Skip to main content

Babel (2006)

*****

“if you want to be understood... listen”

Ada perasaan nyesek, setelah menyaksikan film terbaru garapan Alejandro Gonzales Innarittu. Film ketiganya yang menurutku, semakin subtil. Intensitasnya tidak lagi seperti Amores Perros yang memaksa penontonnya menyimak. Setiap kepingan kisah yang dia susun dan terikat rapi dalam moment peristiwa sama yang menyatukan tokoh-tokohnya. Babel, justru mengajak penontonnya merasakan. Mendengarkan sekaligus menyimak.

Mengambil setting di tiga benua: Afrika Utara (Maroko), Asia Timur (Tokyo, Jepang) dan Amerika (wilayah perbatasan Amerika dan Mexico), Inarritu mencoba berkata tentang persoalan yang jauh lebih besar daripada 21 Grams dan Amores Perros. Maroko seolah menjadi simbol stereotipe terorisme yang selama ini selalu diterakan pada negara-negara timur tengah. Tokyo, Jepang menjadi simbol moderenitas yang hiruk pikuk. Ada interaksi dan rapiditas dalam setiap pertemuan, tapi seringkali penghuni-penghuninya seperti di ‘mute’ tak bisa mendengar apapun, sekaligus tak bisa mengatakan apapun. Semua bergerak cepat dan kesenyapannya. Dan mexico, tanah leluhur innarittu yang tetap saja bagi orang-orang Amerika Serikat, tak punya suara untuk membela hak-hak mereka. Innarittu seperti sedang menarik nafas panjang, dalam perenungannya lewat moment-moment kritis dalam diri tokoh-tokohnya. Dalam kompilasi ‘09’11’01 innarittu memilih jujur pada kebingungannya, pada ketidak mengertian dan keputus asaannya pada peristiwa 9/11. Sedang Babel, seperti "silence fter the storm." Inarittu seperti hendak mencari titik terang dari ketidak berdayaan setiap tokoh tokohnya.
_________

Aku jatuh hati pada Inarittu, ketika melihat Amores Perros. Sejak itu, aku tak pernah melewatkan karya-karyanya. Bagiku, Inarittu adalah sutradara yang mampu membuat aktor-aktornya menangis dengan penuh kejujuran (that's why they look very very sexy...).

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah