Skip to main content

The Pursuit of Happyness (2006)

* * *

Will Smith emang luar biasa. Sejak Prince Fresh of Bell Air, dia menunjukkan bakat aktingnya yang lumayan. Namun di film inilah, bakat akting yang sesungguhnya dia munculkan.

Sebuah film drama yang diilhami oleh kisah nyata, kehidupan seorang milyuner Chris Gardner (Will Smith) yang berjuang untuk meraih kesuksesannya. Film-film seperti ini memang selalu inspiratif dan menyentuh. Namun bagiku yang sangat istimewa adalah akting Will Smth yang menyentuh penontonnya dengan cara dia mencari kebahagiaan atas kesuksesannya itu. Dan bagiku film ini bener-bener bisa ngajak penontonnya merasakan bagaiamana karakter Chris Gardner berproses menemukan kebahagiaannya. Di akhir film aku ikut merasakan kelegaan yang membahagiakan itu. Kisah ini juga membuktikan tentang apa yang disebut orang tentang impian Amerika. Meski pemerintahan Amerika menyebalkan, namun negara itu memberi kesempatan pada warganya untuk mewujudkan impian jadi kenyataan dengan kerja keras. Hari ini kamu jadi gelandangan, 10 tahun lagi kamu bisa jadi pengusaha sukses dengan aset milyaran dolar. Kita ga bisa menyangkal, kalo Amerika memang memberikan kesempatan sukses itu pada warganya yang mau bekerja keras.

Dengan setting tahun 1981, Cerita berfokus pada Chris Gardner. Dalam hidupnya dia melakukan banyak ketololan-ketololan yang membuatnya harus berpisah dengan istri tercintanya, karena masalah ekonomi. Dengan tololnya dia membeli selusin alat scaner untuk dokter gigi lewat e-bay. Chris pikir, ia akan mudah menjual kembali alat itu dan mendapat keuntungan. Namun ternyata menjual satu pun, butuh perjuangan keras. Kebutuhan hidup yang semakin mendesak, membuat si istri, Linda (Thandie Newtow) tak tahan lagi dengan semua keoptimisan Chris bahwa ia mampu menjualnya. Dengan berat hati, Linda meninggalkan Chris dan Christopher Junior, untuk mencari kerja yang lebih baik di New York. Tinggallah Chris dan Chris Jr, berjuang mencapai bahagia yang ia inginkan.

Sampai kesempatan magang di sebuah kantor pialang saham, ia dapatkan. Namun, bukannya tanpa perjuangan. Karena Chris harus bersaing dengan banyak kandidat lain yang juga berjuang menjadi pialang. Dengan perjuangannya yang luar biasa (dan tanpa dilebih-lebihkan) Chris akhirnya mendapatkan kesempatan itu.

Sebenarnya, dari segi cerita dan teknis penggarapannya, film ini sangat biasa dan sederhana. Jangan berharap metafor-metafor yang berat dari visualisasi yang ditampilkan. Kesederhanaannya, justru jadi kelebihan film ini, sehingga sangat mudah di cerna dan diikuti jalan ceritanya. Yang membuat film ini istimewa, justru akting Will Smith dan Jaden Smith (anak laki-laki Will Smith yang ikut berperan sebagai Chris Jr.). Bapak dan anak beradu akting. Dan Jaden telah menunjukkan bakat akting yang ia warisi dari ayahnya. Jadinya karakter ayah dan anak yang mereka perankan, terasa begitu alami, wajar dan sangat kuat. Will Smith yang dikenal sangat menyangi keluarga dan anak-anaknya ini, terasa sangat menikmati perannya. Sehingga baik Will maupun Jaden terasa sangat nyaman memerankan karakter dalam film ini. Kekompakan yang mereka munculkan, kekompakan yang sangat kuat dan emosional. Aku beneran terkesan sama akting mereka.

Yang tak kalah mengesankan juga adalah keoptimisan dan sikap pantang menyerah yang ditunjukan chris untuk mencapai perjuangannya. Padahal apa yang Chris perjuangkan adalah hidup hari ini. Namun ia memperjuangkannya sebaik mungkin yang bisa ia lakukan. Dan ia sama sekali tidak menyerah ketika hari esok terasa bagai keniscayaan baginya.

“Jangan biarkan orang lain mengatakan bahwa kamu tidak mampu.” Bukan hanya seorang Chris Gardner yang mampu membuktikan bahwa ia bisa membangun kantor pialang sahamnya sendiri dan beraset jutaan dolar, namun Will Smith pun membuktikan bahwa ia mampu memerankannya.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...