Skip to main content

In The Mood For Love (Fa Yeung Nin Wa, 2000)

* * * 1/2

Beberapa kali aku minjem film ini tapi ga pernah kesampaian untuk ku tonton. Akhirnya baru sekarang setelah aku menemukan boxset Wong Kar Wai di perpus Ngadinegaran. Yah, kebeneran ku tonton aja daripada waktu istirahat berlalu begitu saja.

Mmm.. ga tau kenapa aku tu suka gemes nonton film-filmnya Wong Kar Wai, termasuk film ini. Kar Wai tuh paling jago mempermainkan hasrat terpendam tokoh-tokohnya. Tarik ulur gairah.. saling menahan, tapi pada satu titik dilepaskan begitu saja dengan liar.

Berkisah tentang dua pasangan suami istri yang hidup bersebelahan. Mrs. chan (Maggie Cheung) dan Mr. Chow (Tony Leung). Kehidupan rumah tangga keduanya bukanlah kehidupan rumah tangga yang harmonis. Sampai kemudian Mrs. Chan dan Mr. Chow ini menjadi saling mengisi. Sampai pada satu titik, ikatan emosional yang intens itu harus diakhiri, karena bagaimana pun hubungan perselingkuhan kalau kata cicik rani adalah jalan buntu. Selalu mentok.

Sebenernya film ini ceritanya seperti cerita perselingkuhan pada umumnya, tapi yang membedakan dari setiap film-film seperti ini adalah kemampuan sutradara dan para pemainnya mempermainkan intensitas emosi, tarik ulur hasrat terpendam itu..Wong Kar Wai jagonya deh..

O ya satu hal yang sering bikin penonton merasa ikut ditarik ulur juga adalah dari detail-detail yang ditampilkan Wong ketika ia ngeshoot bagian-bagian dari ruangan, ekspresi tokohnya yang ia shoot dari balik gordyn, detail pegangan tangan.... ngajak penonton mengintip keintiman itu. Pola yang sama bisa kita lihat juga di 2046.

Sesuai dengan judulnya film ini bisa bikin yang nonton in mood for love...

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah