Skip to main content

Love in the Time of Cholera (2007)

* * *

Barang siapa percaya cinta sejati itu ada dan akan berakhir happy ending, film ini cukup mewakili keyakinan itu. Diangkat dari novel karya Gabriel Garcia Marquez dengan judul yang sama, film ini mencoba menghadirkan kemeriahan dan kait berkait peristiwa dan tokoh-tokohnya yang tidak sedikit itu.

Di sutradarai oleh Mike Newell, film ini berkisah tentang Florentino Ariza (Javier Bardem) yang menakdirkan dirinya sebagai cinta sejati Fermina Daza (Giovanna Mezzogiorno). Namun, nasib juga yang memisahkan Fermina dan Florentino, karena Fermina justru menikahi Dr. Juvenal Urbino (Benjamin Bratt.. God damn.. he's so sexy). Meski harus mengalami patah hati dan berpindah dari satu perempuan ke perempuan lain untuk mengisi hatinya yang ditinggal Fermina, Florentino tetap setia pada takdirnya, bahwa Fermina lah cinta sejatinya meski untuk bertemu takdirnya, Florentino harus menunggu berpuluh tahun.

Memang bukan hal mudah untuk memfilmkan, sebuah novel yang sangat kaya detail dan jalan hidup tokoh-tokohnya yang meriah seperti karya Marquez, untuk kemudian menghadirkannya dalam satu film yang utuh dan berhasil mentransfer 'feel' novelnya ke dalam film. Sungguh bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi film selalu punya keterbatasan waktu. Dalam dua jam, semua ingin diceritakan sampai akhirnya, semua hanya disentuh permukaannya saja, tanpa penjelasan dan jadinya malah berkesan tempelan saja. Itu juga yang kurasa terjadi dengan film ini. Banyak sekali yang ingin di tampilkan akhirnya ya ceritanya menjadi kurang dalam. Soal ini selalu jadi dilema pembuat film yang mengangkat cerita dari sebuah novel, apalagi itu novel karya Gabriel Garcia Marquez.

Untuk sebuah hiburan, lumayan cukup menghibur, namun untuk berharap menemukan 'feel' yang sama dengan novelnya, siap-siap saja kecewa.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah