Skip to main content

A History of The Violence (2005)

* * * *

Ada apa antara David Cronenberg, tubuh, keterkoyakan dan jiwa-jiwa yang terpenjara.. Yeah.. aku baru menyadari hal ini, ketika akhirnya aku berhasil menonton A History of The Violence, setelah kepingan sebelumnya selalu macet kalo disetel. Sutradara asal Canada ini, sampai-sampai punya sebutan 'Baron of Blood' atau 'King of Vanereal Horror'. Di balik penampilannya yang santai, Cronenberg terasa intens mengekplorasi tentang arti tubuh, keterkoyakannya dan jiwa manusia yang terperangkap di dalamnya.

Aku melihat benang merah dari beberapa film Cronenberg yang kulihat: Dead Ringer (1988), Crash (1996), dimana Cronenberg seperti sengaja mengoyak-ngoyak tubuh karakter-karakter dalam filmnya, dan bereksperimen dengan bagaimana jiwa yang ada didalamnya beradaptasi dengan keterkoyakan itu. Sejak Spider (2002), Cronenberg lebih banyak menelisik jiwa manusia, dan di Spider, Ralp Fiennes memainkan karakternya dengan sangat bagus menurutku.

Vigo Mortensen di History of The Violence, menurutku aktor yang tepat memerankan Tom Stall alias Joey Cussack, tokoh yang ingin mengubur sejarah kekerasan masa lalunya yang tak pernah benar-benar bisa dihapuskan. Aku jadi ingat komentar Martin Scorsese tentang Daniel Day Lewis " He Knows the nature of anger" ketika Martin memilih Day Lewis sebagai William Butcher. Ku kira, Mortensen juga paham "nature of violence" sebagai Tom Stall. Ada beberapa scene ketika Tom menyeret istrinya Eddie (Maria Bello), di tangga, semua karakternya sebagai bapak yang ideal untuk keluarganya hilang. Semua kekejaman di masa lalunya, muncul kembali. Demikian juga saat dia membunuh dua orang perampok di restorannya yang membuat dia mendadak jadi pahlawan. Vigo menurutku sangat pas dengan karakter tokoh yang punya sisi lain dari jiwanya.. sebagian jiwanya terkurung dalam benteng yang begitu kuat. Ekspersinya sebagai orang Eropa Utara, mendukung itu. Ya dia itu Viking banget.. kalo di Asterix.. Viking selalu digambarkan sebagai orang-orang yang sangat keras, kejam dan dingin.. kita tak pernah bisa menduga sehangat apa jiwanya sebenernya.. dan menurutku, gambaran itu di munculkan dengan sangat baik dalam adegan penutup film ini, ketika Tom dan Eddie, saling bertatapan.. keduanya sama-sama meneteskan air mata.. tapi aku sendiri ga bisa menakar apa yang sesungguhnya dan sedalam apa perasaan oleh Tom Stall pada saat itu.

Yang menarik juga dari film ini adalah peran Richie Cussack yang dimainkan oleh William Hurt. Sebagai bos mafia yang sangat kejam meski dia cuma muncul sebentar, tapi menurutku actingnya oke banget. Hurt, bisa memunculkan karakter Richie_ kakak dari Tom Stall atau Joey Cussack, dan sedikit menjelaskan, kegilaan tersembunyi dalam diri adiknya.. menarik.

Comments

IBS said…
iya, film ini emang menarik. Aku suka sama endingnya. Bener-bener suka! (^_^)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah