Skip to main content

In The Realm of Senses/Ai No Corrida (1976)

* * * 1/2

Secara ga sengaja, nemu film ini di vertex. Seperti biasa, kalo untuk film-film yang ga aku kenal, daya tarik yang bisa memikatku untuk membelinya adalah judulnya, covernya, juga deskripsi singkat di belakangnya. Apalagi ketika ada penjelasan, film ini pernah dilarang di NY film festival, tambah penasaran. Setelah ditonton, ternyata emang cukup mengejutkan. Tentang affair antara pelayan (Sada) dan majikannya (Kichi-san). Si pelayan, memang terobsesi pada sex dan ia menjadikan majikannya sebagai budak sexnya.

Untuk film tahun 1976 mengangkat Jepang sebagai setting cerita, penggambaran sexnya memang sangat vulgar. Adegan oral sex yang saat itu dianggap sebagai perilaku sex yang sangat bejat, ditampilkan pula di film ini. Di Amerika saja, oral sex (tonton: inside deep throat) adalah perbuatan tidak senonoh yang dilarang oleh beberapa negara bagian.

Film ini sendiri diangkat dari kisah nyata sebelum perang dunia II. Skandal sex ini memang menghebohkan. Sada yang selalu berusaha mencapai kepuasan tertinggi saat berhubungan sex, melakukan tindakan sado masokism yang berujung pada kematian kichi-san. Dan yang paling brutal serta kontroversial dari perilaku sadomasokism ini, Sada memotong alat kelamin kichi-san, berjalan-jalan keliling kampung sambil menggenggam alat kelamin itu sambil tertawa-tawa bahagia.

Bagiku, Jepang punya beberapa bentuk tradisi yang menurutku 'sakit'. Hanya Jepang, yang memikirkan dengan sangat presisi, kemana darah mengalir ketika samurai menebas leher lawan, hingga darah tidak akan muncrat tapi menetes di ujung samurai lewat saluran darah di tengahnya. Komposisi minimalis dalam interior Jepang pun, menunjukan ada represi luar biasa pada diri individu untuk mengekspresikan banyak hal. Karenanya, aku melihat karakter Sada di film ini, seperti sosok perlawanan perempuan Jepang, atas dorongan seksualnya yang dengan sangat rapi dibalut lapisan kimono. Di balik ketenangan ekspresi Sada, tersimpan hasrat sex yang tak pernah terpuaskan.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah