Skip to main content

Ya Sudahlah, Lupakan!

(Aku Hanya Ingin Memanggilmu Bapak)


artwork: Agus Suwage

Kau yang duduk di sudut itu duduk dalam temaramnya sinar kuning lampu gantung dan bangku kayu di sudut ruang bertembok putih kusam, menanti teman tuamu, tempat dirimu berbagi sekarang. Dua jam menunggu dalam janji jumpa tepat waktu dalam semangat berbagi duka. Gelisah berpacu dengan waktu yang membawa malam. Segelas Ekspresso dan Risso de Polo tak lagi menggelitik lidah dan menghibur dirimu. Malah jejak rasa mual naik ke kerongkongan berlomba dengan gelisah yang kian sangat, berharap dirinya segera datang menjumpaimu. Seresta mengalun dari speaker yang tergantung disudut-sudut ruangan. Denting banjo Bela Fleck dan lengking harmonica Howard Levi, mengantar kelanamu, melalang menyusuri arti dirinya dalam hidupmu kini.

: Semua ini hanya ilusi
Semua ini hanya obsesi
Tentang sosokmu dalam hidupku
Imajiku tentangmu. Menggedor-gedor relung jiwaku. Lamat-lamat semakin dekat. Dirimu menari di ruang khayalku. Membuai. Tentang bapak yang kucari darimu. Tentang kenangan dalam kisaran waktu yang kini ingin kuhadirkan kembali.

Menarilah dikau dalam sentimentalitasku. Semburat senyummu memberi darah baru, ketika jiwa terlalu lelah bangkit dari puing-puing kehancuran. Sapamu menyiram luka, dalam lantunan nada yang sama yang dulu pernah menyirami ranting-rantingku. ‘Tumbuhlah jiwa baru, manisku: kematian bukanlah akhir. Kematian adalah kehidupan yang dilahirkan kembali.’ Kau memupuk harapanku. Mengubur duka laraku.Maka ku kan berhenti menangis. Keluh kesah hilang bersama hatiku yang menggelembung, ditiup lembut tutur sapamu.

Menarilah dikau dalam kenanganku Kedamaian yang kau tawarkan, sebening mata air merambati lorong kerongkonganku yang kering. Hingga kupuaskan dahaga rindu bapak dari dirimu. Bawalah ruang hampaku bersamamu. Ayunkan kemanjaanku dalam senyum bijakmu. Berputarlah wahai kau ‘bapak’, bawakan kembali tarian itu, hantarkan aku dalam waktu, menembus kerinduan pada orang sepertimu. Orang yang pernah ku panggil bapak.

Menarilah dikau dalam kelanaku. Temani aku melalanglang jauh, menggapai mimpi membangun istana nyata. Gantikan ia dengan kasihmu. Baluri aku dengan doamu.bekali aku dengan pengertianmu: tentang sebuah dunia luas berwarna-warni. Mendekatlah padaku. Mendekatlah. Rengkuh diriku, dalam mimpi buruk kelanaku, ketika lelaki tua yang pernah kupanggil bapak, tak lagi hadir menemaniku. Lindungi aku dalam bayangmu. Berikan tanganmu, genggam erat diriku kini disaat ku tak mampu menarikan hidup dalam putaran waktu, sementara waktu telah memulainya. Seperti yang pernah kau katakan: “jalanmu masih panjang manisku, kau harus kembali mulai melangkah. Tempaan menghadangmu di depan, kau harus siap menghadapinya . karena itulah sebenarnya hidup, bertemu para pandai besi yang akan menempamu, membentukmu, menjadikanmu berguna.”kau benar bapak, lelaki yang ingin kupanggil bapak. Perjalananku yang masih teramat panjang. Jangan biarkan aku patah dan berhenti di tengah jalan. Berikan tuntunanmu, manakala ku tahu ku tersesat. Tularkan jiwa senimu manakala ku harus mewarnai hidup, biar ku dapatkan sebuah lukisan indah tentang hidupku.

Menarilah dikau dalam batinku. Rambati aku dengan kesejukan. Pada saat jiwa terasa kering. Mendamba figur yang dapat kuraih manakala ku berduka. Bantulah aku mencari jawab tentang makna yang memberi arti dalam hidupku. Redakan galau masa mudaku. Beri aku kekuatanmu, manakala seisi dunia menganggapku tak mampu melepaskan diri dari bayang lelakiu tua yang pernah ku panggil bapak. Hanya itu yang kuinginkan darimu. Menutup album kenangan seorang lelaki yang pernah kupanggil bapak. Lepaskan aku dari bayangnya. Dan mencari makna spiritualitas bapak lewat kamu, lelaki yang ingin kupanggil bapak.

