* * * *
Sutradara Menachem Daum and Oren Rudavsky. Tentang tiga generasi dalam keluarga yahudi ortodok naratornya adalah generasi kedua. Dia seperti jadi jembatan antara bapaknya yang mengalami holocaust dan anaknya yang tidak lagi mempersoalkan mimpi buruk sejarah itu karena buat anaknya ga kebayang aja gimana rasanya holocaust. Nah generasi kedua kemudian menjembatani pengalaman itu. Dia mengajak anaknya untuk melacak jejak kakeknya (generasi pertama) ke polandia, juga mengunjungi keluarga yang menyelamatkan kakeknya itu dari kejaran tentara NAZI, dengan cara menyembunyikan kakeknya dan dua sodaranya yang lain di sebuah lubang yang tertutup jerami. Yang menarik dari film ini kemudian adalah proses transformasi pengalaman sejarah antara generasi pertama(yang mengalami langsung) dan generasi ketiga yang dibesarkan oleh mitos sejarah. Bagaimana kemudian generasi ketiga setelah proses transforamasi itu terjadi, justru bisa melihat sisi lain dari mimpi buruk sejarah. Kemudan sisi gelap itu bisa dilihat lebih positif dan sejarah kemudian memberikan tawaran untuk untuk berdamai dengan mimpi buruk itu. Apalagi dalam konteks bangsa yahudi, setidaknya, film ini bisa memberikan pandangan lain untuk menyembuhkan luka-luka sejarah tanpa membuat luka baru. Seperti film promises.
Aku udah beli satu lagi untuk pak Bambang Sugiharto, kupikir menarik jika film ini bisa diputer di kelas filsafat UNPAR dan bisa sekalian didiskusiakan. Sudah saatnya kebudayaan kita menawarkan kemungkinan-kemungkinan penyembuhan luka-luka peradaban tanpa membuat luka yuang baru.
Selama ini agama (dan kemudian Tuhan) selalu disalahkan atas mimpi-mimpi buruk sejarah. Agama menjadi atas nama masalah peradaban. Dan ketika orang menghadapi jalan buntu dengan agama, orang lupa, bahwa mereka bisa menggali sisi yang lain untuk melihat jalan keluarnya. Kupikir ini adalah tantangan peradaban kita sekaran ini. Kupikir mungkin jawababannya sama seperti yang dibilang pi patel dalam life of pi, ketika tiga pemuka agama bersitegang mempertanyakan kenapa pi menjalankan ritual 3 agama sekaligu (islam, Kristen, hindu) pi membarikan jawaban yang sederhana tapi kupikir sangat menyetuh esensi dari persoalannya: itu semua karena aku ingin mengasihi Tuhan. Aku sendiri sejauh ini merasa buntu dengan pengejawantahan agama dalam kehidupan sehari-hari karena aku sulit menangkap esensinya, tapi aku percaya agama bisa menawarkan banyak hal yang aku tidak bayangkan sebelumnya dan itu semua karena untuk memenuhi kebutuhan hakiki manusia untuk berTuhan. Kenapa aku sebut itu kebutuhan hakiki, secara jujur, persoalan yang paling menggelisahkan umat manusia adalah ketika dia mempertanyakan dirinya, mempertanyakan keberadaannya di dunia ini, dan persoalan inilah yang kemudian membawa setiap individu mengenali Tuhannya. Paham atau tidak terhadap keberadaan Tuhan, kupikir tergantung dari kesabaran individu untuk mau memahami hidup yang dia jalani.
Sutradara Menachem Daum and Oren Rudavsky. Tentang tiga generasi dalam keluarga yahudi ortodok naratornya adalah generasi kedua. Dia seperti jadi jembatan antara bapaknya yang mengalami holocaust dan anaknya yang tidak lagi mempersoalkan mimpi buruk sejarah itu karena buat anaknya ga kebayang aja gimana rasanya holocaust. Nah generasi kedua kemudian menjembatani pengalaman itu. Dia mengajak anaknya untuk melacak jejak kakeknya (generasi pertama) ke polandia, juga mengunjungi keluarga yang menyelamatkan kakeknya itu dari kejaran tentara NAZI, dengan cara menyembunyikan kakeknya dan dua sodaranya yang lain di sebuah lubang yang tertutup jerami. Yang menarik dari film ini kemudian adalah proses transformasi pengalaman sejarah antara generasi pertama(yang mengalami langsung) dan generasi ketiga yang dibesarkan oleh mitos sejarah. Bagaimana kemudian generasi ketiga setelah proses transforamasi itu terjadi, justru bisa melihat sisi lain dari mimpi buruk sejarah. Kemudan sisi gelap itu bisa dilihat lebih positif dan sejarah kemudian memberikan tawaran untuk untuk berdamai dengan mimpi buruk itu. Apalagi dalam konteks bangsa yahudi, setidaknya, film ini bisa memberikan pandangan lain untuk menyembuhkan luka-luka sejarah tanpa membuat luka baru. Seperti film promises.
Aku udah beli satu lagi untuk pak Bambang Sugiharto, kupikir menarik jika film ini bisa diputer di kelas filsafat UNPAR dan bisa sekalian didiskusiakan. Sudah saatnya kebudayaan kita menawarkan kemungkinan-kemungkinan penyembuhan luka-luka peradaban tanpa membuat luka yuang baru.
Selama ini agama (dan kemudian Tuhan) selalu disalahkan atas mimpi-mimpi buruk sejarah. Agama menjadi atas nama masalah peradaban. Dan ketika orang menghadapi jalan buntu dengan agama, orang lupa, bahwa mereka bisa menggali sisi yang lain untuk melihat jalan keluarnya. Kupikir ini adalah tantangan peradaban kita sekaran ini. Kupikir mungkin jawababannya sama seperti yang dibilang pi patel dalam life of pi, ketika tiga pemuka agama bersitegang mempertanyakan kenapa pi menjalankan ritual 3 agama sekaligu (islam, Kristen, hindu) pi membarikan jawaban yang sederhana tapi kupikir sangat menyetuh esensi dari persoalannya: itu semua karena aku ingin mengasihi Tuhan. Aku sendiri sejauh ini merasa buntu dengan pengejawantahan agama dalam kehidupan sehari-hari karena aku sulit menangkap esensinya, tapi aku percaya agama bisa menawarkan banyak hal yang aku tidak bayangkan sebelumnya dan itu semua karena untuk memenuhi kebutuhan hakiki manusia untuk berTuhan. Kenapa aku sebut itu kebutuhan hakiki, secara jujur, persoalan yang paling menggelisahkan umat manusia adalah ketika dia mempertanyakan dirinya, mempertanyakan keberadaannya di dunia ini, dan persoalan inilah yang kemudian membawa setiap individu mengenali Tuhannya. Paham atau tidak terhadap keberadaan Tuhan, kupikir tergantung dari kesabaran individu untuk mau memahami hidup yang dia jalani.
Comments