Skip to main content

Berbagi Suami (2006)

* * * *

Aku bisa dibilang telat banget baru nonton film ini, tapi aku suka banget film ini. Semuanya menurutku serba pas. Aktingnya pas ga berlebihan, castingnya pas dengan karakter-karakter tokoh yang diperankan. Isunya juga pas porsinya ga terlalu hitam putih ngeliatnya. Artistiknya juga pas. Semua serba pas dan membuat film ini jadi kerasa real banget.

Ceritanya tentang tiga perempuan: Salma, Sri dan Ming. Salma (Jajang C. Noer) adalah tipe perempuan yang sangat 'real' dalam arti aku pernah ketemu dengan beberapa perempuan seperti Salma. Demi karir suami dan karirnya sendiri, dia rela di poligami. Bikin orang bertanya-tanya, 'loh dia kan dokter, kok mau sih di poligami suami?'. Takdir lantas menjadi alasan paling jitu yang bisa membuat mulut orang-orang terdiam. Salma menggambarkan sosok perempuan kelas menengah yang lebih mengutamakan 'harmoni' (semu) ini daripada jujur pada perasaannya sendiri kalau dalam hatinya yang paling dalam, dia ga rela di madu. Tokoh pak Haji (El Manik), sosok yang juga sangat 'common' sebagai pejabat yang punya istri dimana-mana. Soal akting Jajang dan El Manik sih ga usah di pertanyakan lagi. Cuma aku suka sama aktingnya Jajang yang kali ini ga terasa berlebihan. Winky sebagai Nadine anaknya Salma, aktingnya lumayan bisa ngimbangi seniornya.

Tokoh Sri (Shanty), sebenernya karakter yang jarang ku temui ya. Tapi, aku jadi inget sama narasumber-narasumberku yang di Cipanas. Ada beberapa yang ada dalam situasi seperti Sri. Soal affair lesbian antara Sri dan Dwi (Rieke Diah Pitaloka) dihayati dengan bagus oleh Shanty maupun Rieke. Rieke aktingnya bagus dan pas. Aku ngeliat perempuan-perempuan di kelas bawah cukup terbuka dalam hal relasi. Tentunya mereka juga tidak terlalu peduli dengan persoalan image seperti kelas menengah yang diwakili oleh Salma.

Ming (Dominique) menurutku gambaran perempuan yang cukup cerdas. Ming tau gimana mencapai apa yang dia mau. Meskipun gagal. Tokoh Cik Linda (Ira Maya Sofa) pas banget porsinya. Dan perang strategi mendapatkan koh Abun (Tio Pakusadewo) dimainkan dengan sangat cantik. Tentunya aku cinta banget sama itu koh Abun... Tio Pakusadewo meskipun konon kabarnya dia secara personal, pribadinya agak somse, tapi dia seksi banget dengan perutnya yang udah mulai menunjukan tanda-tanda pembuncitan. Beneran.. calon om-om keren. (hihiihihih.. komentar ga penting).

Buatku film ini berusaha keras untuk bicara dengan bahasa visual. Dan menurutku berhasil. Akhirnya ada film Indonesia (setelah Eliana Eliana) yang ngomong dengan bahasa visual dan dialognya cukup membumi. jalinan cerita yang di bagi dalam tiga fragmen: Salam, Sri dan Ming, dirangkai dengan sangat baik, meskipun aku sempet mikir, kok kaya gayanya Alejandro Gonzales Inarittu ya? (secara Nia Dinata penggemar Inarittu juga). O ya perlu dicatet juga, Bembi Gusti, Aghy Narottama, Gascaro Ramondo, berhasil bikin musik yang pas banget buat film ini. Selain itu bagaimana tokoh-tokoh perempuan di film ini bernegosiasi dengan poligami digambarkan dengan sangat abu-abu. Aku suka banget. Bukan persoalan setuju atau tidak setuju dengan persoalan poligaminya, tapi bagaimana perempuan-perempuan ini bernegosiasi dengan persoalan poligami, kukira itulah yang jadi kekuatan film ini.

Salut buat Nia Dinata !

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah