoalan. Semua orang tahu, sekolah bukan jaminan untuk menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang muncul dalam kehidupan kita. Jika sekolah membentuk cara pandang dan cara berpikir terhadap banyak persoalan, tentunya sekolah juga memiliki peran yang penting dalam membentuk pola pikir individu dalam melihat persoalan-persoalan hidupnya. Karena aku percaya, semua ilmu pengetahuan yang kita pelajari, tumbuh seperti pohon sama halnya seperti diri kita. Dan lingkungan dimana kita hidup, seperti lahan yang menentukan apakah pohon itu akan tumbuh subur atau tidak.

Pippi si Kaus Kaki Panjang pernah berdebat dengan Thomas dan Anikka sahabatnya ketika mereka mengunjungi negeri Taka-Tuka.
“7X7=102. Asyik kan?” Pippi menjelasakan soal mitamitik pada Momo seorang anak hitam di negeri Taka-Tuka. Namun penjelasan Pippi itu dibantah Anikka.
“Itu tidak betul hasilnya bukan 102.”
“Itu salah, karena 7X7=49,” timpal Thomas.
“Ingat, kita sekarang di negeri Taka-Tuka,” Kata Pippi. “Di sini segala-galanya lain. Pulau ini sangat subur. Jadi di sini 7X7 hasilnya jauh lebih banyak.”

Bagaimana mungkin aku memberikan jawaban seperti yang dikatakan Pippi, ketika guru matematikaku yang super galak itu, bertanya: ‘hey tarlen, berapa 7X7?’ tak mungkin aku menjawab: ‘hari ini 7X7=29, karena ibu saya sedang tak punya uang. Ngga tahu besok, mungkin 7X7= 98 karena ibu besok gajian dari kantornya.’ Aku yakin yang dilakukan guruku ketika mendengar jawaban seperti itu adalah tongkat kayu yang kembali melayang memukul tanganku karena guruku tak bisa mengerti kenapa aku menjawab seperti itu dan menganggap aku anak nakal yang ingin mempermainkan dirinya. Begitulah, sekolah tak memberi kemungkinan lain dari sebuah jawaban. Semuanya seringkali sudah di tentukan. 7X7 ya 49. Tak ada kemungkinan lain yang bisa membuat 7X7 jadi 29, 98, atau 102.

Muncul pertanyaan, buat apa sekolah? Jika tidak ada satu hal yang pasti yang bisa dipelajari? sekolah yang sedemikian mahal, tidak banyak memberikan apa-apa selain selembar ijasah dan gelar kesarjanaan. Anggapan lama yang termuat dalam Encyclopedia Britannica yang terbit tahun 1952 mengatakan, bahwa tujuan dari pendidikan adalah membesarkan anak-anak untuk mengikuti jalan dan tradisi orang tua mereka untuk meraih kesuksesan yang sama. Orang tua dalam masyarakat menginginkan anak-anaknya memiliki nilai-nilai yang sama dengan mereka. Namun pandangan seperti ini banyak diprotes, karena tujuan pendidikan tidak menjawab pertanyaan, bagaimana dengan anak-anak yang lahir dan tumbuh besar dari orang tua yang gagal dalam pandangan masyarakat? Tentunya mereka tak masuk hitungan karena tak sesuai dengan tujuan pendidikan yang diyakini banyak orang. Meski pun banyak pihak yang kemudian merevisi tujuan pendidikan dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang menghargai anak-anak sebagai seorang individu yang berhak membuat menentukan pilihannya sendiri, namun tetap saja, anggapan lama masih kuat melekat dalam benak banyak orang.

Sehingga banyak terjadi pada teman-temanku yang berasal dari keluarga dan orang tua dengan kedudukan social yang tinggi, mereka justru sulit memutuskan jalan hidup mereka sendiri. ‘Penindasan’ yang dialami menjadi dua kali lipat. Pertama oleh sekolah yang mengajarkan nilai-nilai yang kaku dan sepertinya tak bisa di tawar. Kedua, orang tua dengan alasan menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, justru malah menutup segala kemungkinan dan perspektif yang berbeda yang bisa dipilih oleh anak-anak mereka. Sementara kebalikannya, teman-temanku yang berasal dari keluarga pas-pasan lebih memiliki keleluasaan untuk menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya. Keterbatasan ekonomi, justru membuat alternatif penyelesaian masalah menjadi lebih banyak. Dalam arti semangat untuk memperbaiki kehidupan menjadi lebih baik, jauh lebih besar. Pilihannya: kamu bisa tetap miskin, atau bekerja keras dan menjadi kaya. Setelah kaya kamu bisa melakukan banyak hal yang kamu suka.

Ibuku sendiri pernah menjadi sangat fasis. Ketika dia tak bisa menjawab pertanyaan anak-anaknya, yang dia lakukan bukan mencoba mencarikan jawabannya, malah melarang anak-anaknya bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri. Tak heran saat beranjak remaja aku seringkali bentrok dengan ibuku, karena aku sering berbeda pandangan dengannya. Setiap hal yang dia perintahkan padaku, selalu ku pertanyakan. Aku sendiri pasti bukan aku saja yang mendapatkan masalah, ketika mencoba mencari ‘kemungkinan-kemungkinan lain’ itu. Pasti banyak juga dari kalian yang mendapatkan masalah, ketika memberikan jawaban mengejutkan atas pertanyaan guru kalian. “curiosity kill the cat”.

Banyak orang tak siap dengan jawaban, padahal rasa ingin tahu adalah naluri setiap orang. Manusia tak bisa membunuh pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam dirinya. Karena rasa ingin tahu, peradaban manusia berubah. Banyak penemuan-penemuan yang merubah dunia terjadi. Semua berawal dari rasa ingin tahu. Jangan pernah membunuh pertanyaan ketika sekolah justru membuatmu harus berhenti bertanya. Simpanlah terus pertanyaan-pertanyaan itu dalam dirimu, karena hidupmu akan lebih bermakna karenanya. Bagiku, sekolah bukan hanya tempat di mana aku akan mendapatkan selembar ijasah dan gelar. Sekolah adalah hidupku sendiri. Begitu banyak hal dalam hidupku yang bisa aku pelajari. Aku bisa berdiri di depan jendela seperti Totto, melihat banyak hal lain di luar sana yang bisa kupelajari. Atau seperti Pippi yang memilih menerima sedikit saja kepintaran dari doktrin sekolah, dan belajar dari kehidupan. Apa yang aku dan kamu lihat, rasakan dan jalani adalah guru hidup yang membuat hidup kita menemukan maknanya.

tulisan ini untuk outmagz edisi sept 05

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa