Skip to main content

Little Children (2006)

****1/2

(kalo akhir-akhir ini aku begitu membabi buta membuat review film, ini dalam rangka festival film akhir tahun yang sudah aku lakukan dalam dua tahun terakhir ini. selama desember ini aku menonton film sebanyak-banyaknya.. yang jelas dokumentasi tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya.. heheheh minimal ada usaha bikin review)

Pertama, poster film yang dibintangi Patrick Wilson dan Kate Winslet ini menggodaku untuk menontonnya. Kedua, tentu saja tema perselingkuhan dan drama rumah tangga, selalu menarik untuk cermati. Menambah ilmu dan referensi untuk memahami kehidupan berumah tangga. Itu sebabnya film ini jadi pilihan. Todd Field, sang sutradara, menggarap film ini sebagai gambaran kehidupan rumah tangga moderen kelas menengah di Amerika, tapi kukira cerita ini terjadi juga disini. Brad Adamson (Patrick Wilson), sarjana hukum lulusan Harvard yang gagal jadi pengacara. Akibatnya, dia harus mengambil peran sebagai bapak rumah tangga yang mengurus anak laki-lakinya.Sementara istrinya Kathy (Jenifer Connely) membangun karirnya sebagai pembuat film dokumenter untuk tayangan televisi. Rutinitas Brad adalah menemani anaknya bermain di taman, bersama ibu-ibu kompleks lainnya yang diam-diam berfantasi sex tentang dirinya. Di taman inilah Adam bertemu Sarah (Kate Winslet), seorang sarjana psikologi yang tertarik mempelajari perilaku manusia dalam rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga. Kehidupan rumah tangga Sarah, tidak seharmonis yang dikira orang. Suaminya, Richard (Gregg Edelman), lebih suka menghabiskan banyak waktu dengan situs-situs porno yang memuaskan dirinya, daripada istrinya sendiri. Yah disinilah ceritanya bermula. Aku ga akan cerita lebih banyak lagi, silahkan tonton aja.

Bagiku yang menarik dari film ini adalah pandangan Sarah, ketika ia dan teman-temannya membahas buku Madam Bovari. Sarah memberi pandangannya tentang perselingkuhan. Baginya, perselingkuhan dalam kehidupan rumah tangga seperti situasi terjebak dalam kondisi yang membuat kedua belah pihak ga tau lagi kemana harus keluar. Ketika ada orang lain yang datang dan menawarkan jalan keluar, hal itu jadi kesempatan yang simalakama. Antara kebutuhan untuk keluar dari kebuntuan rumah tangga, sekaligus masuk dalam persoalan baru yang dilematis. Rasa bersalah adalah resiko yang paling besar yang harus dihadapi. Rasa bersalah yang muncul karena perasaan, kenapa justru orang lain yang memberikan jalan keluar itu, bukan suami atau istri yang kita pilih untuk jadi pendamping hidup kita. Kenapa justru orang lain? Godaan yang seringkali sulit untuk ditolak, justru saat berhasil keluar dari kebuntuan itu. Apakah kita akan melanjutkan hidup bersama orang lain, si juru selamat, atau kemabali ke pasangan hidup masing-masing.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...