Skip to main content

Curse of The Golden Flower (Man cheng jin dai huang jin jia), 2006

***1/2

Jangan pernah membuat perempuan menjadi nomer dua. Begitulah yang aku tangkap dari film terbaru garapan, salah satu sutradara favoritku, Zhang Yimou. Selain penasaran dengan Chow Yun Fat, aku juga penasaran sama ceritanya. Soal artistik dan eksekusi, aku ga pernah meragukan Zhang Yimou. Aku percaya pada ketepatan, detail dan artistiknya yang tidak pernah gagal. Setelah di House of Flying Dagger, aku kecewa karena ceritanya menurutku ga utuh, dan casting yang menurutku kurang pas. Sementara di Golden Flower, mendampingkan Gong Li dan Chow Yun Fat adalah keputusan yang sangat tepat. Kita bisa liat kematangan akting mereka, di adu.

Ceritanya tentang intrik perebutan kekuasaan antara pihak kaisar dan permaisuri. Jalinan ceritanya cukup apik, sehingga ga membingungkan, meski ga mudah ditebak juga. Cerita-cerita klasik seperti ini selalu menarik bagiku, kerena ini jadi semacam bukti sejarah, bahwa kekuasaan selalu berdiri di atas genangan darah. Jika perlu, anak membunuh orang tuanya, orang tua membunuh anaknya, antar sodara saling bunuh. Jika ada kekuasaan yang berdiri tanpa menumpahkan darah, itu adalah anomali sejarah. Dan satu hal lagi yang selalu dilupakan oleh sejarah (history), ketika perempuan dipinggirkan dalam porsi pembagian kekuasaan, kamu ga akan pernah tau apa yang akan dia lakukan padamu, jika kau pikir, kau bisa mengalahkannya, kau tak akan pernah bisa sungguh-sungguh jadi pemenang. Yah, begitulah kira-kira yang Gong Li katakan pada Chow Yun Fat.

Ngomong-ngomong soal Chow Yun Fat, karismanya bener-bener memancar di film ini. Aku termasuk ngikutin film-filmnya dari dari mulai film Hongkong kelas B, sampai dia masuk Hollywood, kematangan aktingnya melaju sangat pesat. Dia beruntung bisa bertemu dengan banyak sutradara keren. Di tangan Yimou, karismanya memancar seterang-terangnya, seterang jubah kekaisaran yang dikenakannya. Aku jadi ga sabar liat Chow di Pirates of The Caribean 3, gimana dia bakal adu akting sama Johnny Depp, Geoffrey Rush, Keith Richard. Dan bicara soal Gong Li, bagiku ga ada yang lebih tau, bagaimana menampilkan karakter Gong Li dengan baik, selain Zhang Yimou. Selain karena Gong Li mantan pacarnya, Yimou juga punya andil besar dalam membesarkan karir Gong Li di dunia internasional.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...