Semua ini hanya mimpi
Semua ini hanya semu
Tentang dirimu menjadi bapak dalam hidupku

Ku kan tau waktu mengobati semua luka. Ketika waktu jua yang mempertemukan kita dalam sebuah kebetulan yang menyenangkan. Di ruang ini setengah tahun yang lalu, di saat kita sama-sama bersuka merayakan perjumpaan kembali kawan lama kita. Kau hadir sebagai tetua yang tahu bagaimana membahagiakan anak-anak muda seperti kami. Keramahanmu dan keinginanmu untuk mau mendengar cerita-cerita kami, kau mau tertawa untuk kekonyolan kami, kau mau mengerti kebandelan kami. Kau membuatku terharu, karena kau sama seperti lelaki yang pernah kupanggil bapak. Kau yang nampak jauh lebih muda dari usiamu, menggelitik kenanganku akan kebaikan seorang bapak. Meski kau cukup pantas untuk digoda dan juga menggoda sosok yang mendambakan figur matang seperti aku. Lalu kita sesekali bertemu, memuaskan kerinduanmu akan kerenyahan orang-orang muda dan aku memanfaatkan kemudaanku sambil menyelami sosok kebapakanmu. Menafsir-nafsir setiap kata-katamu dalam frame bapakku yang dulu.
Lantas, dirimu belakangan menguasai jagat khayaliku, menjadi arsitek, membangun kepingan bapak dalam diriku. Meski kau nyata, bangun seorang bapak dalam diriku, semu belaka. Kau ada, tapi bukan untukku. Aku hanya bisa menangkap bias-bias bayangmu. Dan memungut remah-remah kebapakanmu yang memberiku tenaga manakala waktunya terbang bebas telah tiba.

Menarilah dikau dalam tawaku. Setelah duka itu berlalu. Setelah tawa mengembang bersama kenangan tentang bapakku. Ketika bisa kuceritakan kisah-kisah kebapakannya padamu tanpa aku perlu menangis. Karena kau akan tertawa-tawa menyadari bahwa kalian para bapak kadang-kadang berbuat hal-hal konyol di saat waktu beranjak dalam hitungan setengah abad. Tutuplah album kenanganku, lalu kita berputar dan berputar, menari dan tertawa, seraya menyongsong waktu yang menempa hidup. ‘Hapus air matamu, hidup bukan untuk ditangisi tapi tertawakanlah ia, selagi kau bisa terwakan hidup dan kehidupanmu. Kau akan merasakan, ringannya ayun langkahmu, dan kau bisa berputar dan terus berputar, menarikan tarian hidup.’

Menarilah . Ayunkan kaki bersama. Lambungkan aku jauh dalam angan, tembuslah batas lukaku. Lepaskan aku dalam pasak dan talimu hingga ku kan terus berputar seperti gasing mencari hakikat makna seperti para Darwin yang tak lelah untuk terus berputar dan berputar. Tepuki aku bilaku menari dengan baik. Karena ku tahu hanya itu yang bisa kau lakukan: menonton di tepi panggung. Memberi jarak di antara kita dan membiarkanku untuk mampu menari sendiri.

Semua ini angan
Semua ini hanya rindu
Tentang sosokmu dalam hidupku
Yang kucari bapak
Mungkin itu ada dalam dirimu
Tapi kau bukan bapakku
Yang dulu pernah hidup dan juga kupanggil bapak
Yang sosoknya tak bisa tergantikan, bahkan olehmu

Kemudian, waktu mendekati tengah malam dan dirinya tak kunjung hadir menjumpaimu. Seresta usai. Kau memutuskan untuk bangkit melepaskan aura ruangan bergaya country Itali dan membebaskan diri dari sudut favorit, sobat tuamu. Meninggalkan Ekspresso dan Risso de Polo yang habis setengah. Lalu memberi maaf pada waktu yang terbuang juga rasa kecewamu.

: Tapi ya sudahlah. Lupakan
Aku hanya ingin memanggilmu bapak.

Gudang Selatan, 5 Juli 2001
(Aku hanya ingin memanggilmu bapak)

Tulisan ini ditulis berdasarkan irama lagu Seresta
Howard Levy & Manfredo Fest
Bela Fleck & The Flecktones
UFO TOFU

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa...

Mencintai Lelaki Beristri

Foto karya Roy Voragen Satu hal yang harus kamu pahami, ketika berhubungan dengan lelaki beristri, kamu harus rela. Rela menjadi nomer kesekian. Rela menjadi bukan prioritas. Rela menerima sisihan waktu. Rela menerima label pengganggu rumah tangga orang lain. Rela memberi maaf atas semua alasan yang harus kau terima, saat si lelaki itu tak bisa menepati banyak hal yang ia janjikan padamu. Rela atas banyak hal. Rela atas semua resiko, ketika kau tau, lelaki yang kau cintai adalah lelaki dengan status NOT AVAILABLE alias Suami orang, alias bapaknya anak-anaknya. Tentunya kau akan dituduh cari gara-gara, cari penyakit, parahnya perempuan ga bener, perempuan gatal, ketika kau lebih memilih mencintai lelaki beristri daripada lelaki lajang untuk kau kencani. Tapi kau juga bisa membela diri, siapa yang bisa melarang perasaan cinta yang datang? Kerelaan ini, termasuk juga ketidak pahaman lingkungan ketika dalam hubungan itu,ketika kau berusaha keras menjaga dengan susah payah batas terjauh dar...