Skip to main content

All The King's Men (2006)

****

Sean Pean + Jude Law + Anthony Hopkins+Kate Winslet yeah plus James Gandolfini. Dari deretan nama pemainnya aja, udah bisa karakter tokoh-tokoh di film ini seperti apa. Cuma porsi James Gandolfini di film ini kerasa mengganggu karena ga utuh. Huuh.. susah deh menikmati James di film-film dia yang lain, pikiranku udah sedemikian kuat terbentuk oleh karakternya sebagai Tony Sopranos.

Film yang disutradarai oleh Steven Zailian ini, berkisah tentang politisi lokal_ Willie Strak_ yang dengan kenaifannya merangkak naik sampai ke kursi gubernur lousiana. Kisah yang diangkat dari novel karya Robert Penn Warren ini menampilkan Willie Strak sebagai politisi yang anti orang-orang kaya. Dalam propaganda politiknya, dia selalu mendeklarasikan pertentangannya dengan golongan kaya dan membela kaum miskin. Di film ini, aku jadi berpikir, rasanya politisi yang memposisikan diri secara ekstrem mebela kaum miskin itu seperti utopia belaka dan akhirnya itu bukan pilihan yang tepat untuk seorang politisi.

Ada perkataan menarik yang diucapkan Jack Burden (Jude Law), jurnalis The Cronicles dalam narasi pembuka film ini: "To find something, anything a great truth or a lost pair of glasses, you must first believe there will be some advantage in finding it... and sometimes a man can want something so bad, be so full of want he plain forget what it is he want.."

Yeah.. aku susah berkomentar banyak tentang film ini.. tapi buatku film ini cukup keren.. o ya kenapa karakter Tiny Duffy (James Gandolfini) terasa ga utuh, di awal dia muncul sebagai sosok yang begitu powerfull, tiba-tiba di tengah-tengah di hilang dan muncul sesekali. Lalu diakhir dia muncul lagi sebagai orang yang mengambil keuntungan paling besar dari kenaifan strak.. Mmm..

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah