* * * *
Aku bisa dibilang telat banget baru nonton film ini, tapi aku suka banget film ini. Semuanya menurutku serba pas. Aktingnya pas ga berlebihan, castingnya pas dengan karakter-karakter tokoh yang diperankan. Isunya juga pas porsinya ga terlalu hitam putih ngeliatnya. Artistiknya juga pas. Semua serba pas dan membuat film ini jadi kerasa real banget.
Ceritanya tentang tiga perempuan: Salma, Sri dan Ming. Salma (Jajang C. Noer) adalah tipe perempuan yang sangat 'real' dalam arti aku pernah ketemu dengan beberapa perempuan seperti Salma. Demi karir suami dan karirnya sendiri, dia rela di poligami. Bikin orang bertanya-tanya, 'loh dia kan dokter, kok mau sih di poligami suami?'. Takdir lantas menjadi alasan paling jitu yang bisa membuat mulut orang-orang terdiam. Salma menggambarkan sosok perempuan kelas menengah yang lebih mengutamakan 'harmoni' (semu) ini daripada jujur pada perasaannya sendiri kalau dalam hatinya yang paling dalam, dia ga rela di madu. Tokoh pak Haji (El Manik), sosok yang juga sangat 'common' sebagai pejabat yang punya istri dimana-mana. Soal akting Jajang dan El Manik sih ga usah di pertanyakan lagi. Cuma aku suka sama aktingnya Jajang yang kali ini ga terasa berlebihan. Winky sebagai Nadine anaknya Salma, aktingnya lumayan bisa ngimbangi seniornya.
Tokoh Sri (Shanty), sebenernya karakter yang jarang ku temui ya. Tapi, aku jadi inget sama narasumber-narasumberku yang di Cipanas. Ada beberapa yang ada dalam situasi seperti Sri. Soal affair lesbian antara Sri dan Dwi (Rieke Diah Pitaloka) dihayati dengan bagus oleh Shanty maupun Rieke. Rieke aktingnya bagus dan pas. Aku ngeliat perempuan-perempuan di kelas bawah cukup terbuka dalam hal relasi. Tentunya mereka juga tidak terlalu peduli dengan persoalan image seperti kelas menengah yang diwakili oleh Salma.
Ming (Dominique) menurutku gambaran perempuan yang cukup cerdas. Ming tau gimana mencapai apa yang dia mau. Meskipun gagal. Tokoh Cik Linda (Ira Maya Sofa) pas banget porsinya. Dan perang strategi mendapatkan koh Abun (Tio Pakusadewo) dimainkan dengan sangat cantik. Tentunya aku cinta banget sama itu koh Abun... Tio Pakusadewo meskipun konon kabarnya dia secara personal, pribadinya agak somse, tapi dia seksi banget dengan perutnya yang udah mulai menunjukan tanda-tanda pembuncitan. Beneran.. calon om-om keren. (hihiihihih.. komentar ga penting).
Buatku film ini berusaha keras untuk bicara dengan bahasa visual. Dan menurutku berhasil. Akhirnya ada film Indonesia (setelah Eliana Eliana) yang ngomong dengan bahasa visual dan dialognya cukup membumi. jalinan cerita yang di bagi dalam tiga fragmen: Salam, Sri dan Ming, dirangkai dengan sangat baik, meskipun aku sempet mikir, kok kaya gayanya Alejandro Gonzales Inarittu ya? (secara Nia Dinata penggemar Inarittu juga). O ya perlu dicatet juga, Bembi Gusti, Aghy Narottama, Gascaro Ramondo, berhasil bikin musik yang pas banget buat film ini. Selain itu bagaimana tokoh-tokoh perempuan di film ini bernegosiasi dengan poligami digambarkan dengan sangat abu-abu. Aku suka banget. Bukan persoalan setuju atau tidak setuju dengan persoalan poligaminya, tapi bagaimana perempuan-perempuan ini bernegosiasi dengan persoalan poligami, kukira itulah yang jadi kekuatan film ini.
Salut buat Nia Dinata !
