*****
“if you want to be understood... listen”
Ada perasaan nyesek, setelah menyaksikan film terbaru garapan Alejandro Gonzales Innarittu. Film ketiganya yang menurutku, semakin subtil. Intensitasnya tidak lagi seperti Amores Perros yang memaksa penontonnya menyimak. Setiap kepingan kisah yang dia susun dan terikat rapi dalam moment peristiwa sama yang menyatukan tokoh-tokohnya. Babel, justru mengajak penontonnya merasakan. Mendengarkan sekaligus menyimak.
Mengambil setting di tiga benua: Afrika Utara (Maroko), Asia Timur (Tokyo, Jepang) dan Amerika (wilayah perbatasan Amerika dan Mexico), Inarritu mencoba berkata tentang persoalan yang jauh lebih besar daripada 21 Grams dan Amores Perros. Maroko seolah menjadi simbol stereotipe terorisme yang selama ini selalu diterakan pada negara-negara timur tengah. Tokyo, Jepang menjadi simbol moderenitas yang hiruk pikuk. Ada interaksi dan rapiditas dalam setiap pertemuan, tapi seringkali penghuni-penghuninya seperti di ‘mute’ tak bisa mendengar apapun, sekaligus tak bisa mengatakan apapun. Semua bergerak cepat dan kesenyapannya. Dan mexico, tanah leluhur innarittu yang tetap saja bagi orang-orang Amerika Serikat, tak punya suara untuk membela hak-hak mereka. Innarittu seperti sedang menarik nafas panjang, dalam perenungannya lewat moment-moment kritis dalam diri tokoh-tokohnya. Dalam kompilasi ‘09’11’01 innarittu memilih jujur pada kebingungannya, pada ketidak mengertian dan keputus asaannya pada peristiwa 9/11. Sedang Babel, seperti "silence fter the storm." Inarittu seperti hendak mencari titik terang dari ketidak berdayaan setiap tokoh tokohnya.
_________
Aku jatuh hati pada Inarittu, ketika melihat Amores Perros. Sejak itu, aku tak pernah melewatkan karya-karyanya. Bagiku, Inarittu adalah sutradara yang mampu membuat aktor-aktornya menangis dengan penuh kejujuran (that's why they look very very sexy...).
“if you want to be understood... listen”
Ada perasaan nyesek, setelah menyaksikan film terbaru garapan Alejandro Gonzales Innarittu. Film ketiganya yang menurutku, semakin subtil. Intensitasnya tidak lagi seperti Amores Perros yang memaksa penontonnya menyimak. Setiap kepingan kisah yang dia susun dan terikat rapi dalam moment peristiwa sama yang menyatukan tokoh-tokohnya. Babel, justru mengajak penontonnya merasakan. Mendengarkan sekaligus menyimak.
Mengambil setting di tiga benua: Afrika Utara (Maroko), Asia Timur (Tokyo, Jepang) dan Amerika (wilayah perbatasan Amerika dan Mexico), Inarritu mencoba berkata tentang persoalan yang jauh lebih besar daripada 21 Grams dan Amores Perros. Maroko seolah menjadi simbol stereotipe terorisme yang selama ini selalu diterakan pada negara-negara timur tengah. Tokyo, Jepang menjadi simbol moderenitas yang hiruk pikuk. Ada interaksi dan rapiditas dalam setiap pertemuan, tapi seringkali penghuni-penghuninya seperti di ‘mute’ tak bisa mendengar apapun, sekaligus tak bisa mengatakan apapun. Semua bergerak cepat dan kesenyapannya. Dan mexico, tanah leluhur innarittu yang tetap saja bagi orang-orang Amerika Serikat, tak punya suara untuk membela hak-hak mereka. Innarittu seperti sedang menarik nafas panjang, dalam perenungannya lewat moment-moment kritis dalam diri tokoh-tokohnya. Dalam kompilasi ‘09’11’01 innarittu memilih jujur pada kebingungannya, pada ketidak mengertian dan keputus asaannya pada peristiwa 9/11. Sedang Babel, seperti "silence fter the storm." Inarittu seperti hendak mencari titik terang dari ketidak berdayaan setiap tokoh tokohnya.
_________
Aku jatuh hati pada Inarittu, ketika melihat Amores Perros. Sejak itu, aku tak pernah melewatkan karya-karyanya. Bagiku, Inarittu adalah sutradara yang mampu membuat aktor-aktornya menangis dengan penuh kejujuran (that's why they look very very sexy...).
Comments