Skip to main content

Dreamgirls (2006)

* * *

Aku baru inget, kalo udah nonton film ini tapi belum nulis reviewnya. Aku cukup penasaran dengan film ini karena Jeniffer Hudson (Effie White) menang Oscar 2007 untuk pemeran pembantu wanita terbaik. Setelah di tonton, ya bagiku ini film musikal yang digarap dengan sangat baik.

Aku sendiri ga terlalu suka sama ceritanya. Biasa aja. Buatku terkesan terlalu klise. Tentang tiga orang perempuan: Effie White (Jeniffer Hudson), Deena Jones (Beyonce Knowles), Lorrel Robinson (Anika Noni Rose) yang ingin jadi bintang, kemudian ikut dari kompetisi satu ke kompetisi lain. Dan karena nasib mujur, seorang produser Curtis Taylor Jr. (Jamie Foxx) menawari mereka jadi backing vocal penyanyi tenar James "Thunder" Early (Eddie Murphy).

Cerita bergulir, ketika trio backing vocals ini kemudian sukses membentuk grup trionya sendiri: Dreamgrils. Namun konflik muncul saat Effie yang mencintai Curtis, harus merelakan Curtis menikahi Deena yang dipilihnya. Sampai akhirnya Effie tercampakan dari grup, Dreamgirls semakin melejit ke tangga popularitasnya. Sementara Effie harus membangun kembali karirnya sebagai penyanyi dari nol lagi, sambil membesarkan anak perempuan dari hasil hubungannya dengan Curtis.

Yeah, so klise. Karena di saat Effie mulai dikenal sebagai penyanyi solo, Dreamgirls mengalami banyak masalah. Curtis dianggap menghalalkan segala macam cara untuk kesuksesan bisnisnya. Ia tak segan-segan menjual artis-artisnya demi sukses komersialnya. Sampai Thunder Early bunuh diri karena tidak tahan lagi. Sementara Deena yang merasa hidup di sangkar emas, semakin lama semakin tak tahan dengan kesuksesannya yang membuatnya sadar bahwa ia telah kehilangan Effie sahabatnya. Akhirnya Deena memutuskan bahwa Dreamgirls lebih baik bubar dan ia juga memutuskan untuk berpisah dari Curtis. Di konser terakhir Dreamgirls, ia memutuskan untuk mengundang Effie sebagai bintang tamu kehormatan mereka.

Ceritanya biasa banget. Tapi yang luar biasa penggarapan setting, kostum, koreografi dan penata musik tentunya. Selain itu, Jeniffer yang finalis American Idol itu menunjukan kecemerlangan bakatnya. Beyonce tentu saja berusaha kelas menunjukan kualitas dirinya dan kukira di juga berhasil. Anikka, bintang broadway mampu tampil utuh, mengimbangi dua rekannya yang lain. Menonton Dreamgirls seperti menonton sebuah pertunjukan live concert yang tak membosankan.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...