Skip to main content

Vicky Cristina Barcelona (2007)

* * *

Aku ga inget kalo pengen nonton film ini, sampai saat sarapan tiba dan dia mengingatkanku untuk menontonnya.

Judulnya cukup menggoda, begitu juga filmnya. Ga ada yang lebih menggoda daripada menonton film tentang hubungan asmara yang rumit dan kait berkait antara sahabat dan teman sekeliling. Cristina (Scralett Johansson) dan Vicky (Rebecca Hall), dua sahabat dari Amerika, pergi berlibur menghabiskan musim panas mereka di Barcelona. Pertemuan mereka dengan Juan Antonio (Javier Bardem), memperangkap dua sahabat ini dalam hubungan asmara yang rumit karena Vicky diam-diam jatuh cinta pada Juan Antonio dan Cristina secara terbuka sangat tertarik pada Juan Antonio pada kali pertama mereka bertemu. Cinta segitiga ini, bertambah rumit dengan kehadiran Maria Elena (Penelope Cruz), mantan istri Juan Antonio yang mengidap histeria dan belum bisa menerima perceraiannya dengan Juan Antonio.

Film ini berputar pada kisah kait berkait di antara mereka, namun dengan gaya Woody Allen (sutradara dan penulis skenario) yang khas, kait berkait ini menjadi kisah petualangan yang menyenangkan dan menggelikan. Belum lagi pemandangan Barcelona yang memikat, membuat musim panas menjadi terasa sangat menyenangkan dan hidup.

Semua pemainnya terasa jadi diri mereka sendiri dengan keamerikaannya, dengan ke spanyolannya.. terutama Javier Bardem dan Penelope Cruz, saat mereka berantem dengan bahasa Spanyol, rasanya kok mereka banget.. Mungkin buat Bardem dan Cruz, jauh lebih mudah ketika mereka harus akting dengan bahasa ibu mereka.

Bagiku film ini cukup menghibur, tidak terlalu berkesan, tapi juga tidak membuatku menyesal menghabiskan waktu untuk menontonnya.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah