Skip to main content

Interview (2007)

* * * *

Setelah lama tidak menulis review, aku mau memulainya kembali dengan film yang membuatku jatuh cinta berat sama Steve Buscemi. Di film ini dia membuktikan kemampuannya sebagai god of indie dan sutradara handal.

Berkisah tentang Pierre Peders (Buscemi) jurnalis perang dan Katya (Siena Miller seorang aktris opera sabun terkenal. Karena reputasinya sebagai jurnalis perang yang suka menghadirkan narasumber fiktif dalam repotasenya, redaktur akhirnya tidak lagi mempercayai Peders untuk meliput berita-berita politik internasional. Tugas yang paling menyebalkan Peders peroleh ketika ia harus mewawancarai Katya seorang aktris yang tidak satupun filmnya pernah Peders tonton.

Sepanjang film ini berisi adegan proses wawancara antara Peders dan Katya yang penuh dengan ketegangan emosi, karena dua-duanya saling memanipulasi satu sama lain. Peders berusaha mengorek sisi Katya yang menjual untuk tulisannya dengan berbagai cara dan Katya yang menyadari hal ini, memainkan perannya dan mengerahkan segala daya tarik seksualnya untuk mempermainkan emosi Peders. Peders yang selama ini sudah sangat biasa dengan drama kemanuniasaan, memainkan kemampuannya dalam mendekati narasumber untuk mendapatkan informasi yang dia inginkan. Sampai akhirnya dua-duanya terjebak kedalam permainan yang mereka mainkan sendiri.

Salah satu kritikus film dalam endorsmentnya bilang: ini adalah film paling serius tentang reporter yang pernah dibikin. Yeah, kukira memang begitu. Aku merekomendasikan film ini kepada temen-temen jurnalis untuk menontonnya, karena yang dimainkan disini adalah psikologi pewawancara dan yang diwawancarai. Buscemi (OMG... dia om-om banget sangat menawan dan memikat banget.... Argggghhh) dan Siena Miller lawan main yang pas untuk mengimbangi aktingnya Buscemi yang tak diragukan lagi.

Film ini sebenernya film remake dari versi aslinya yang dibikin Theo Van gogh. Theo Van Gogh, cucu dari adik pelukis besar Vincent Van Gogh yang mati dibunuh ekstrimis karena isu rasial. Buscemi di tawari menggarap film ini sebagai tribute to Theo Van Gogh.

bisa liat juga link resminya: http://www.sonyclassics.com/interview/

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...