Skip to main content

Lost In La Mancha (2002)

* * * * 1/2

Kalau kamu penggemar berat karya-karya Terry Gilliam (Monty Python and Holy Grail, Time Bandit, Brazil, Twelve Monkeys, Fear and Loathing in Las Vegas, Brother Grims), dokumenter ini tontonan wajib untuk mengenali bakat istimewa sutradara pecinta magical realism ini.

Awalnya, Keith Fulton dan Louis Pepe, berniat mendokumentasikan proses pembuatan film Gilliam yang berjudul 'The Man Who Killed Don Quixote'. Fulton dan Pepe semula tak pernah menduga, bahwa dokumenter yang mereka buat, akan menjadi diary penting, bagaimana film ini gagal di produksi. Ku kira, bagi siapapun yang tertarik menjadi film maker, kegagalan Terry Gilliam mewujudkan film yang selama ini menjadi alter egonya: Don Quixote, jadi pelajaran penting bahwa banyak hal yang sering kali tak bisa di prediksikan dalam proses pembuatan film.

Faktor kekagalan produksi The Man Who Killed Don Quixote benar-benar di luar prediksi, meskipun bayang-bayangnya menghantui proses produksi film ini sejak awal. Sebagai sutradara Amerika, bukan hal mudah untuk memproduksi film di Eropa. Ada kultur produksi film yang jauh berbeda antara Hollywood dan Eropa. Fantasi Gilliam dalam film ini, mesti berhadapan dengan kenyataan keterbatasan budget meski untuk ukuran produksi Eropa, film ini termasuk film dengan budget cukup besar: 25 juta dollar. The show must go on. Dengan memusatkan produksi di Madrid, Spanyol, Gilliam tetap berusaha mewujudkan impiannya memilemkan Don Quixote. Bintang Perancis senior yang beken lewat film-film komedi di tahun 70-an, Jean Rochefort, terpilih memerankan Don Quixote di film ini. Bagi Rochefort, film ini menjadi debut perdananya dalam produksi film non Perancis. Johnny Deep juga termasuk salah satu pemeran utama di film ini.

Dengan segala keterbatasan persiapan dan budget produksi yang sangat ketat, produksi film ini pun di mulai. Namun rupanya, keberuntungan kali ini enggan berpihak pada Gilliam. Di hari kedua produksi, semua set dan peralatan, terkena badai di lokasi syuting. Dan kabar buruk yang datang berbarengan adalah aktor utamanya Jean Rochefort, terkena infeksi prostat cukup parah dan tidak mungkin kembali ke lokasi syuting. Akhirnya keputusan sulit pun terpaksa di ambil: produksi di hentikan dengan kata lain, film ini gagal di produksi.

Fulton dan Pepe berada dalam situasi yang dilematis. Mereka berada dalam situasi yang serba salah dan ada pada pilihan yang sulit, ketika tau film yang sedang mereka dokumentasikan proses pembuatannya ternyata gagal di produksi. Pada saat inilah, Gilliam meyakinkan Fulton dan Pepe: "Kita sama-sama bikin film, saya gagal melakukannya, tapi bukan berarti kamu juga gagal membuatnya.. kamu harus selesaikan filmmu". Terry Gilliam benar-benar mendukung pembuatan film dokumenter ini. "Kami sampai tidak enak, karena setiap kali ada perubahan, Terry harus kembali melihat mimpi buruknya dengan The Man Who Killed Don Quixote," ungkap Fulton. Butuh waktu dua minggu untuk pulih secara emosional bagi Terry setelah menonton versi akhir dari dokumenter Lost in La Mancha ini.

Dalam sebuah forum diskusi yang diselenggarakan oleh IFC, th 2001, Terry Gilliam ditanya oleh kritikus The New York Times, apa yang ia rasakan setelah kegagalan The Man Who Killed Don Quixote, dengan ringan dan tawanya yang khas Terry menjawab:" Film bukan segalanya dalam hidup saya.. satu film dengan film yang lain, bagi saya seperti proses membangun tembok, satu persatu saya meletakan batu itu, jika gagal, saya tinggal mengulanginya lagi.." Tahun 2011 mendatang, Terry akan memulai kembali produksi The Man Who Killed Don Quixote, meski ia harus memulai kembali semuanya dari awal.

Lost in La Mancha ini berdurasi 93 menit dengan ekstra feature kurang lebih 3 jam. Berisi rekaman wawancara orang-orang yang terlibat dalam produksi The Man Who Killed Don Quixote dan Lost in La Mancha sendiri. Film yang cukup penting menurutku untuk orang-orang yang berminat terjun ke dunia film atau ingin mengenal lebih jauh Terry Gilliam.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...