Aku bisa dibilang telat banget baru nonton film ini, tapi aku suka banget film ini. Semuanya menurutku serba pas. Aktingnya pas ga berlebihan, castingnya pas dengan karakter-karakter tokoh yang diperankan. Isunya juga pas porsinya ga terlalu hitam putih ngeliatnya. Artistiknya juga pas. Semua serba pas dan membuat film ini jadi kerasa real banget.
Ceritanya tentang tiga perempuan: Salma, Sri dan Ming. Salma (Jajang C. Noer) adalah tipe perempuan yang sangat 'real' dalam arti aku pernah ketemu dengan beberapa perempuan seperti Salma. Demi karir suami dan karirnya sendiri, dia rela di poligami. Bikin orang bertanya-tanya, 'loh dia kan dokter, kok mau sih di poligami suami?'. Takdir lantas menjadi alasan paling jitu yang bisa membuat mulut orang-orang terdiam. Salma menggambarkan sosok perempuan kelas menengah yang lebih mengutamakan 'harmoni' (semu) ini daripada jujur pada perasaannya sendiri kalau dalam hatinya yang paling dalam, dia ga rela di madu. Tokoh pak Haji (El Manik), sosok yang juga sangat 'common' sebagai pejabat yang punya istri dimana-mana. Soal akting Jajang dan El Manik sih ga usah di pertanyakan lagi. Cuma aku suka sama aktingnya Jajang yang kali ini ga terasa berlebihan. Winky sebagai Nadine anaknya Salma, aktingnya lumayan bisa ngimbangi seniornya.
Tokoh Sri (Shanty), sebenernya karakter yang jarang ku temui ya. Tapi, aku jadi inget sama narasumber-narasumberku yang di Cipanas. Ada beberapa yang ada dalam situasi seperti Sri. Soal affair lesbian antara Sri dan Dwi (Rieke Diah Pitaloka) dihayati dengan bagus oleh Shanty maupun Rieke. Rieke aktingnya bagus dan pas. Aku ngeliat perempuan-perempuan di kelas bawah cukup terbuka dalam hal relasi. Tentunya mereka juga tidak terlalu peduli dengan persoalan image seperti kelas menengah yang diwakili oleh Salma.
Ming (Dominique) menurutku gambaran perempuan yang cukup cerdas. Ming tau gimana mencapai apa yang dia mau. Meskipun gagal. Tokoh Cik Linda (Ira Maya Sofa) pas banget porsinya. Dan perang strategi mendapatkan koh Abun (Tio Pakusadewo) dimainkan dengan sangat cantik. Tentunya aku cinta banget sama itu koh Abun... Tio Pakusadewo meskipun konon kabarnya dia secara personal, pribadinya agak somse, tapi dia seksi banget dengan perutnya yang udah mulai menunjukan tanda-tanda pembuncitan. Beneran.. calon om-om keren. (hihiihihih.. komentar ga penting).
Buatku film ini berusaha keras untuk bicara dengan bahasa visual. Dan menurutku berhasil. Akhirnya ada film Indonesia (setelah Eliana Eliana) yang ngomong dengan bahasa visual dan dialognya cukup membumi. jalinan cerita yang di bagi dalam tiga fragmen: Salam, Sri dan Ming, dirangkai dengan sangat baik, meskipun aku sempet mikir, kok kaya gayanya Alejandro Gonzales Inarittu ya? (secara Nia Dinata penggemar Inarittu juga). O ya perlu dicatet juga, Bembi Gusti, Aghy Narottama, Gascaro Ramondo, berhasil bikin musik yang pas banget buat film ini. Selain itu bagaimana tokoh-tokoh perempuan di film ini bernegosiasi dengan poligami digambarkan dengan sangat abu-abu. Aku suka banget. Bukan persoalan setuju atau tidak setuju dengan persoalan poligaminya, tapi bagaimana perempuan-perempuan ini bernegosiasi dengan persoalan poligami, kukira itulah yang jadi kekuatan film ini.
Salut buat Nia Dinata !
Comments