Skip to main content

Night at The Museum 2: Battle of The Smithsonian (2009)

* * *

Udah lama ga nonton di bioskop dan aku mengawalinya kembali dengan film ini. Film yang entah kenapa setelah selesai menontonnya aku merasa bahagia banget. Kebahagiaan yang mungkin ga terlalu berhubungan dengan filmnya, tapi filmnya mengingatkanku kembali semua perasaan yang sulit di gambarkan ketika aku berpetualang di museum-museum Washington (Smithsonian tentunya) dan Museum Natural History (NYC) setahun yang lalu. I miss all of those place.. I miss my friends at Brooklyn Museum... jadi sentimentil..

Film ini menurutku film yang keren banget untuk memberikan penontonnya imajinasi bahwa museum adalah tempat yang menyenangkan. Kamu bisa merasakan petualangan apapun di museum, tinggal pilih saja. Sebuah film dengan tema yang sangat cocok dengan misi pengembangan audience development museum.. hehehehhe... aku merasa pesannya dapet aja.

Dibandingkan dengan Night at The Museum yang pertama, yang kedua, jauh lebih menarik. Karena kompleks memorial park washington itu isinya emang museum semua dan ga cukup seminggu untuk masuk dan melihat seluruh koleksinya. Bahkan butuh minimal 3 kali kunjungan untuk melihat hampir seluruh koleksi Metropolitan Museum atau Museum Natural History di New York. Jangan tanya juga koleksinya Smitsonian, pengalamanku masuk American Indian Museum yang di kelola oleh Smitsonian di NYC, cukup terkagum-kagum dengan koleksinya. Meski penjaganya banyak banget.. karena koleksinya yang sangat berharga.

Filmnya sebenernya gampang aja dan sangat menghibur. Akting Ben Stiller ya standar-standar aja, yang luar biasa ya bagaimana menghadirkan rasa petualangan di museum. Hal menarik lainnya adalah memasukkan karya-karya seni rupa kontemporer di film ini. Aku cukup kaget sekaligus takjub, dengan karya balon anjingnya Jeff Koon yang lari-lari di dalam museum wow.. buat orang yang mengikuti karya-karya itu, pasti terkaget-kaget bahwa karya-karya seni rupa kontemporer bisa di sajikan dalam film melalui cara yang sangat menghibur. Termasuk juga karya-karya serius seperti patung The Thinkernya Rodin, wow... dia ga lagi serius karena di film itu orang bisa ketawa liat kelakuannya. Aku bener-bener takjub dengan cara baru mengapresiasi seni lewat film ini, bener-bener ga biasa dan mengejutkan.

Aku bener-bener terhibur sekaligus merasa sangat bersyukur karena pernah merasakan langsung museum-museum itu dan menikmati karya-karyanya secara langsung..

Comments

I. Widiastuti said…
iya, gara-gara film ini aku obsessed sama Jeff Koons dan aku sampe beli balon-balon panjang dan aku coba bentuk anjing-anjingan itu hahahhaha.
vitarlenology said…
beneran deh.. aku liat langsung karya ini di metropolitan museum of art NYC, warnanya perak dan gede banget, anak-anak dan orang dewasa yang dateng ke museum terhibur banget sama karya ini..

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah