Skip to main content

Hiding And Seeking (2004)

* * * *

Sutradara Menachem Daum and Oren Rudavsky. Tentang tiga generasi dalam keluarga yahudi ortodok naratornya adalah generasi kedua. Dia seperti jadi jembatan antara bapaknya yang mengalami holocaust dan anaknya yang tidak lagi mempersoalkan mimpi buruk sejarah itu karena buat anaknya ga kebayang aja gimana rasanya holocaust. Nah generasi kedua kemudian menjembatani pengalaman itu. Dia mengajak anaknya untuk melacak jejak kakeknya (generasi pertama) ke polandia, juga mengunjungi keluarga yang menyelamatkan kakeknya itu dari kejaran tentara NAZI, dengan cara menyembunyikan kakeknya dan dua sodaranya yang lain di sebuah lubang yang tertutup jerami. Yang menarik dari film ini kemudian adalah proses transformasi pengalaman sejarah antara generasi pertama(yang mengalami langsung) dan generasi ketiga yang dibesarkan oleh mitos sejarah. Bagaimana kemudian generasi ketiga setelah proses transforamasi itu terjadi, justru bisa melihat sisi lain dari mimpi buruk sejarah. Kemudan sisi gelap itu bisa dilihat lebih positif dan sejarah kemudian memberikan tawaran untuk untuk berdamai dengan mimpi buruk itu. Apalagi dalam konteks bangsa yahudi, setidaknya, film ini bisa memberikan pandangan lain untuk menyembuhkan luka-luka sejarah tanpa membuat luka baru. Seperti film promises.

Aku udah beli satu lagi untuk pak Bambang Sugiharto, kupikir menarik jika film ini bisa diputer di kelas filsafat UNPAR dan bisa sekalian didiskusiakan. Sudah saatnya kebudayaan kita menawarkan kemungkinan-kemungkinan penyembuhan luka-luka peradaban tanpa membuat luka yuang baru.

Selama ini agama (dan kemudian Tuhan) selalu disalahkan atas mimpi-mimpi buruk sejarah. Agama menjadi atas nama masalah peradaban. Dan ketika orang menghadapi jalan buntu dengan agama, orang lupa, bahwa mereka bisa menggali sisi yang lain untuk melihat jalan keluarnya. Kupikir ini adalah tantangan peradaban kita sekaran ini. Kupikir mungkin jawababannya sama seperti yang dibilang pi patel dalam life of pi, ketika tiga pemuka agama bersitegang mempertanyakan kenapa pi menjalankan ritual 3 agama sekaligu (islam, Kristen, hindu) pi membarikan jawaban yang sederhana tapi kupikir sangat menyetuh esensi dari persoalannya: itu semua karena aku ingin mengasihi Tuhan. Aku sendiri sejauh ini merasa buntu dengan pengejawantahan agama dalam kehidupan sehari-hari karena aku sulit menangkap esensinya, tapi aku percaya agama bisa menawarkan banyak hal yang aku tidak bayangkan sebelumnya dan itu semua karena untuk memenuhi kebutuhan hakiki manusia untuk berTuhan. Kenapa aku sebut itu kebutuhan hakiki, secara jujur, persoalan yang paling menggelisahkan umat manusia adalah ketika dia mempertanyakan dirinya, mempertanyakan keberadaannya di dunia ini, dan persoalan inilah yang kemudian membawa setiap individu mengenali Tuhannya. Paham atau tidak terhadap keberadaan Tuhan, kupikir tergantung dari kesabaran individu untuk mau memahami hidup yang dia jalani.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...