* * 1/2
Emang udah diniatin pengen nonton film ini di blitz bareng ceuceu. Dan rasanya aku ga rugi bayar 15 ribu untuk nonton film ini. Dua jam lebih durasi filmnya, ngga kerasa bosen buatku. Sebagai anak yang menghabiskan masa kanak-kanak di tahun 80an, tentunya aku sangat mengenal karakter Nagabonar dan Dedy Mizwar. Ketika tahun 2007 ini Naga Bonar jadi dua, aku penasaran. Apalagi yang jadi Nagabonar junior, Tora Sudiro.
Aku ngerasa ada kesulitan melihat kembali sosok Nagabonar yang nasionalis itu di tahun 2007 ini. Jadinya aku ngerasa ada beberapa bagian dimana karakter Nagabonar yang dulu, dipaksa hadir di film ini. Bayangin aja, siapa sangka Nagabonar tukang copet dari kampung itu, punya anak seperti Bonaga (Tora Sudiro) yang sangat kosmopolitan dan hidup dalam ruang-ruang bergaya arsitektur minimalis moderen. Penggambaran yang menurutku terlalu kontras. Meskipun Tora kukira udah cukup berhasil mengimbangi karakter dan akting Dedy Mizwar yang memang pemain watak.
Aku suka tuh, relasi bapak dan anak yang digambarkan di film ini. Beberapa adegan sempat membuatku terharu. Tapi ada hal yang mengganggu. Jika Bonaga itu dibesarkan hanya oleh bapaknya yang kasar (hal ini dikatakan berkali-kali oleh tokoh Nagabonar), aku justru ngelihat, karakter Bonaga yang muncul justru seperti anak yang dibesarkan oleh Ibu, bukan oleh Bapak. Karena Bonaga yang muncul terkesan manja dan kurang 'dingin dan kasar' seperti Nagabonar itu sendiri.
O ya, Wulan Guritno, sebagai Bonita juga menurutku terjebak dalam karakter perempuan karir metropolitan yang terlalu jaim. Dan kerasa banget, waktu adegan duduk bareng Dedy Mizwar di taman, Wulan berusaha keras untuk ngimbangin aktingnya Dedy. Yeah.. neng Wulan ini masih harus banyak belajar.
Trus juga aku merasa terganggu dengan peran badut: para ajudan Bonaga. Keliatan banget mereka muncul sebagai badut yang meramaikan suasana. Padahal kalau mereka bisa lebih matang menghayati karakter dan perannya, Karakter Bonaga akan jadi lebih kuat. Yang ga kusangka-sangka adalah kemunculan Jaja Miharja di film itu sebagai gay tua oldskool yang mencoba merayu Nagabonar.
Ya, meski banyak hal yang kurang, tapi menurutku sebagai sebuah film yang diniatkan sebagai sequal, film ini cukup berhasil untuk menghibur penontonnya. Sama ketika Jendral Nagabonar membuat penonton di era 80an tergelak-gelak.
Emang udah diniatin pengen nonton film ini di blitz bareng ceuceu. Dan rasanya aku ga rugi bayar 15 ribu untuk nonton film ini. Dua jam lebih durasi filmnya, ngga kerasa bosen buatku. Sebagai anak yang menghabiskan masa kanak-kanak di tahun 80an, tentunya aku sangat mengenal karakter Nagabonar dan Dedy Mizwar. Ketika tahun 2007 ini Naga Bonar jadi dua, aku penasaran. Apalagi yang jadi Nagabonar junior, Tora Sudiro.
Aku ngerasa ada kesulitan melihat kembali sosok Nagabonar yang nasionalis itu di tahun 2007 ini. Jadinya aku ngerasa ada beberapa bagian dimana karakter Nagabonar yang dulu, dipaksa hadir di film ini. Bayangin aja, siapa sangka Nagabonar tukang copet dari kampung itu, punya anak seperti Bonaga (Tora Sudiro) yang sangat kosmopolitan dan hidup dalam ruang-ruang bergaya arsitektur minimalis moderen. Penggambaran yang menurutku terlalu kontras. Meskipun Tora kukira udah cukup berhasil mengimbangi karakter dan akting Dedy Mizwar yang memang pemain watak.
Aku suka tuh, relasi bapak dan anak yang digambarkan di film ini. Beberapa adegan sempat membuatku terharu. Tapi ada hal yang mengganggu. Jika Bonaga itu dibesarkan hanya oleh bapaknya yang kasar (hal ini dikatakan berkali-kali oleh tokoh Nagabonar), aku justru ngelihat, karakter Bonaga yang muncul justru seperti anak yang dibesarkan oleh Ibu, bukan oleh Bapak. Karena Bonaga yang muncul terkesan manja dan kurang 'dingin dan kasar' seperti Nagabonar itu sendiri.
O ya, Wulan Guritno, sebagai Bonita juga menurutku terjebak dalam karakter perempuan karir metropolitan yang terlalu jaim. Dan kerasa banget, waktu adegan duduk bareng Dedy Mizwar di taman, Wulan berusaha keras untuk ngimbangin aktingnya Dedy. Yeah.. neng Wulan ini masih harus banyak belajar.
Trus juga aku merasa terganggu dengan peran badut: para ajudan Bonaga. Keliatan banget mereka muncul sebagai badut yang meramaikan suasana. Padahal kalau mereka bisa lebih matang menghayati karakter dan perannya, Karakter Bonaga akan jadi lebih kuat. Yang ga kusangka-sangka adalah kemunculan Jaja Miharja di film itu sebagai gay tua oldskool yang mencoba merayu Nagabonar.
Ya, meski banyak hal yang kurang, tapi menurutku sebagai sebuah film yang diniatkan sebagai sequal, film ini cukup berhasil untuk menghibur penontonnya. Sama ketika Jendral Nagabonar membuat penonton di era 80an tergelak-gelak.
Comments